Akhirnya aku berkemas. Dari pada di uring-uring terus sama Mama, mending aku turuti dulu. Biarlah, masalah jadi berangkat atau tidak itu urusan nanti.“Baju kerjamu di bawa tidak?” tanya Mama seraya, ikut membantuku berkemas. Wajahnya terlihat suram sebenarnya. Tapi masih berusaha cuek dan jutek. Aku yakin Mama juga berat akan kehilangan aku. Secara kami tak pernah berpisah jauh dan lama.“Nggak usah, Ma! Nanti Lika mau kuliah lagi saja di Jogja,” balasku.“Siapa yang mau mendanai kuliahmu? Papa sudah angkat tangan. Kaerena Papa juga sudah bilang sama Mama, Papa nggak akan mengirimu uang selama di sana,” sahut Mama cukup membuatku terkejut.“Loh, kok gitu, Ma?” Tanyaku reflek sedikit berteriak.“Kamu ini udah janda, Lika. Bukan anak kecil lagi, bukan gadis lagi juga. Kamu harus bisa mandiri ikut dengan Nenek Rumana,” ucap Mama, membuat dada ini semakin bergemuruh.“Ma, Lika mendengar mau ikut Nenek Rumana saja itu sudah menyakitkan. Malah di tambah tidak di kirimi uang lagi. Kurang pu
“ Bang antar ke jalan Mawar, cafe Cinta,” pintaku kepada tukang ojek. Iya, aku menggunakan jasa ojek untuk bisa ketemuan dengan Mbak Sarah dan suaminya. Mau naik motor juga nggak bisa, karena aku nggak tahu kuncinya di simpan dimana sama Mama.“Ok, Mbak,” jawab tukang ojek itu seraya menyodorkan helm. Dengan cepat aku menerima helm pemberian tukang ojek itu. Segera memakainya.Motor tukang ojek itu melaju dengan santai menuju alamat yang aku minta. Kayak gini banget rasanya nggak boleh pakai motor. Ah, semua ini gara-gara ide Mbak Juwariah. Menyesal juga aku mengikutinya dulu. Andai waktu bisa di putar, aku pasti masih hidup bahagia, penuh kasih sayang.Dalam kondisi seperti ini, menuju caffe cinta terasa lama. Karena terasa tertekan dan takut ketahuan. Kulirik jam tangan yang melingkar di tangan. Sudah hampir jam dua siang. Aku harus sampai rumah lagi, sebelum Papa pulang dari kantor.Pakai acara berhenti di rambu-rambu lalu lintas lagi. Menunggu lampu hijau menyala terasa sangat lam
Kaki ini terus melangkah dengan santai masuk ke caffe cinta. Tak begitu ramai, tapi juga nggak sepi. Mata ini mengedarkan pandang. Mencari keberadaan Mbak Sarah dan suaminya. Tapi tak ku temukan. Sial. Ternyata mereka belum sampai.Akhirnya aku mencari tempat duduk yang masih kosong. Kulirik jam, Sudah hampir setengah tiga tapi mereka juga belum datang. Meremehkan sekali mereka. Niat atau tidak mereka ingin bekerja. Kalau niat kenapa telat datangnya.“Mbak, mau pesan apa?” tanya pelayan caffe itu. Aku memandang ke asal suara. Berdiri seorang perempuan dengan menggunakan baju kerja pelayan caffe, dengan make up yang sedikit menor. Dia menyodorkan menu minuman dan makanan caffe ini.“Jus alpukat saja, Mbak, satu,” ucapku seraya mengembalikan buku menu caffe.“Ok, Mbak, tunggu sebentar ya,” balas pelayan caffe itu sopan. “Iya, Mbak,” balas ku seraya tersenyum. Pelayan itu juga membalasnya dengan senyum yang sangat ramah. Kemudian berlalu.Ku mengedarkan pandang lagi. Tapi juga tak melih
“Dari mana kamu, Lika!!!” sungut Papa seraya mengacak pinggang. Aku baru saja masuk rumah pelan-pelan. Sudah turun di ujung jalan perempatan, biar nggak ketahuan ujung-ujung ketahuan juga.“Ini, Pa, anu,” “Dari mana?” teriak Papa semakin ngegas nada suaranya. Aku memejamkan mata karena sedikit tersentak dengan bentakan Papa.“Dari rumah Rahma, pamitan,” jawabku asal. Rahma adalah teman kerja di Puskesmas. Dia juga bidan. Dan lumayan akrab. Pernah juga dia main ke rumah.Kulihat Papa terdiam. Mengusap kasar wajahnya. Mama juga terdiam. Ada apa ini? aku semakin nggak mengerti dengan keanehan mereka. Aku semakin merasa tak di anggap dan tak di perhatikan.“Kamu ini selalu berbohong, apakah rugi kalau kamu harus berkata jujur?” Papa melembutkan suaranya. Tapi, terdengar dengan nada sangat kecewa.Aku berbohong? Papa mikirnya aku berbohong? Memang iya aku berbohong, tapi nggak mungkin juga Papa tahu, kalau aku nggak ke rumah Rahma. Melainkan ke caffe cinta menunggu dua orang sialan itu, y
Kuedarkan pandang ke kamar ini. Mungkin untuk yang terakhir kali aku akan melihat kamar ini. Kamar ini juga saksi bisu malam pertamaku dengan Mas Toni. Malam pertama yang indah, yang tak akan mudah di lupakan. Sekarang dia sudah di miliki perempuan lain.Kukemas bajuku dengan linangan air mata. Berat sekali meninggalkan desa ini. Aku masih ingin di sini beberapa hari lagi. Masih banyak yang harus aku lakukan. Aku benar-benar nggak rela mereka-meraka yang telah membuatku sengsara, berakhir bahagia.“Lika, kamu nangis?” tanya Mama. Mungkin Mama mendengar aku menyedot ingus. Aku terdiam, malas menanggapi ucapan Mama.“Lika?” Mama memanggil namaku seraya menepuk pelan pundakku. Air mata ini semakin berjatuhan saat Mama menepuk pundakku. Jleb. Mama memelukku. Entah sudah berapa lama, semenjak kejadian itu Mama tak pernah memelukku. Setiap hari hanya marah-marah yang aku dapatkan.“Maafkan Mama, Lika. Mama nggak bisa membantu membujuk Papa membatalkan niatnya, turuti saja kemauan Papamu,”
Semua kebutuhanku sudah tertata dalam koper. Aku ikuti saja keinginan mereka. Lagiankan Mama dan Papa juga mengantarku sampai sana. Biakan saja dulu, nanti aku akan buat mereka tak akan tega meninggalkan aku di rumah nenek Rumana.“Sudah nggak ada yang ketinggalan?” tanya Papa sedikit berteriak.“Kayaknya sudah masuk semua, Pa,” jawab Mama. Aku diam saja. Tetap aku tunjukkan wajah nggak setujuku berangkat ke rumah nenek Rumana.Kami semua masuk ke dalam mobil. Mobil ini hanya akan mengantar kami menuju bandara saja. Karena naik pesawat menuju ke jogjanya. Mama duduk di depan, di sebelah Papa. Sedangkan aku duduk di belakang. Otak ini masih berputar untuk menjalankan aksi saat sampai Jogja nanti. Semoga berhasil rencana ini. Aku yakin pasti berhasil.“Lika, Papa harap kamu nggak bikin malu Papa lagi di sana, nggak bikin ulah aneh-aneh di sana,” ucap Papa sambil mengemudikan mobilnya. “Iya, Lika, kami melakukan ini karena sayang dengan kamu,” ucap Mama juga ikut menimpali.“Iya, Lika t
Sampai juga aku di rumah Nenek Rumana. Rumah Nenek Rumana masih belum berubah. Warna cat rumahnya juga masih sama. Rumah yang sangat sederhana. Tapi bersih dan kinclong. Pertanda yang punya sangat rapi. Bayanganku langsung kemana-kemana saat kaki menginjak rumah nenek Rumana. Nggak bayangin setiap hari di suruh beres-beres. Ah, melelahkan.“Akhirnya kalian sampai sini juga,” ucap nenek Rumana.“Iya, Bu. ibu bagaimana kabarnya sehat?” sahut Papa seraya menanyakan kabar.“Alhamdulillah sehat, seperti yang kalian lihat,” jawab nenek Rumana tegas.“Syukurlah, Bu,” balas Mama ikut bergabung dalam obrolan. Nenek Rumana tersenyum, kemudian melihat ke arahku.“Lika, nenek sangat nggak percaya mendengar kabar tentang kamu, sangat kecewa tentunya,” jleb. Belum apa-apa Nenek Rumana sudah membahas tentang itu. Aih, benar-benar menyebalkan.“Nek, semuanya sudah terjadi, jadi tolong jangan di bahas lagi,” ucapku. Kulihat mata Nenek Rumana langsung melotot mendengar jawabanku. Begitu juga dengan Pa
Nenek Rumana memang tak ada basa basinya. Langsung membahas masalaluku dengan Mas Toni. Nggak bisakah basa basi dulu, setidaknya memelukku atau gimana gitu? Segitunyakah Nenek Rumana kecewa denganku?“Hai, keponakan sudah datang,” teriak tante tiba-tiba memelukku. Aku juga menyambut pelukkannya. Walau dia tanteku, tapi jarak umur kami cuma selisih enam tahun. Tua Tante Nova.“Gimana kabarnya?” tanya Tante Nova seraya menarikku duduk di tepi ranjang. Karena tadi posisiku lagi berdiri menghadap cermin.“Seperti inilah Tante, tante sendiri gimana?” balas dan tanyaku.“Baik makin gemuk malah,” jawabnya, seraya tertawa lebar. Iya, Tante Nova memang terlihat makin gemuk. Kok, bisa kuat dia bertahan dengan Nenek Rumana? Ah, tapi memang dia anaknya nenek Rumana.“Iya, Tante makin gemuk sekarang, Tante kerja apa?” balas dan tanyaku. “Iya, dong! Makin gemuk, tenang pikirannya. Emmm, Tante buka usaha laundry, kerja sama dengan teman,” jawabnya. Aku hanya manggut-manggut.“Keren, ya, buka usaha
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu