Rumah kamu walaupun kecil tapi nyaman, ya, Mas?" ujar Aline, saat mereka memasuki rumah mungil itu. Hanya ada dua buah kamar, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur yang menyatu dengan ruang makan."Sekarang, ini bukan hanya rumah aku, tapi rumah kita. Itu juga kalau kamu mau," ujar Rimba."Kok, kamu bilang gitu, Mas?" Aline cemberut."Aku hanya becanda, Sayang. Ayo, sini!" Rimba menarik tangan sang istri menuju kamar depan. Perlahan Rimba memutar handle-nya. Sebuah kamar yang cukup besar dan terlihat nyaman. Kasur Queen size ada di tengah. Kamarnya bergaya minimalis dan maskulin, menggambarkan sosok pemiliknya."Cowok banget kamarmu, Mas." Aline memindai setiap benda di sana. Rimba hanya menjawab dengan gumaman."Sebelumnya, kan, hanya aku yang tinggal di sini. Kalau nanti kamu mau ganti barang, boleh aja. Aku ikut kata nyonya rumah aja," ujar Rimba, ditanggapi Aline dengan tertawa kecil."Boleh duduk ya?" tanya Aline sambil mengempaskan badannya di pinggir kasur."Tentu saja boleh. Ma
"Kamu sekarang sudah berubah. Aku juga sudah memaafkanmu. Sekarang saatnya kita melangkah menuju kehidupan yang baru."***Beberapa hari berlalu.Sore itu Rimba menerima telepon dari Darwis. Dia mengatakan jika keadaan perusahaan tetap stabil. Tidak ada ancaman apapun dari pihak keluarga Emely. Rimba pun tidak keberatan saat Darwis memintanya kembali memimpin perusahaan itu. Terlebih, saat dia menerima telepon dari Ravi dan Emely yang meminta bertemu dengan Rimba juga Aline."Apa benar mereka mengerti dan memaafkan kita?" tanya Aline setelah mendengar dari sang suami bahwa kedua orang itu meminta bertemu."Kita lihat saja nanti. Emely bilang, sih, dia menyesal sudah melakukan itu semua. Dia juga bilang ingin memberi selamat untuk pernikahan kita, karena itu mereka ingin bertemu." Rimba menjelaskan."Aku bahagia jika mereka memang menyadari jika hati itu tidak bisa dipaksakan. Aku berharap bisa hidup tenang sama kamu," ucap Aline dan memeluk suaminya dari belakang. Rimba mengelus tan
Aku terbangun dengan badan yang terasa lelah. Tentu saja, pergulatan semalam begitu menguras tenaga. Rimba benar-benar ... ah, susah diungkapkan dengan kata-kata."Sudah bangun, Sayang?" Suaranya yang pertama terdengar di telingaku. Wajahnya tampak segar dengan rambut yang masih basah. Tubuh atletisnya hanya terlilit handuk di bagian bawah, menampilkan roti sobeknya yang membuat aku terpesona. Untung saja sudah halal, jadi aku boleh menikmatinya sesuka hati."Udah mandi?" tanyaku sambil menggeliat malas."Udah, dong. Bentar lagi azan Subuh. Ayo, mandi. Kita sholat bareng," ajaknya.Aku kembali menggeliat. Meluruskan otot-otot yang terasa kaku. Setiap hari harus mandi sebelum Subuh. Walaupun malas, mau bagaimana lagi, udah kewajiban.Selesai mandi dan sholat, Rimba mengajakku ngaji bersama. Aku takjub mendengar suaranya yang merdu tidak hanya dalam menyanyi, tapi juga saat membaca ayat suci. Aku belum sempat bertanya padanya, di mana dia belajar mengaji. Dia membetulkan bacaanku yang m
Setelah kami masuk dan pintu tertutup, Mami menatapku dengan sinis."Kamu ini, sudah membuat keluarga ini hancur. Rimba pergi jauh, Rangga jadi buronan lalu hidup Mami dan Papi jadi menderita," tuduhnya menyalahkanku. Aku menautkan alis tak mengerti. Ternyata kehancuran keluarga ini tidak ikut menghancurkan kesombongannya."Mi ... sudahlah. Semua ini justru berawal dari keluarga ini. Aline justru korban di sini," ujar Rimba membelaku. Mami mendelik ke arahku. Tak kuhiraukan. Aku masih ingat, sifatnya memang seperti itu."Kalau dia tidak melapor polisi, mana mungkin anak kesayangan Mami jadi buronan," ucapnya parau. Dia mulai menangis.Huh. Di saat seperti ini, mertuaku ini masih saja bersikap seolah aku yang menyebabkan hancurnya kehidupannya. Seolah dia tidak tahu jika anak kesayangannya itu yang justru telah berbuat buruk padaku."Mi, wajar saja kalau Aline melaporkan Kak Rangga. Dia itu sudah melakukan perdagangan manusia. Dia menjual Aline pada lelaki tua demi uang," ujar Rimba me
