Setumpuk dokumen sudah menantiku di atas meja. Aku membukanya satu-satu. Permintaan persetujuan pembelian bahan baku, sales kontrak, PO, persetujuan klaim dan masih banyak lagi yang lainnya menunggu tanda tanganku. Jika saja aku tidak mengingat kebaikan orang itu, sebetulnya aku tidak suka dengan semua ini. Aku lebih suka jika membuka sebuah kafe atau tour dan travel. Aku lebih suka dengan kegiatan outdoor ketimbang terkurung di dalam ruangan seperti ini. Namun, orang itu memintaku mengurus ini sementara waktu.
Sebuah panggilan masuk. Nama Emely tertera di sana. Walau malas aku mengangkatnya.
"Rimba! Ke mana aja, sih? WA aku gak dibalas-balas." Sebuah suara langsung menyerbu ke telinga. Selalu saja begitu. Mungkin sudah saatnya aku harus memberi pengertian pada gadis itu jika aku tidak bisa lagi melanjutkan semua ini. Sikap baikku, sepertinya dia salah artikan. Dia menganggap aku membalas cintanya.
Kini aku bukan l
"Tapi aku maunya kamu, Rimba, bukan orang lain!" pekiknya dengan derai air mata. Duh, aku tidak tega jika sudah melihat air mata. Tapi aku lebih tidak tega lagi untuk menyakiti istriku. Haruskah aku bilang jika aku sudah menikah dengan Aline? Bagaimana jika nanti mereka berbuat jahat pada istriku itu? Aneka prasangka tergambar dalam benakku. Sementara, aku harus merahasiakan pernikahan ini, sampai semuanya aman."Tapi aku tidak bisa, Mel. Maaf sepertinya ini adalah pertemuan terakhir kita," ucapku dan bangkit hendak meninggalkannya. Emely ikut berdiri. Dia menarik tanganku dan memohon agar aku tidak meninggalkannya. Aku menggeleng pelan."Maaf, Mel," ucapku pelan dan meninggalkannya dalam keadaan buruk. Wajahnya memelas dengan derai air mata. Aku tidak boleh menatapnya, atau aku akan kembali merasa kasihan padanya.Aku menjalankan Pajero Sport hitamku dengan kecepatan tinggi. Ingin segera menemui istriku yang
"Cepat ke sini!" Masih terdengar suara Ravi di seberang sana sebelum aku memutuskan sambungan teleponnya."Ada apa, Sayang?" Aline mendekat padaku. Aku menatap layar telepon, ternyata banyak sekali pesan yang dikirimkan oleh Emely, dan yang terakhir sebuah pesan suara dikirimnya. Aku membukanya."Aku lebih baik mati, daripada harus kehilanganmu." Suaranya bercampur tangis."Siapa itu?""Emely.""Kenapa dia?""Mencoba bunuh diri.""Bunuh diri? Kenapa?""Tadi sore aku memutuskan hubungan dengannya, dia tidak terima, lalu ...." Kalimatku menggantung. "Aku tidak menyangka dia akan senekad itu.""Jadi ... tadi kamu bohong, Mas? Katanya kamu banyak kerjaan." Wajahnya berubah masam. Duh, ketahuan juga. Aku meraih pundaknya."Maaf, Sayang. Aku hanya tidak mau membuatmu cemburu dan khawatir." Dia mendelik. Duuh, jangan sampai istriku marah. "Maaf. Hukum aja deh daripada kamu cemberut," rayuku, tetapi mukanya masih saja masam. Gemas rasanya. Sepertinya ini harus diselesaikan di kamar. Kata or
"Ke mana aja? Kami menunggumu dari semalam," ujarnya. "Duduk sini!" Dia menunjuk sofa yang tak jauh dari tempat mereka duduk."Maaf, Om.""Semalam kami kacau karena Emely tidak mau keluar kamar. Akhirnya pintunya didobrak sama Ravi. Dan kami menemukan Emely sudah tak sadarkan diri dengan pergelangan tangan yang bersimbah darah. Kami segera membawanya ke sini. Untung saja Emely masih bisa diselamatkan."Maaf, Rimba. Ravi curiga, semua ini ada hubungannya sama kamu. Kemudian kami mengecek handphone-nya, dan ternyata memang benar. Dari pesan-pesan yang dia kirim ke kamu, kami tahu jika dia frustrasi karena diputusin sama kamu. Memangnya Emely salah apa sampai kamu mutusin dia?" Terdengar nada khawatir dari seorang ayah.Aku mengembuskan napas panjang sebelum mulai menjelaskan persoalan yang sebenarnya."Maaf, Om. Kalau boleh saya bilang, sebetulnya di antara kami tidak pernah ada hubungan spesial. Semua itu, karena Emely telah salah tanggap dengan semua sikap saya," jelasku."Lho, bukan
Sesuai kesepakatan, akhirnya Rimba harus menjaga Emely beberapa jam sebelum berangkat kerja juga sepulang dari kantor. Walaupun merasa lelah, dia paksakan juga.Dengan langkah gontai, dia memasuki ruangan yang bagai penjara baginya. Merasa enggan, tapi tak enak hati.Kini, tak ada lagi interaksi antara Ravi dan Rimba sebagai seorang teman. Semuanya hancur karena masalah hati.Saat membuka pintunya, Bu Wina tampak semringah menyambut kedatangan lelaki itu."Masuk, kamu sudah makan belum?" tanya wanita paruh baya itu."Ah, sudah, Bu." Rimba berbohong. Dia tidak ingin mengecewakan Aline. Istrinya itu pasti sudah menyiapkan makan malam untuknya."Duduk di sini, Nak," pinta Bu Wina yang dengan cekatan mengambilkan sebuah kursi dan ditaruh di samping ranjang Emely.Walau merasa risi, Rimba akhirnya menurut juga."Ibu tingga
"Heem, kalau bisa rasanya pengen makan orang." Rimba menjawab sambil terkekeh. Aline ikut tertawa."Kok pengen makan orang, sih?" Kening Aline mengernyit."Ya, kesel aja," jawab Rimba sambil mengunyah."Emely?""Ya, siapa lagi.""Dia udah sadar?" Aline menopang dagunya dengan kedua tangan sambil memandang sang suami."Udah, malah aku kira dia tidak pernah koma. Sepertinya hanya pura-pura saja."Rimba meletakan sendok yang sudah selesai dia gunakan, lalu meneguk segelas air putih hingga tandas."Maksud kamu gimana?" Aline sepertinya tidak mengerti."Saat aku menungguinya, dia bisa langsung sadar gitu, minta ini, minta itu. Masa sih, orang yang baru bangun dari koma seperti itu? Makanya aku jadi curiga.""Masa, sih. Maksud kamu, Emely sengaja mengelabui kita semua?" Aline menautkan alisnya.
Ambar memapah tubuh Rimba yang masih gemetar menahan emosi. Keningnya mengerut tak mengerti."Kenapa Anda malah berkelahi, Pak?" tanya Ambar ragu-ragu."Ah, sudah, tidak apa-apa. Ini hanya masalah laki-laki. Sudah, kamu kembali saja ke tempatmu!" Rimba duduk di kursi kebesarannya, dengan tangan bertumpu pada meja dan memijit pelipisnya.Ambar meninggalkan ruangan itu dengan segudang pertanyaan memenuhi benaknya. Ravi dan Rimba biasanya saling mendukung dalam hal pekerjaan. Namun, sekarang? Keduanya bagai musuh bebuyutan yang baru bertemu.Rimba mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu mengotak-atiknya untuk menghubungi seseorang.Sebuah nada sambung terdengar. Tak lama terdengar suara yang begitu dihapalnya."Kenapa Rimba?" Lelaki itu tahu, jika Rimba menelepon, pasti ada sesuatu yang sangat penting."Ravi mengancam akan meminta om-nya untuk menarik seluruh sahamnya dari perusaan ini, Pa. Mungkin nanti kita bicarakan saja di rumah." Rimba menutup sambungan teleponnya sesaat
"Maaf, ya. Aku merahasiakan ini karena permintaan papamu. Dia berharap, jika suatu saat kita bertemu lagi, dengan kondisi ekonomi kita yang terbalik. Aku seorang yang sukses, sementara kamu hanya pegawai biasa. Papa ingin, saat kita bertemu, kamu sudah menyadari setiap kesalahan yang sudah kamu lakukan," bisik Rimba pada sang istri dalam pelukannya. Aline masih terisak."Papa jahat. Saat aku seperti orang gila mencarimu kemana-mana, dia tidak memberitahuku, padahal dia tau di mana kamu berada." Aline semakin terisak. Rimba mengeratkan pelukannya."Maaf. Saat itu aku pun begitu terluka. Luka karena kehilangan Rasya, juga karena harus meninggalkanmu. Eh, ngomong-ngomong, aku laper banget, ini. Tadi siang gak nafsu makan. Nafsu pengen hajar orang bawaannya." Rimba mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku."Ah, iya. Aku sampe lupa. Ayo, aku siapkan." Aline menuntun suaminya ke meja makan.***"Kenapa dia belum datang? Harusnya dia sudah di sini dan menjagaku!" gerutu Emely. Dia mondar-
Rumah kamu walaupun kecil tapi nyaman, ya, Mas?" ujar Aline, saat mereka memasuki rumah mungil itu. Hanya ada dua buah kamar, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur yang menyatu dengan ruang makan."Sekarang, ini bukan hanya rumah aku, tapi rumah kita. Itu juga kalau kamu mau," ujar Rimba."Kok, kamu bilang gitu, Mas?" Aline cemberut."Aku hanya becanda, Sayang. Ayo, sini!" Rimba menarik tangan sang istri menuju kamar depan. Perlahan Rimba memutar handle-nya. Sebuah kamar yang cukup besar dan terlihat nyaman. Kasur Queen size ada di tengah. Kamarnya bergaya minimalis dan maskulin, menggambarkan sosok pemiliknya."Cowok banget kamarmu, Mas." Aline memindai setiap benda di sana. Rimba hanya menjawab dengan gumaman."Sebelumnya, kan, hanya aku yang tinggal di sini. Kalau nanti kamu mau ganti barang, boleh aja. Aku ikut kata nyonya rumah aja," ujar Rimba, ditanggapi Aline dengan tertawa kecil."Boleh duduk ya?" tanya Aline sambil mengempaskan badannya di pinggir kasur."Tentu saja boleh. Ma
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi