Semua Bab TERNODA DI MALAM PERTAMA: Bab 61 - Bab 70

197 Bab

Bab 61

Setumpuk dokumen sudah menantiku di atas meja. Aku membukanya satu-satu. Permintaan persetujuan pembelian bahan baku,  sales kontrak, PO, persetujuan klaim dan masih banyak lagi yang lainnya menunggu tanda tanganku. Jika saja aku tidak mengingat kebaikan orang itu, sebetulnya aku tidak suka dengan semua ini. Aku lebih suka jika membuka sebuah kafe atau tour dan travel. Aku lebih suka dengan kegiatan outdoor ketimbang terkurung di dalam ruangan seperti ini. Namun, orang itu memintaku mengurus ini sementara waktu. Sebuah panggilan masuk. Nama Emely tertera di sana. Walau malas aku mengangkatnya. "Rimba! Ke mana aja, sih? WA aku gak dibalas-balas." Sebuah suara langsung menyerbu ke telinga. Selalu saja begitu. Mungkin sudah saatnya aku harus memberi pengertian pada gadis itu jika aku tidak bisa lagi melanjutkan semua ini. Sikap baikku, sepertinya dia salah artikan. Dia menganggap aku membalas cintanya. Kini aku bukan l
Baca selengkapnya

Bab 62

"Tapi aku maunya kamu, Rimba, bukan orang lain!" pekiknya dengan derai air mata. Duh, aku tidak tega jika sudah melihat air mata. Tapi aku lebih tidak tega lagi untuk menyakiti istriku. Haruskah aku bilang jika aku sudah  menikah dengan Aline? Bagaimana jika nanti mereka berbuat jahat pada istriku itu? Aneka prasangka tergambar dalam benakku. Sementara, aku harus merahasiakan pernikahan ini, sampai semuanya aman. "Tapi aku tidak bisa, Mel. Maaf sepertinya ini adalah pertemuan terakhir kita," ucapku dan bangkit hendak meninggalkannya. Emely ikut berdiri. Dia menarik tanganku dan memohon agar aku tidak meninggalkannya. Aku menggeleng pelan. "Maaf, Mel," ucapku pelan dan meninggalkannya dalam keadaan buruk. Wajahnya memelas dengan derai air mata. Aku tidak boleh menatapnya, atau aku akan kembali merasa kasihan padanya. Aku menjalankan Pajero Sport hitamku dengan  kecepatan tinggi. Ingin segera menemui istriku yang
Baca selengkapnya

Bab 63

"Cepat ke sini!" Masih terdengar suara Ravi di seberang sana sebelum aku memutuskan sambungan teleponnya."Ada apa, Sayang?" Aline mendekat padaku. Aku menatap layar telepon, ternyata banyak sekali pesan yang dikirimkan oleh Emely, dan yang terakhir sebuah pesan suara dikirimnya. Aku membukanya."Aku lebih baik mati, daripada harus kehilanganmu." Suaranya bercampur tangis."Siapa itu?""Emely.""Kenapa dia?""Mencoba bunuh diri.""Bunuh diri? Kenapa?""Tadi sore aku memutuskan hubungan dengannya, dia tidak terima, lalu ...." Kalimatku menggantung. "Aku tidak menyangka dia akan senekad itu.""Jadi ... tadi kamu bohong, Mas? Katanya kamu banyak kerjaan." Wajahnya berubah masam. Duh, ketahuan juga. Aku meraih pundaknya."Maaf, Sayang. Aku hanya tidak mau membuatmu cemburu dan khawatir." Dia mendelik. Duuh, jangan sampai istriku marah. "Maaf. Hukum aja deh daripada kamu cemberut," rayuku, tetapi mukanya masih saja masam. Gemas rasanya. Sepertinya ini harus diselesaikan di kamar. Kata or
Baca selengkapnya

Bab 64

"Ke mana aja? Kami menunggumu dari semalam," ujarnya. "Duduk sini!" Dia menunjuk sofa yang tak jauh dari tempat mereka duduk."Maaf, Om.""Semalam kami kacau karena Emely tidak mau keluar kamar. Akhirnya pintunya didobrak sama Ravi. Dan kami menemukan Emely sudah tak sadarkan diri dengan pergelangan tangan yang bersimbah darah. Kami segera membawanya ke sini. Untung saja Emely masih bisa diselamatkan."Maaf, Rimba. Ravi curiga, semua ini ada hubungannya sama kamu. Kemudian kami mengecek handphone-nya, dan ternyata memang benar. Dari pesan-pesan yang dia kirim ke kamu, kami tahu jika dia frustrasi karena diputusin sama kamu. Memangnya Emely salah apa sampai kamu mutusin dia?" Terdengar nada khawatir dari seorang ayah.Aku mengembuskan napas panjang sebelum mulai menjelaskan persoalan yang sebenarnya."Maaf, Om. Kalau boleh saya bilang, sebetulnya di antara kami tidak pernah ada hubungan spesial. Semua itu, karena Emely telah salah tanggap dengan semua sikap saya," jelasku."Lho, bukan
Baca selengkapnya

Bab 65

Sesuai kesepakatan, akhirnya Rimba harus menjaga Emely beberapa jam sebelum berangkat kerja juga sepulang dari kantor. Walaupun merasa lelah, dia paksakan juga. Dengan langkah gontai, dia memasuki ruangan yang bagai penjara baginya. Merasa enggan, tapi tak enak hati. Kini, tak ada lagi interaksi antara Ravi dan Rimba sebagai seorang teman. Semuanya hancur karena masalah hati. Saat membuka pintunya, Bu Wina tampak semringah menyambut kedatangan lelaki itu. "Masuk, kamu sudah makan belum?" tanya wanita paruh baya itu. "Ah, sudah, Bu." Rimba berbohong. Dia tidak ingin mengecewakan Aline. Istrinya itu pasti sudah menyiapkan makan malam untuknya. "Duduk di sini, Nak," pinta Bu Wina yang dengan cekatan mengambilkan sebuah kursi dan ditaruh di samping ranjang Emely. Walau merasa risi, Rimba akhirnya menurut juga. "Ibu tingga
Baca selengkapnya

Bab 66

"Heem, kalau bisa rasanya pengen makan orang." Rimba menjawab sambil terkekeh. Aline ikut tertawa."Kok pengen makan orang, sih?" Kening Aline mengernyit. "Ya, kesel aja," jawab Rimba sambil mengunyah. "Emely?" "Ya, siapa lagi." "Dia udah sadar?" Aline menopang dagunya dengan kedua tangan sambil memandang sang suami. "Udah, malah aku kira dia tidak pernah koma. Sepertinya hanya pura-pura saja." Rimba meletakan sendok yang sudah selesai dia gunakan, lalu meneguk segelas air putih hingga tandas. "Maksud kamu gimana?" Aline sepertinya tidak mengerti. "Saat aku menungguinya, dia bisa langsung sadar gitu, minta ini, minta itu. Masa sih, orang yang baru bangun dari koma seperti itu? Makanya aku jadi curiga." "Masa, sih. Maksud kamu, Emely sengaja mengelabui kita semua?" Aline menautkan alisnya.
Baca selengkapnya

Bab 67

Ambar memapah tubuh Rimba yang masih gemetar menahan emosi. Keningnya mengerut tak mengerti."Kenapa Anda malah berkelahi, Pak?" tanya Ambar ragu-ragu."Ah, sudah, tidak apa-apa. Ini hanya masalah laki-laki. Sudah, kamu kembali saja ke tempatmu!" Rimba duduk di kursi kebesarannya, dengan tangan bertumpu pada meja dan memijit pelipisnya.Ambar meninggalkan ruangan itu dengan segudang pertanyaan memenuhi benaknya. Ravi dan Rimba biasanya saling mendukung dalam hal pekerjaan. Namun, sekarang? Keduanya bagai musuh bebuyutan yang baru bertemu.Rimba mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu mengotak-atiknya untuk menghubungi seseorang.Sebuah nada sambung terdengar. Tak lama terdengar suara yang begitu dihapalnya."Kenapa Rimba?" Lelaki itu tahu, jika Rimba menelepon, pasti ada sesuatu yang sangat penting."Ravi mengancam akan meminta om-nya untuk menarik seluruh sahamnya dari perusaan ini, Pa. Mungkin nanti kita bicarakan saja di rumah." Rimba menutup sambungan teleponnya sesaat
Baca selengkapnya

Bab 68

"Maaf, ya. Aku merahasiakan ini karena permintaan papamu. Dia berharap, jika suatu saat kita bertemu lagi, dengan kondisi ekonomi kita yang terbalik. Aku seorang yang sukses, sementara kamu hanya pegawai biasa. Papa ingin, saat kita bertemu, kamu sudah menyadari setiap kesalahan yang sudah kamu lakukan," bisik Rimba pada sang istri dalam pelukannya. Aline masih terisak."Papa jahat. Saat aku seperti orang gila mencarimu kemana-mana, dia tidak memberitahuku, padahal dia tau di mana kamu berada." Aline semakin terisak. Rimba mengeratkan pelukannya."Maaf. Saat itu aku pun begitu terluka. Luka karena kehilangan Rasya, juga karena harus meninggalkanmu. Eh, ngomong-ngomong, aku laper banget, ini. Tadi siang gak nafsu makan. Nafsu pengen hajar orang bawaannya." Rimba mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku."Ah, iya. Aku sampe lupa. Ayo, aku siapkan." Aline menuntun suaminya ke meja makan.***"Kenapa dia belum datang? Harusnya dia sudah di sini dan menjagaku!" gerutu Emely. Dia mondar-
Baca selengkapnya

Bab 69

Rumah kamu walaupun kecil tapi nyaman, ya, Mas?" ujar Aline, saat mereka memasuki rumah mungil itu. Hanya ada dua buah kamar, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur yang menyatu dengan ruang makan."Sekarang, ini bukan hanya rumah aku, tapi rumah kita. Itu juga kalau kamu mau," ujar Rimba."Kok, kamu bilang gitu, Mas?" Aline cemberut."Aku hanya becanda, Sayang. Ayo, sini!" Rimba menarik tangan sang istri menuju kamar depan. Perlahan Rimba memutar handle-nya. Sebuah kamar yang cukup besar dan terlihat nyaman. Kasur Queen size ada di tengah. Kamarnya bergaya minimalis dan maskulin, menggambarkan sosok pemiliknya."Cowok banget kamarmu, Mas." Aline memindai setiap benda di sana. Rimba hanya menjawab dengan gumaman."Sebelumnya, kan, hanya aku yang tinggal di sini. Kalau nanti kamu mau ganti barang, boleh aja. Aku ikut kata nyonya rumah aja," ujar Rimba, ditanggapi Aline dengan tertawa kecil."Boleh duduk ya?" tanya Aline sambil mengempaskan badannya di pinggir kasur."Tentu saja boleh. Ma
Baca selengkapnya

Bab 70

"Kamu sekarang sudah berubah. Aku juga sudah memaafkanmu. Sekarang saatnya kita melangkah menuju kehidupan yang baru."***Beberapa hari berlalu.Sore itu Rimba menerima telepon dari Darwis. Dia mengatakan jika keadaan perusahaan tetap stabil. Tidak ada ancaman apapun dari pihak keluarga Emely. Rimba pun tidak keberatan saat Darwis memintanya kembali memimpin perusahaan itu. Terlebih, saat dia menerima telepon dari Ravi dan Emely yang meminta bertemu dengan Rimba juga Aline."Apa benar mereka mengerti dan memaafkan kita?" tanya Aline setelah mendengar dari sang suami bahwa kedua orang itu meminta bertemu."Kita lihat saja nanti. Emely bilang, sih, dia menyesal sudah melakukan itu semua. Dia juga bilang ingin memberi selamat untuk pernikahan kita, karena itu mereka ingin bertemu." Rimba menjelaskan."Aku bahagia jika mereka memang menyadari jika hati itu tidak bisa dipaksakan. Aku berharap bisa hidup tenang sama kamu," ucap Aline dan memeluk suaminya dari belakang. Rimba mengelus tan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
20
DMCA.com Protection Status