Semua Bab TERNODA DI MALAM PERTAMA: Bab 71 - Bab 80

197 Bab

Bab 71 Papi

Aku terbangun dengan badan yang terasa lelah. Tentu saja, pergulatan semalam begitu menguras tenaga. Rimba benar-benar ... ah, susah diungkapkan dengan kata-kata."Sudah bangun, Sayang?" Suaranya yang pertama terdengar di telingaku. Wajahnya tampak segar dengan rambut yang masih basah. Tubuh atletisnya hanya terlilit handuk di bagian bawah, menampilkan roti sobeknya yang membuat aku terpesona. Untung saja sudah halal, jadi aku boleh menikmatinya sesuka hati."Udah mandi?" tanyaku sambil menggeliat malas."Udah, dong. Bentar lagi azan Subuh. Ayo, mandi. Kita sholat bareng," ajaknya.Aku kembali menggeliat. Meluruskan otot-otot yang terasa kaku. Setiap hari harus mandi sebelum Subuh. Walaupun malas, mau bagaimana lagi, udah kewajiban.Selesai mandi dan sholat, Rimba mengajakku ngaji bersama. Aku takjub mendengar suaranya yang merdu tidak hanya dalam menyanyi, tapi juga saat membaca ayat suci. Aku belum sempat bertanya padanya, di mana dia belajar mengaji. Dia membetulkan bacaanku yang m
Baca selengkapnya

Bab 72

Setelah kami masuk dan pintu tertutup, Mami menatapku dengan sinis."Kamu ini, sudah membuat keluarga ini hancur. Rimba pergi jauh, Rangga jadi buronan lalu hidup Mami dan Papi jadi menderita," tuduhnya menyalahkanku. Aku menautkan alis tak mengerti. Ternyata kehancuran keluarga ini tidak ikut menghancurkan kesombongannya."Mi ... sudahlah. Semua ini justru berawal dari keluarga ini. Aline justru korban di sini," ujar Rimba membelaku. Mami mendelik ke arahku. Tak kuhiraukan. Aku masih ingat, sifatnya memang seperti itu."Kalau dia tidak melapor polisi, mana mungkin anak kesayangan Mami jadi buronan," ucapnya parau. Dia mulai menangis.Huh. Di saat seperti ini, mertuaku ini masih saja bersikap seolah aku yang menyebabkan hancurnya kehidupannya. Seolah dia tidak tahu jika anak kesayangannya itu yang justru telah berbuat buruk padaku."Mi, wajar saja kalau Aline melaporkan Kak Rangga. Dia itu sudah melakukan perdagangan manusia. Dia menjual Aline pada lelaki tua demi uang," ujar Rimba me
Baca selengkapnya

Bab 73

"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah mengerti kondisi orang tuaku, " bisik Rimba di telingaku, sesaat setelah mengarungi surga dunia selepas sholat Subuh. Dia memelukku erat dari belakang. "Tidak perlu berterima kasih, Mas. Mereka itu orang tuaku juga. Oh, ya, Mas. Kamu belum jawab, kenapa kamu berbeda sendiri dari orang tua sama kakakmu?" tanyaku heran. "Beda gimana? Aku sama, kok. Masih orang," kekehnya. "Iih!" Aku mencubit lengannya yang melingkar di perutku. Dia meringis sambil tertawa. "Maksudku, kenapa kamu baik? Sedangkan mereka ... maaf, mereka begitu jahat," lanjutku. "Aku sempat berpikir jika kamu bukan anak kandung mereka. Orang kamu selalu disisihkan." Aku menoleh dan menatap manik indah itu. Dia tersenyum lalu mengembus napas kasar. "Alasan tepatnya, aku tidak begitu tau. Hanya saja, dari kecil aku lebih banyak tinggal dengan Nenek dan Kakek
Baca selengkapnya

Bab 74

"Licik ya! Maen nyamber aja." Rimba menggelitikku. Aku tertawa kegelian. "Mas, udah, Mas ... ampuunn ... geli," jeritku, tapi sepertinya Rimba tak mau menghentikan. Aku pasrah karena tenaganya jauh lebih kuat. Akhirnya dia berhenti juga. Aku membuka mata dengan napas yang tersengal. "Siapa saja wanita yang pernah kamu sentuh?" tanyaku tiba-tiba. Dia menaikkan alisnya. "Siapa lagi wanita yang pernah kamu sentuh selain aku?" ulangku. "Gak ada. Aku hanya pernah menyentuhmu saja." "Bener?" "Tanyain aja sama yang lain. Siapa wanita yang kamu curiga pernah aku sentuh," ucapnya. "Cindy, Emely atau mungkin ada wanita lain dalam hidup kamu," tuduhku. "Ya, sana tanyain deh. Apa pernah aku pegang-pegang mereka. Yaa ... pernah sih tanganku dipegang sama Emely, tapi itu juga dia yang megang." "Tapi kamu suka,
Baca selengkapnya

Bab 75

Aku menyibak gorden kamar hotel yang kami booking tak jauh dari rumah sakit. Sinar mataharinya menyelinap hangat menyentuh kulit. Tadi, kami bermalas-malasan setelah sholat Subuh dan mengaji.Ini adalah hari kedua kami menjenguk Papi di Bandung. Kondisinya masih sama. Penyakit Papi cepat menjadi parah karena sama sekali tidak diobati selama berbulan-bulan, juga karena malnutrisi.Dokter menyarankan Papi segera dioperasi agar sel kanker tidak menyebar ke organ lain. Mami sepertinya pasrah dengan apa yang disarankan dokter. Sementara Rimba dan aku menyarankan Papi dioperasi di Jakarta saja, agar kami tidak terlalu jauh bolak-balik menengok.Beruntung Mami menyetujui usul kami. Sepertinya beliau mengerti kondisi sang anak yang harus tetap bekerja. Setelah kondisi Papi cukup stabil, kami berencana membawanya ke Jakarta.Aku memandangi jalanan kota Bandung yang sudah terlihat ramai di pagi hari. Angkutan kota, bis dan mobil pribadi berseliweran.Sebuah pelukan melingkar di perutku. Aku me
Baca selengkapnya

Bab 76

"Salahku dulu, tidak pernah melarang kakekmu korupsi. Melihat uang yang banyak, membuat kami kalap. Tanpa kami sadar, semua itu akan menjadi petaka bagi hidup kami.""Nek, kalau Papi dan Mas Rangga bisa begitu jahat, kenapa Mas Rimba berbeda?" tanyaku pada Nenek, karena beliau sendiri yang memulai cerita.Nenek menoleh. "Rimba dititipkan pada kami, karena kakaknya selalu ngamuk kalau mereka memperhatikan adiknya. Waktu itu kebetulan Kakek sudah sadar dengan semua kesalahannya. Kakek juga sudah mendekati pensiun, jadi mungkin Rimba tidak pernah mendapatkan harta kotor itu. Anak ini justru banyak prihatin. Hidup sederhana. Dia juga yang sering membela Nenek kalau papinya ngamuk-ngamuk. Rangga itu persis Rusdy. Gampang ngamuk kalau ingin sesuatu."Aku tidak sanggup mendengar cerita Nenek. Sepertinya hanya membuka luka lama. Aku mengelus tangan tua itu. "Sudah, Nek. Tidak usah dilanjutkan. Maaf kalau Aline malah membuat Nenek sedih," ucapku. Nenek mengusap matanya dengan punggung tangan.
Baca selengkapnya

Bab 77 Mami

Ah, males rasanya ngurusin orang sakit mulu. Kesel, deh. Ngasilin duit kagak malah ngabisin duit justru. Ngelus dada. Barang-barang udah abis dijualin buat makan sehari-hari. Ogah banget kalau harus makan sama tahu, tempe sama ikan asin. Aku mana bisa makan kayak begituan.Hidupku udah terbiasa enak. Itu juga yang dulu aku ajukan sebagai syarat saat Rusdy melamarku. Aku gak mau sampe hidup melarat. Aku mau hidup di rumah yang gede dan uang yang banyak. Aku udah bosan hidup melarat sejak kecil. Masa pas udah kawin harus ngulang lagi miskin. No way!Aku dan Rusdy bertemu saat aku menjadi penyanyi di klab malam. Dia benar-benar tergila-gila pada kecantikanku. Aku sangat cantik dengan tubuh yang sintal menggoda. Rusdy tak mau melepaskanku begitu saja. Dia mengajakku nikah dengan segala iming-iming.Saat aku dibawa ke rumahnya untuk pertama kali, bisa kulihat jika dia memang anak orang kaya. Sempurna. Aku tidak perlu lagi susah-susah cari uang kalau menikah dengannya. Pikirku dulu. Namun,
Baca selengkapnya

Bab 78

Apalagi, sebetulnya, dulu itu ibunya Rusdy sempet gak setuju dengan pernikahan kami. Tapi, karena Rusdy yang bersikeras, akhirnya mereka setuju juga. Aku emang gak pernah berhubungan baik dengan ibu mertuaku itu. Males juga sih. Kesel aja kalau dia udah sok nyeramahin aku dan Rusdy. Kayak hidupnya udah bener aja. Padahal kan dia juga sama, ngebiarin suaminya korupsi. Gak ngaca, apa ya? Hiiih!Saat Rangga gak mau menyelesaikan kuliahnya, dia bilang mau buka usaha mebeul dengan temannya. Ada sedikit khawatir dalam diri, karena putra kesayanganku itu tidak mau dekat dengan perempuan. Temannya lelaki semua. Apalagi si Leon itu. Mereka sangat akrab dari awal kuliah. Aku takut jika dia punya kelainan seksual. Aku takut si Leon itu membawa pengaruh buruk pada Rangga.Aku membujuknya untuk mencari perempuan kaya agar hidupnya tidak susah. Gak penting soal cinta. Yang penting hidup berkecukupan. Aku iming-imingi dia supaya bisa dapat uang banyak, tapi masih bisa bersenang-senang dengan yang la
Baca selengkapnya

Bab 79

Aline POVAku lingkarkan kedua tangan ini di perutnya. Suamiku ini sedang bersiap berangkat ke luar kota. Rasanya berat sekali untuk melepasnya. Aku tak sanggup menahan rindu walau hanya sehari."Mas, jangan lama-lama, ya. Aku pasti kangen," ucapku dengan wajah menempel di punggungnya. Dia berbalik dan meraih pundakku."Aku juga, Sayang. Belum berangkat, tapi rasanya udah kangen lagi," jawabnya terkekeh.Aku tak lagi menjawabnya. Aku berjinjit dan menyambar bibir hangatnya. Sejenak dia terdiam, lalu mulai membalas ciumanku."Kamu bisa bikin aku ketinggalan pesawat, ini," bisiknya terengah. Aku tersenyum menggoda."Biarkan aku meluapkan semua rindu sebelum kamu berlalu," bisikku menggoda. Entah kenapa, aku yang biasanya pasrah, kali ini begitu mendominasi. Rimba tersenyum melihat kebinalanku. Aku tak peduli, binal pada suami sendiri kan, sah, sah saja.Aku menanggalkan semua pakaian yang baru saja terpasang di badannya. Tubuhnya terlihat begitu menggoda. Aku meluapkan semua rasa, seola
Baca selengkapnya

Bab 80

Selesai mengecek ke gudang suplier selama seharian, Rimba kembali ke hotel. Tubuhnya lelah, juga rasa rindu yang bergelayut memenuhi rongga dada. Dia segera membersihkan tubuh. Guyuran air dingin membuat dirinya kembali segar.Tak lama azan Magrib berkumandang, Rimba yang tadinya sudah mengambil ponsel hendak menelpon sang istri, urung dilakukan. Dia segera berwudu dan melakukan sholat terlebih dahulu. Setelah selesai sholat, Rimba membaca Al-Quran beberapa lembar. Di tasnya memang yak pernah ketinggalan membawa kitab suci.Rasa rindu sudah membuncah. Saat dia lihat aplikasi hijau, ternyata sudah banyak sekali pesan yang dikirim oleh istrinya. Mereka sama-sama saling merindukan.Rimba segera menekan tombol untuk video call. Sepertinya Aline memang sedang menunggu telepon dari sang suami, karena tak lama panggilan Rimba langsung diterimanaya."Iihh Sayaaaang ... kemana aja? Aku udah kangen banget!" pekik Aline yang baru saja melihat wajah suaminya."Maaf, Sayang, tadi jam 5 baru beres.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
20
DMCA.com Protection Status