"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah mengerti kondisi orang tuaku, " bisik Rimba di telingaku, sesaat setelah mengarungi surga dunia selepas sholat Subuh. Dia memelukku erat dari belakang."Tidak perlu berterima kasih, Mas. Mereka itu orang tuaku juga. Oh, ya, Mas. Kamu belum jawab, kenapa kamu berbeda sendiri dari orang tua sama kakakmu?" tanyaku heran."Beda gimana? Aku sama, kok. Masih orang," kekehnya."Iih!" Aku mencubit lengannya yang melingkar di perutku. Dia meringis sambil tertawa."Maksudku, kenapa kamu baik? Sedangkan mereka ... maaf, mereka begitu jahat," lanjutku."Aku sempat berpikir jika kamu bukan anak kandung mereka. Orang kamu selalu disisihkan." Aku menoleh dan menatap manik indah itu. Dia tersenyum lalu mengembus napas kasar."Alasan tepatnya, aku tidak begitu tau. Hanya saja, dari kecil aku lebih banyak tinggal dengan Nenek dan Kakek
"Licik ya! Maen nyamber aja." Rimba menggelitikku. Aku tertawa kegelian."Mas, udah, Mas ... ampuunn ... geli," jeritku, tapi sepertinya Rimba tak mau menghentikan. Aku pasrah karena tenaganya jauh lebih kuat. Akhirnya dia berhenti juga. Aku membuka mata dengan napas yang tersengal."Siapa saja wanita yang pernah kamu sentuh?" tanyaku tiba-tiba. Dia menaikkan alisnya."Siapa lagi wanita yang pernah kamu sentuh selain aku?" ulangku."Gak ada. Aku hanya pernah menyentuhmu saja.""Bener?""Tanyain aja sama yang lain. Siapa wanita yang kamu curiga pernah aku sentuh," ucapnya."Cindy, Emely atau mungkin ada wanita lain dalam hidup kamu," tuduhku."Ya, sana tanyain deh. Apa pernah aku pegang-pegang mereka. Yaa ... pernah sih tanganku dipegang sama Emely, tapi itu juga dia yang megang.""Tapi kamu suka,
Aku menyibak gorden kamar hotel yang kami booking tak jauh dari rumah sakit. Sinar mataharinya menyelinap hangat menyentuh kulit. Tadi, kami bermalas-malasan setelah sholat Subuh dan mengaji.Ini adalah hari kedua kami menjenguk Papi di Bandung. Kondisinya masih sama. Penyakit Papi cepat menjadi parah karena sama sekali tidak diobati selama berbulan-bulan, juga karena malnutrisi.Dokter menyarankan Papi segera dioperasi agar sel kanker tidak menyebar ke organ lain. Mami sepertinya pasrah dengan apa yang disarankan dokter. Sementara Rimba dan aku menyarankan Papi dioperasi di Jakarta saja, agar kami tidak terlalu jauh bolak-balik menengok.Beruntung Mami menyetujui usul kami. Sepertinya beliau mengerti kondisi sang anak yang harus tetap bekerja. Setelah kondisi Papi cukup stabil, kami berencana membawanya ke Jakarta.Aku memandangi jalanan kota Bandung yang sudah terlihat ramai di pagi hari. Angkutan kota, bis dan mobil pribadi berseliweran.Sebuah pelukan melingkar di perutku. Aku me
"Salahku dulu, tidak pernah melarang kakekmu korupsi. Melihat uang yang banyak, membuat kami kalap. Tanpa kami sadar, semua itu akan menjadi petaka bagi hidup kami.""Nek, kalau Papi dan Mas Rangga bisa begitu jahat, kenapa Mas Rimba berbeda?" tanyaku pada Nenek, karena beliau sendiri yang memulai cerita.Nenek menoleh. "Rimba dititipkan pada kami, karena kakaknya selalu ngamuk kalau mereka memperhatikan adiknya. Waktu itu kebetulan Kakek sudah sadar dengan semua kesalahannya. Kakek juga sudah mendekati pensiun, jadi mungkin Rimba tidak pernah mendapatkan harta kotor itu. Anak ini justru banyak prihatin. Hidup sederhana. Dia juga yang sering membela Nenek kalau papinya ngamuk-ngamuk. Rangga itu persis Rusdy. Gampang ngamuk kalau ingin sesuatu."Aku tidak sanggup mendengar cerita Nenek. Sepertinya hanya membuka luka lama. Aku mengelus tangan tua itu. "Sudah, Nek. Tidak usah dilanjutkan. Maaf kalau Aline malah membuat Nenek sedih," ucapku. Nenek mengusap matanya dengan punggung tangan.
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi