Semua Bab Menantu Kaya Dipuja, Menantu Miskin Dihina: Bab 121 - Bab 130

224 Bab

Bab 12

Kulihat pintu kamar Papa terbuka. Mungkin sengaja di buka biar aku tahu Papa ada di dalam. Biar aku tak segan mengetuk pintu kamar itu. Dengan langkah pelan aku masuk ke dalam kamar. Kenapa aku setakut ini sekarang? Padahal dulu suka-suka aku, jika ingin masuk ke kamar Papa Mama. Sekarang ada rasa nggak enak mau masuk kamar ini. Terasa kayak orang lain. Suasana rumah ini benar-benar berubah. Sudah nggak seperti dulu lagi.“Pa,” sapaku, seraya masuk ke dalam. Kulihat Papa lagi duduk di sofa yang tak jauh dari sisi ranjangnya.“Hem, masuk,” jawab Papa juga terdengar ketus. Deguban jantung merasa semakin menjadi-jadi. Semakin membuatku takut melihat mata Papa. Kulihat Papa lagi membolak-balik koran yang dia pegang, seraya menggunakan kaca mata bacanya. “Kata Mama, Papa mau ngomong sama Lika?” tanyaku bingung. Karena Papa masih asyik dengan korannya. Padahal aku sudah duduk di sofa. Berasa di anggurin. Aku nggak berani lagi mengganggu Papa. Padahal dulu aku sering menarik korannya kala
Baca selengkapnya

Bab 13

“Udah turuti saja pemintaan, Papamu, nggak usah protes,” ucap Mama saat aku ceritakan. Karena bingung mau cerita ke siapa lagi. Nggak ada teman yang bisa aku ajak tukar pendapat sekarang. “Tapi, Ma ...,”“Kamu niat nggak minta maaf sama, Papa dan Mama!” bentak Mama memotong ucapanku. Merasa nggak adil. “Niat banget, Ma, meminta maaf sama Mama dan Papa. Tapi kan nggak harus mengirimku ke jogja,” jawabku. Iya, Papa ingin mengirimku ke Jogja. Kalau aku ke Jogja, bagaimana bisa membalas dendam? Aku hancur, semuanya juga harus hancur. Enak saja mereka bahagia, aku sengsara.“Kalau niat ya, turuti keinginan kami, apa susahnya kamu ke Jogja. Ikut dengan nenekmu,” bentak Mama. Semenjak pisah dengan Mas Toni, Mama dan Papa jarang sekali bicara lembut denganku. Yang ada bentak-bentak terus nada bicaranya. Nggak ada kedamaian lagi rasanya. Rumah ini benar-benar sudah seperti neraka. Panas terus perasaan hati ini.Aku nggak akan kuat menghadapi Nenek. Secara nenek itu kaku banget orangnya. Haru
Baca selengkapnya

Bab 14

“Hanya berpamitan dengan teman-temanmu saja minta waktu sebulan? Apa yang mau kamu rencanakan Lika? Jangan buat Mama dan Papa malu lagi,” sahut Mama seakan bisa membaca isi pikiranku. Apakah terlihat dari raut wajahku? Aku harus bersikap lebih santai lagi, biar Mama nggak curiga.“Ma, segitunya Mama sudah nggak percaya dengan anak sendiri? Lika memang pernah membuat kesalahan yang fatal, tapi kasih Lika kepercayaan lagi. Lika juga tidak merencanakan apa-apa. Hanya ingin berpamitan dengan temen-temen dekat saja, Ma, percaya sama Lika,” ucapku meyakinkan Mama. Seraya menyatukan sepuluh jari. Memohon, berharap Mama mengabulkan permintaanku. Untuk kesekian kalinya Mama mengatur nafasnya. Mengontrol emosinya. Kuusap wajahku dengan perasaan galau. Bingung karena jujur aku malas ikut Nenek Rumana. Bisa stres kalau tinggal bersama Nenek Rumana. Mana rumahnya di kampung plosok. Kalau di kotanya masih mending. Ah, benar-benar tak sanggup aku membayangkannya. “Ngomong sendiri dengan Papamu, M
Baca selengkapnya

Bab 15

Sial. Sudah capek-capek aku menguber ini gawai, ternyata bukan balasan dari Mbak Sarah. [Spesial untuk Anda, paket Nelpon sepanjang hari ke semua operator Rp750 sepuasnya ke sesama ditambah dua puluh menit Allnet]Ya, seperti itulah pesan yang masuk. Kulihat lagi, pesan yang aku kirim ke Mbak Sarah, sudah di baca tapi, belum juga di balasnya. Benar-benar sombong itu orang.Kulempar lagi gawai ke ranjang. Kesal banget, melangkah keluar dari kamar, menutup pintu dengan kasar. Bosan juga lama-lama di kamar. Mau keluar juga kunci motor di sita sama Mama, bener-bener apes banget nasibku ini.Melihat isi rumah ini aku merasa bosan. Sangat amat bosan. Menonton TV semua channel sudah aku pindah. Tapi nggak ada film yang bagus. Semuanya juga terasa membosankan. Akhirnya aku mematikan TV. Membanting remotnya ke sofa.Akhirnya menuju dapur, melihat isi kulkas. Siapa tahu ada makanan yang enak. Ternyata sama saja. Cuma ada bahan-bahan dapur dan beberapa telur. Tak ada juga makanan. Mama juga enta
Baca selengkapnya

Bab 16

Apa aku kabur saja? Tapi, aku mau tinggal dimana? Kabur kemana juga? Mau kabur juga duit pas-pasan. Nggak akan cukup untuk bayar kost. Mau kerja, kalau hanya mengandalkan gaji honor Puskesmas juga kurang. Tak akan cukup kalau untuk bayar kost dan makan. Selama ini aku terbiasa dengan duit dari Mas Toni. Aku bekerja di Puskesmas, dari pada nganggur saja. Ah, sekarang sudah tak ada yang memberiku uang. Mama sama Papa juga nggak ada memberi uang, selama aku pisah dengan Mas Toni.Selama ini aku hanya mengandalkan uang tabungan. Uang tabungan selama aku menikah dengan Mas Toni. Sekarang juga sudah menipis. Mas Toni juga nggak ada membahas masalah tabungan yang aku pegang. Dia tak meminta satu rupiahpun.Ya, aku memang tak bisa memungkiri kalau, Mas Toni memang lelaki yang sangat baik. Aku menyesal telah menyia-nyiakan dia, telah mengkhianati dia. Padahal dia tak pernah membahas masalah anak. Bahkan di ajak periksa ke dokterpun dia enggan. Ya, karena hasutan Mbak Juwariah lah, aku menjadi
Baca selengkapnya

Bab 17

Assalmualaikum,] terdengar suara salam dari seberang. Iya, suara Mbak Sarah. Akhirnya dia menelpon juga. Mungkin pesan masuk tadi juga dari Mbak Sarah.[Waalaikum salam] balasku. Suara ini masih terdengar serak kayaknya. Karena baru saja menangis. Aku mencoba berdehem-dehem untuk menghilangkan serak itu.[Maaf, ya, Mbak, lama balasnya, karena tadi selesai buka chat Mbak, hape drop, jadi ya di cas dulu,] sahutnya dari seberang. Mendengar suaranya kayaknya dia merasa tak enak hati.[Iya, Mbak Sarah nggak apa-apa] balasku sok lembut saja. Padahal kesal banget chat nggak di balas-balas. Sampai kegirangan saat ada pesan masuk. Ternyata pesan masuk dari Telkoms*l. Sial.[Owh, ya, gimana kabarnya, Mbak?] tanya Mbak Sarah. Suaranya sangat ramah dan polos. Semoga saja dia beneran polos. Nggak pura-pura polos kayak saudaranya itu. Mbak Juwariah.[Baik, Mbak. Mbak sendiri gimana kabarnya?] tanyaku balik. Basa basi lah intinya. Masak iya langsung ke tujuan utama.[Alhamdulillah baik juga Mbak, ma
Baca selengkapnya

Bab 18

Akhirnya aku berkemas. Dari pada di uring-uring terus sama Mama, mending aku turuti dulu. Biarlah, masalah jadi berangkat atau tidak itu urusan nanti.“Baju kerjamu di bawa tidak?” tanya Mama seraya, ikut membantuku berkemas. Wajahnya terlihat suram sebenarnya. Tapi masih berusaha cuek dan jutek. Aku yakin Mama juga berat akan kehilangan aku. Secara kami tak pernah berpisah jauh dan lama.“Nggak usah, Ma! Nanti Lika mau kuliah lagi saja di Jogja,” balasku.“Siapa yang mau mendanai kuliahmu? Papa sudah angkat tangan. Kaerena Papa juga sudah bilang sama Mama, Papa nggak akan mengirimu uang selama di sana,” sahut Mama cukup membuatku terkejut.“Loh, kok gitu, Ma?” Tanyaku reflek sedikit berteriak.“Kamu ini udah janda, Lika. Bukan anak kecil lagi, bukan gadis lagi juga. Kamu harus bisa mandiri ikut dengan Nenek Rumana,” ucap Mama, membuat dada ini semakin bergemuruh.“Ma, Lika mendengar mau ikut Nenek Rumana saja itu sudah menyakitkan. Malah di tambah tidak di kirimi uang lagi. Kurang pu
Baca selengkapnya

Bab 19

“ Bang antar ke jalan Mawar, cafe Cinta,” pintaku kepada tukang ojek. Iya, aku menggunakan jasa ojek untuk bisa ketemuan dengan Mbak Sarah dan suaminya. Mau naik motor juga nggak bisa, karena aku nggak tahu kuncinya di simpan dimana sama Mama.“Ok, Mbak,” jawab tukang ojek itu seraya menyodorkan helm. Dengan cepat aku menerima helm pemberian tukang ojek itu. Segera memakainya.Motor tukang ojek itu melaju dengan santai menuju alamat yang aku minta. Kayak gini banget rasanya nggak boleh pakai motor. Ah, semua ini gara-gara ide Mbak Juwariah. Menyesal juga aku mengikutinya dulu. Andai waktu bisa di putar, aku pasti masih hidup bahagia, penuh kasih sayang.Dalam kondisi seperti ini, menuju caffe cinta terasa lama. Karena terasa tertekan dan takut ketahuan. Kulirik jam tangan yang melingkar di tangan. Sudah hampir jam dua siang. Aku harus sampai rumah lagi, sebelum Papa pulang dari kantor.Pakai acara berhenti di rambu-rambu lalu lintas lagi. Menunggu lampu hijau menyala terasa sangat lam
Baca selengkapnya

Bab 20

Kaki ini terus melangkah dengan santai masuk ke caffe cinta. Tak begitu ramai, tapi juga nggak sepi. Mata ini mengedarkan pandang. Mencari keberadaan Mbak Sarah dan suaminya. Tapi tak ku temukan. Sial. Ternyata mereka belum sampai.Akhirnya aku mencari tempat duduk yang masih kosong. Kulirik jam, Sudah hampir setengah tiga tapi mereka juga belum datang. Meremehkan sekali mereka. Niat atau tidak mereka ingin bekerja. Kalau niat kenapa telat datangnya.“Mbak, mau pesan apa?” tanya pelayan caffe itu. Aku memandang ke asal suara. Berdiri seorang perempuan dengan menggunakan baju kerja pelayan caffe, dengan make up yang sedikit menor. Dia menyodorkan menu minuman dan makanan caffe ini.“Jus alpukat saja, Mbak, satu,” ucapku seraya mengembalikan buku menu caffe.“Ok, Mbak, tunggu sebentar ya,” balas pelayan caffe itu sopan. “Iya, Mbak,” balas ku seraya tersenyum. Pelayan itu juga membalasnya dengan senyum yang sangat ramah. Kemudian berlalu.Ku mengedarkan pandang lagi. Tapi juga tak melih
Baca selengkapnya

Bab 21

“Dari mana kamu, Lika!!!” sungut Papa seraya mengacak pinggang. Aku baru saja masuk rumah pelan-pelan. Sudah turun di ujung jalan perempatan, biar nggak ketahuan ujung-ujung ketahuan juga.“Ini, Pa, anu,” “Dari mana?” teriak Papa semakin ngegas nada suaranya. Aku memejamkan mata karena sedikit tersentak dengan bentakan Papa.“Dari rumah Rahma, pamitan,” jawabku asal. Rahma adalah teman kerja di Puskesmas. Dia juga bidan. Dan lumayan akrab. Pernah juga dia main ke rumah.Kulihat Papa terdiam. Mengusap kasar wajahnya. Mama juga terdiam. Ada apa ini? aku semakin nggak mengerti dengan keanehan mereka. Aku semakin merasa tak di anggap dan tak di perhatikan.“Kamu ini selalu berbohong, apakah rugi kalau kamu harus berkata jujur?” Papa melembutkan suaranya. Tapi, terdengar dengan nada sangat kecewa.Aku berbohong? Papa mikirnya aku berbohong? Memang iya aku berbohong, tapi nggak mungkin juga Papa tahu, kalau aku nggak ke rumah Rahma. Melainkan ke caffe cinta menunggu dua orang sialan itu, y
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1112131415
...
23
DMCA.com Protection Status