Share

Bab 3

last update Last Updated: 2022-06-18 13:03:07

Rasanya kepalaku berat sekali, saat mata ini berusaha kubuka. Perlahan kubuka mata dan memindai ruangan serba putih ini.

"Aline?" terdengar suara Mama.

"Kamu sudah sadar, Sayang?" tanyanya lagi. Tak kuhiraukan. 

"Mereka benar-benar tidak punya perasaan," ucap Papa. 

"Terutama si Rangga itu. Dia pengecut," timpal Mama. 

"Apa sebaiknya kita lapor polisi saja, ya, Ma?" terdengar Papa bertanya. 

"Jangan, Pa. Kalau kita lapor polisi, nanti semua keluarga besar kita akan tau. Belum lagi jika ada orang mulut ember yang membuat viral kasus ini. Pasti Aline akan kembali jadi korban. 

"Dia sudah sakit hati karena perceraiannya, lalu trauma karena diperkosa. Apakah harus ditambah lagi dengan nama baiknya yang tercemar? Kita harus pikirkan semua ini baik-baik, Pa, jangan sampai Aline, terluka untuk kesekian kalinya" jawab Mama. 

Aku hanya bisa menitikan air mata. Benar kata Mama. Jika aku lapor polisi, semua orang akan tahu. Aibku semakin menyebar. Betapa menderitanya seorang korban perkosaan. 

Aku sungguh membenci manusia biadab itu hingga ke ubun-ubun. 

*

 Dua bulan berlalu, aku tentu saja kembali tinggal di rumah orang tua. Aku tidak mau keluar rumah. Tak ingin rasanya bertemu siapa pun. Aku takut jika mereka bertanya tentang pernikahanku yang hancur dalam hitungan jam. 

Aku berusaha menghilangkan trauma, walau sulit untuk melupakan. Bayangan menjijikan itu, kerap kali hadir dalam mimpi dan membuatku susah untuk memejamkan mata kembali.

"Aline!" Suara Mama terdengar dari balik pintu. Aku rasanya enggan untuk bangun. Diri ini bagaikan tak bertenaga. 

"Ya, Ma," jawabku enggan. 

"Bangun, ayo makan dulu. Papa udah nunggu di meja makan." Wajah Mama menyembul dari balik pintu dengan senyum manisnya.

Aku bangkit. Wajahku rasanya lengket sekali. Tubuhku pun, tercium bau tak enak. Rasanya aku ingin muntah. 

Mulut ini tak biasanya terasa pahit. Aku segera ke kamar mandi. Guyuran air sepertinya akan membuat tubuhku kembali segar. 

Kutuangkan sedikit shampo ke telapak tangan. Wanginya mendadak tercium begitu menyengat. Aku tak kuasa menahan gejolak dari dalam perut. Kucoba keluarkan, tapi hanya cairan pahit yang keluar. 

Aku segera menyudahi mandi yang sudah pasti tak bersih ini. Rasanya kamar mandi ini mendadak bau tak enak. Segala wewangian yang tercium, begitu membuatku pusing dan mual. 

Setelah berganti baju, aku segera ke ruang makan. Papa terlihat sedang menikmati secangkir kopi. Wanginya begitu menggoda, padahal biasanya aku tak suka. 

"Udah mandi, Sayang? Ayo sini makan. Mama udah buatkan nasi goreng seafood kesukaan kamu," ujar Mama sambil menyendok nasi godeng ke piring, lalu menaruhnya di depanku. 

Wangi udang yang biasanya sangat kusuka, tiba-tiba membuatku mual. Aku segera berlari ke wastafel. Rasa ingin muntah, tapi tak bisa keluar.

"Kamu kenapa, Lin?" tanya Mama dari meja makan.

"Entahlah, Ma. Mungkin masuk angin," jawabku sambil membersihkan mulut. Kulihat pantulan wajah di cermin.  Pucat. 

"Mau ke dokter?" tanya Mama di sela suapannya. Aku bisa melihat bayangannya dari dalam cermin. 

Aku menggeleng.

"Aline gak apa-apa, Ma. Aline cuma mau minum tolak angin aja," jawabku sambil berlalu menuju bufet, di mana kotak obat berada. Mama selalu sedia obat masuk angin itu, karena Papa sering ke luar kota. Obat andalan yang harus selalu dibawa. 

Terlihat selintas di deretan paling bawah, di mana biasanya Mama suka menyimpan persediaan pembalut untukku. 

Deg! 

Rasanya aku sudah lama tidak menggunakannya. Kenapa sampai lupa? Saking fokus ingin menghilangkan kenangan buruk itu, aku sampai lupa dengan hal yang satu itu. 

Aku mendadak lemas, lalu luruh ke lantai. Aku tak mengharapkan jika semua ini benar terjadi. Jantungku berdegup makin kencang. 

'Ya, Tuhan, semoga hanya gangguan hormon saja.' Aku berdoa dalam hati. 

Aku segera bangkit dan ingin kembali ke kamar. 

"Lin, mau ke mana? Makan dulu," teriak Mama yang kuabaikan begitu saja. 

Dengan hati yang kacau, aku mengambil dompet dan memakai jaket. Tubuhku mendadak terasa dingin. 

Aku ambil kunci mobil di atas nakas dan segera menuju garasi. Tak kupedulikan teriakan Mama juga Papa yang menanyakan aku akan pergi ke mana. 

Wangi parfum kopi dalam mobil sedikit mengobati rasa pusing juga mual yang melanda. 

Ah, kenapa aku mendadak suka dengan aroma kopi? 

Aku segera menjalankan mobil tanpa tujuan. Saat menemukan sebuah apotik, aku segera memarkir mobil dan turun untuk membeli benda itu. 

"Cari apa, Mbak?" tanya penjaga apotik. 

Aku melirik ke kiri dan kanan. Tak begitu banyak orang. Kenapa rasanya menjadi sebuah hal yang menakutkan saat hendak membelinya. Mungkin hal itu akan menjadi hal membanggakan jika aku dan Mas Rangga masih berstatus suami istri. Tapi ini ... ah menjijikan sekali saat aku mengingatnya. 

Setelah membeli alat itu, aku membeli sebungkus besar permen kopi untuk menetralisir rasa pahit di lidah. Entahlah, kenapa hanya wangi kopi yang aku suka. 

Saat melihat minuman bersoda, entah mengapa terlintas aku ingin membelinya. 

Sekantung kresek besar dengan isi permen kopi juga minuman bersoda kutenteng ke dalam mobil, lalu menyimpannya di jok belakang.

Aku terdiam di balik kemudi, membayangkan yang akan aku hadapi selanjutnya jika hasil dari alat itu menunjukkan sesuatu yang tidak aku harapkan. 

"Calm down, Aline. Tenang dulu. Semuanya akan baik-baik saja," hiburku pada diri sendiri. 

Sejenak aku berpikir, lalu memutuskan untuk kembali pulang. 

Sesampainya di rumah aku segera masuk kamar, tak lupa membawa barang belanjaan. 

Aku mencari benda kecil itu dari kresek kecil. Membuka bungkusnya dan segera ke kamar mandi. Sengaja aku beli beberapa. Sekarang aku akan mencobanya. Walaupun katanya urin pertama di pagi hari yang paling akurat. 

Aku bergegas mencelupkan benda itu pada wadah yang telah kuisi urin. Beberapa saat menunggu, dan .... 

Tubuhku luruh. Rasanya tak percaya jika Tuhan malah menakdirkan ini untukku. Janin terkutuk itu sepertinya benar tumbuh dalam rahimku. 

Kenapa Tuhan? Kenapa harus seperti ini? 

Tidak Aline. Kamu jangan lemah! Masih banyak cara untuk melenyapkan bayi sialan ini. 

Memang bukan salahmu, tapi aku begitu membenci ayahmu! 

Aku membereskan peralatan dan membuangnya ke tempat sampah. Aku bergegas   mengambil ponsel dan  mencari informasi dari internet tentang hal-hal yang bisa menyebabkan keguguran. Mumpung janin ini masih kecil, pasti mudah untuk melenyapkannya. 

Aku hidupkan musik sekeras-kerasnya. Dengan menggunakan headset aku mendengarkan musik itu sambil jejingkrakan. Sebuah minuman bersoda aku teguk beberapa kali hingga tandas. Berharap janin sialan ini akan pergi dan mati. 

Sayup terdengar suara Mama yang memanggilku beberapa kali. Tak kuhiraukan. Aku menari mengikuti suara musik yang memekakkan telinga. 

Aku hanya ingin sendiri dan menyuruhnya pergi untuk mati. 

Salahmu sendiri tercipta dari seorang ayah yang durjana. Memang bukan salahmu, tapi aku begitu membenci ayahmu!

Berulang kali kalimat itu kuucapkan dalam hati. Berharap dia mau mengerti. 

Related chapters

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 4

    Setelah beberapa hari janin ini tak juga mau keluar. Aku mulai merasa frustrasi. Apakah harus mencari klinik aborsi ilegal? Tapi di mana? Aku mondar-mandir di kamar sambil berpikir. Apa aku minum obat-obatan saja ya, biar bayi sialan ini keracunan? 'Iihh kenapa kamu gak mati saja, sih!' umpatku dalam hati. Aku mengendap keluar. Kulihat Mama sedang asik menonton acara TV kesayangannya. Aku segera ke bufet di mana obat-obatan berada. Kuambil semua yang ada dan segera mengembalikan kotaknya ke tempat semula. Berbagai obat pereda nyeri dan entah obat apalagi ýang ada di depanku. Aku mengambil beberapa butir dan menelannya bersama segelas air putih. 'Semoga kau mati bayi sialan! Aku tidak jngin terikat denganmu, apalagi dengan ayahmu.' Beberapa saat kemudian jantungku berdetak semakun kencang, mulutku terasa semakin pahit dan kesadaranku mulai hilang. Semuanya gelap, sangat gelap. **Entah apa yang terjadi, saat kubuka mata, aku kembali berada di ruangan serba putih. Aku memindai se

    Last Updated : 2022-06-18
  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 5

    "Lin, aku kerja dulu ya," pamit Rimba yang kujawab dengan gumaman. Rasanya tak penting banget dia harus pamit. Mau pergi ke neraka pun aku tak peduli. Dia ulurkan tangannya padaku. Alisku bertaut."Apaan?" tanyaku ketus. "Salim. Doain supaya aku dapat rejeki yang halal buat kamu juga anak kita," ucapnya yang membuatku merasa ... entah. Selama aku pacaran dengan kakaknya, Mas Rangga bahkan tidak pernah bersikap semanis ini. Cih! Modus ini, pasti.Aku melengos."Ya sudah kalau gak mau salim. Aku pergi dulu, ya," ucapnya sambil mengelus pucuk kepalaku. Dia berlalu setelah menenteng tas besar. Entah apa isinya. Sepertinya sebuah gitar. Suami? Hah! Aku bahkan tidak tau dia bekerja di mana dan sebagai apa. Dan aku pun tak peduli. Menjelang pukul sepuluh malam orang itu baru pulang. Aku sengaja tak menghiraukannya. Saat dia mengucapkan salam pun, hanya Mama yang menjawabnya. Acara di TV rasanya lebih menarik daripada harus melihat kehadiran orang itu. Orang itu? Aku mulai menyebutnya

    Last Updated : 2022-06-18
  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 6

    Setelah menyanyikan beberapa lagu, Rimba turun dari panggung, dan digantikan oleh personel lain. Dia sepertinya hendak menuju ke arahku, saat Cindy tiba-tiba muncul membawakan segelas besar air putih. Rimba menerimanya tanpa lupa mengucapkan terima kasih.Sepertinya perempuan itu sudah hapal betul kebiasaan Rimba setelah manggung. Terbukti, saat lelaki itu duduk di sebelahku, dia menyusul dan memberikan selembar tisu."Kamu keringetan," ucapnya. Rimba menerima tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah karena keringat. Lalu, dia duduk di depan kami."Kamu lapar gak, Lin?" tanya Rimba.Aku menggeleng."Makanan di sini enak-enak, lho. Apalagi kalau Cindy yang masak," pujinya. Aku tersenyum datar. Cindy juga tersenyum ke arahku."Aku lagi pengen rujak sama nasi goreng rempah," ujarku."Apa? Rujak? Jam segini?" tanya Rimba. Aku mengangguk dengan wajah masam."Memangnya kenapa kalau mau rujak? Itu kan masih makanan," ucapku ketus."Ya, gak papa. Nanti aku cariin. Kalau nasi goreng rempah,

    Last Updated : 2022-06-30
  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 7

    "Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya.Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya.Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku."Kamu mau?" tawarnya. Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu.Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku."Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang."Aku dan Rimba saling melempar pandangan."Ah, gak pap

    Last Updated : 2022-06-30
  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 8

    "Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online."Males," jawabku."Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang."Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus."Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli."Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke

    Last Updated : 2022-06-30
  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 9

    "Lin, beli perlengkapan bayi, yuk! Kita beli yang netral aja. Warna hijau atau kuning, biar bisa buat anak laki-laki atau perempuan. Kamu mau anak laki atau perempuan?" tanyanya di suatu pagi."Mau laki, kek. Perempuan, kek. Aku hak peduli. Urus aja sama kamu!" ucapku ketus. Semoga saja dia makin sakit hati."Kamu mau ikut gak belinya?" tanyanya lagi. Tak kujawab. Kupasang wajah masam."Takut kamu gak sesuai sama seleraku. Selera cewek sama cowok kan beda—""Terserah! Aku gak peduli kamu mau beli baju kayak gimana. Lagian emang kamu punya duit buat beli? Kalo kamu mau ngajak aku belanja, minimal di dompetmu harus ada seratus juta," potongku. Terlihat raut wajahnya berubah sendu. Hahaha. Aku puas melihatmu menderita. Semoga saja kamu menikmati saat menelan kata-kata pahit dariku. Dia menunduk dan berlalu dari hadapanku.**"Rimba, bukannya kamu mau ngajak aku belanja peralatan bayi?" tanyaku esok harinya. Dia tampak bahagia mendengar tawaranku."Beneran kamu mau beli peralatan bayi?"

    Last Updated : 2022-06-30
  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 10

    "Dek, lagi apa? Ini Papa. Sebentar lagi kamu akan melihat dunia. Lihat Papa, Mama dan semua yang sayang sama Adek," ucapnya sambil mengelus. Kurasakan gerakan dari dalam perutku."Setelah anak ini lahir, aku ingin kita bercerai. Bawalah anak ini. Aku tidak menginginkannya," ucapku dengan wajah masam. Rimba bangkit dan menoleh ke arahku."Apa tidak sebaiknya kita bicarakan itu nanti? Aku tidak berniat menceraikanmu. Aku ingin kita bersama membesarkan anak ini," ucapnya dengan tatapan nanar.Aku mendengkus."Mimpimu terlalu tinggi. Mana bisa kamu memenuhi kebutuhanku dan anakmu, jika gajimu saja tidak lebih besar dari uang jajanku," cibirku. Dia menunduk dan mengangguk pelan."Benar, jika kamu selalu menilai segala sesuatu dengan uang. Aku selalu melihat berkahnya, bukan jumlahnya.""Hahaha, bilang aja kamu gak mampu kaya kakakmu. Kalian itu bagaikan langit dan bumi," ucapku dengan senyuman miring."Ya, aku memang tidak seperti kakakku. Kak Rangga memang selalu jadi kebanggaan Mami sam

    Last Updated : 2022-06-30
  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 11

    Setelah menjalani kontraksi selama beberapa jam, Aline akhirnya melahirkan seorang bayi mungil yang sehat. "Bayinya laki-laki, Lin," ucap Rimba. Aline menoleh sekilas, lantas kembali memejamkan matanya. "Lin, kamu gak mau lihat anakmu? Dia mirip aku," ucap Rimba pelan. Wajahnya berbinar saat melihat sang buah hati. Aline melengos."Bayinya segera disusui ya, Bu, biar tidak kuning, jadi bisa cepat pulang," ucap seorang perawat yang menyerahkan bayi pada Rimba. Lelaki itu mengangguk. Bagi mungil itu mulai merengek. "Lin, Adek haus kayaknya. Susuin dulu, ya," pinta Rimba sambil menimang bayinya. Aline segera membalikkan badannya. Tangisan bayi itu semakin keras. Namun, sepertinya Aline tak tergugah hatinya. Dia menutup kedua telinganya dengan tangan. "Berisiikkk! Aku cape, mau tidur!" teriaknya. Untung saja mereka ada di ruang VIP. "Lin, apa kamu gak kasian? Lihat, dia mencari kamu," bujuk Rimba. "Kasih susu formula aja kalau kamu emang kasian sama dia," jawab Aline ketus. "Lin,

    Last Updated : 2022-06-30

Latest chapter

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 197

    Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 196

    “Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 195

    Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 194

    Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 193

    “Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 192

    Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 191

    Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 190

    “Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya

  • TERNODA DI MALAM PERTAMA   Bab 189

    “Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status