"Sayang, Mas pergi dulu sebentar. Ada kebakaran di gudang bahan baku," ujar Mas Rangga sambil mencium keningku . Dia tampak terburu-buru mengambil jaket dan kunci mobilnya. "Gak ada lagi yang bisa handle selain kamu, Mas?" tanyaku sambil mengekor. Dia menoleh. "Kamu kan tau sendiri, Papi seperti itu kondisinya. Lalu anak berandalan itu, mana mungkin dia mau mengurusi," ucapnya sambil memakai jaket. Aku membetulkan letak kerahnya. "Ya, udah, Mas hati-hati, ya." "Iya, Sayang. Ada-ada saja, harusnya aku ngelonin kamu, malah harus ngurusin beginian," ucapnya lagi dengan tatapan menggoda. Aku tertawa kecil. "Ya sudah, sana. Biar cepet pulang lagi," usirku, walaupun merasa sedikit kesal. Mas Rangga melepaskan pelukannya. Aku mengekor sampai ke ambang pintu. Sebelum pergi, dia mencium dan memelukku dengan erat. "Tunggu, Mas gak akan lama." Mas Rangga berlalu sambil melambaikan tangannya. Aku membalas lambaian itu dengan sebuah senyuman. Lelaki itu, orang yang baru tadi siang sah
Aku beranikan diri masuk ke kamar yang memang seharusnya jadi kamarku dengan Mas Rangga. Kuketuk pelan sebelum akhirnya knop itu kuputar dan terbuka. Di sana, Mas Rangga sedang duduk di pinggir ranjang dengan tatapan kosong. Aku takut untuk mendekat, tetapi kuberanikan diri. Jika tidak diselesaikan, masalah ini akan semakin membesar. Ingat, di sini aku adalah korban. Korban kebiadaban Rimba, juga korban talak dari suamiku. "Mas ...," sapaku pelan. Dia bergeming. "Ayo kita bicarakan ini baik-baik. Pernikahan kita bukan main-main," bujukku di hadapannya. Dia menatapku datar. Cinta yang biasanya kulihat dari mata itu, kini hilang entah ke mana. "Karena bukan main-main, maka dari itu aku tidak mau melanjutkannya, Lin." "Tapi, Mas ... aku—""Cukup, Aline. Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bujuk. Dengar! Coba saja kamu bayangkan, bagaimana jika seandainya aku merasa jijik dan tidak akan pernah mau menyentuhmu seumur hidup? Apa kamu bisa bertahan? Tidak Aline, kita hanya akan saling
Rasanya kepalaku berat sekali, saat mata ini berusaha kubuka. Perlahan kubuka mata dan memindai ruangan serba putih ini."Aline?" terdengar suara Mama."Kamu sudah sadar, Sayang?" tanyanya lagi. Tak kuhiraukan. "Mereka benar-benar tidak punya perasaan," ucap Papa. "Terutama si Rangga itu. Dia pengecut," timpal Mama. "Apa sebaiknya kita lapor polisi saja, ya, Ma?" terdengar Papa bertanya. "Jangan, Pa. Kalau kita lapor polisi, nanti semua keluarga besar kita akan tau. Belum lagi jika ada orang mulut ember yang membuat viral kasus ini. Pasti Aline akan kembali jadi korban. "Dia sudah sakit hati karena perceraiannya, lalu trauma karena diperkosa. Apakah harus ditambah lagi dengan nama baiknya yang tercemar? Kita harus pikirkan semua ini baik-baik, Pa, jangan sampai Aline, terluka untuk kesekian kalinya" jawab Mama. Aku hanya bisa menitikan air mata. Benar kata Mama. Jika aku lapor polisi, semua orang akan tahu. Aibku semakin menyebar. Betapa menderitanya seorang korban perkosaan. A
Setelah beberapa hari janin ini tak juga mau keluar. Aku mulai merasa frustrasi. Apakah harus mencari klinik aborsi ilegal? Tapi di mana? Aku mondar-mandir di kamar sambil berpikir. Apa aku minum obat-obatan saja ya, biar bayi sialan ini keracunan? 'Iihh kenapa kamu gak mati saja, sih!' umpatku dalam hati. Aku mengendap keluar. Kulihat Mama sedang asik menonton acara TV kesayangannya. Aku segera ke bufet di mana obat-obatan berada. Kuambil semua yang ada dan segera mengembalikan kotaknya ke tempat semula. Berbagai obat pereda nyeri dan entah obat apalagi ýang ada di depanku. Aku mengambil beberapa butir dan menelannya bersama segelas air putih. 'Semoga kau mati bayi sialan! Aku tidak jngin terikat denganmu, apalagi dengan ayahmu.' Beberapa saat kemudian jantungku berdetak semakun kencang, mulutku terasa semakin pahit dan kesadaranku mulai hilang. Semuanya gelap, sangat gelap. **Entah apa yang terjadi, saat kubuka mata, aku kembali berada di ruangan serba putih. Aku memindai se
"Lin, aku kerja dulu ya," pamit Rimba yang kujawab dengan gumaman. Rasanya tak penting banget dia harus pamit. Mau pergi ke neraka pun aku tak peduli. Dia ulurkan tangannya padaku. Alisku bertaut."Apaan?" tanyaku ketus. "Salim. Doain supaya aku dapat rejeki yang halal buat kamu juga anak kita," ucapnya yang membuatku merasa ... entah. Selama aku pacaran dengan kakaknya, Mas Rangga bahkan tidak pernah bersikap semanis ini. Cih! Modus ini, pasti.Aku melengos."Ya sudah kalau gak mau salim. Aku pergi dulu, ya," ucapnya sambil mengelus pucuk kepalaku. Dia berlalu setelah menenteng tas besar. Entah apa isinya. Sepertinya sebuah gitar. Suami? Hah! Aku bahkan tidak tau dia bekerja di mana dan sebagai apa. Dan aku pun tak peduli. Menjelang pukul sepuluh malam orang itu baru pulang. Aku sengaja tak menghiraukannya. Saat dia mengucapkan salam pun, hanya Mama yang menjawabnya. Acara di TV rasanya lebih menarik daripada harus melihat kehadiran orang itu. Orang itu? Aku mulai menyebutnya
Setelah menyanyikan beberapa lagu, Rimba turun dari panggung, dan digantikan oleh personel lain. Dia sepertinya hendak menuju ke arahku, saat Cindy tiba-tiba muncul membawakan segelas besar air putih. Rimba menerimanya tanpa lupa mengucapkan terima kasih.Sepertinya perempuan itu sudah hapal betul kebiasaan Rimba setelah manggung. Terbukti, saat lelaki itu duduk di sebelahku, dia menyusul dan memberikan selembar tisu."Kamu keringetan," ucapnya. Rimba menerima tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah karena keringat. Lalu, dia duduk di depan kami."Kamu lapar gak, Lin?" tanya Rimba.Aku menggeleng."Makanan di sini enak-enak, lho. Apalagi kalau Cindy yang masak," pujinya. Aku tersenyum datar. Cindy juga tersenyum ke arahku."Aku lagi pengen rujak sama nasi goreng rempah," ujarku."Apa? Rujak? Jam segini?" tanya Rimba. Aku mengangguk dengan wajah masam."Memangnya kenapa kalau mau rujak? Itu kan masih makanan," ucapku ketus."Ya, gak papa. Nanti aku cariin. Kalau nasi goreng rempah,
"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya.Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya.Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku."Kamu mau?" tawarnya. Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu.Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku."Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang."Aku dan Rimba saling melempar pandangan."Ah, gak pap
"Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online."Males," jawabku."Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang."Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus."Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli."Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi