Home / Pernikahan / Batas kesabaran seorang istri! / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Batas kesabaran seorang istri!: Chapter 81 - Chapter 90

153 Chapters

81. Amarah paman Ja'far.

"Paman tak menyangka, kalian berdua menyimpan rahasia besar seperti ini. Ini bukan masalah kecil Zalia. Tapi nasab seorang anak! Apa kamu tak pernah berpikir!" bentak Paman. Deg!Aku tersentak kaget. Mengangkat kepalaku. Seumur hidupku, baru kali ini aku mendengar Paman membentakku. Wajah Paman memerah dengan mata yang menyala-nyala penuh amarah.Tentu saja Paman akan marah. Apa yang kami sembunyikan ini bukan lah masalah kecil. Bukan boneka curian atau mainan. Tapi anak manusia yang memiliki nasab. "Ampun Paman. Zalia mohon ampun!" cicitku. Paman berdiri menatapku yang terduduk di lantai. Aku menunduk tak berani menatap ke arah matanya. Aku takut dengan segala rasa bersalah di hati."Ampun? Setelah sekian tahun, baru kini kamu meminta ampun Zalia? Ya Allah Zalia ... apa kamu tak pernah berpikir sedikit pun tentang apa yang kamu lakukan ini. Kamu lihat anak itu Zalia! Lihat!" telunjuk tangan Paman mengarah pada kamar yang ditempati Iwan yang berada di ujung. Kemarahannya begitu me
last updateLast Updated : 2022-07-18
Read more

82. Menolak kebenaran.

"Katakan pada Paman Zahra. Rahasia apa yang kamu sembunyikan selama delapan tahun ini!" ucap Paman langsung. Tanpa basa-basi ataupun kata pengantar. Mbak Zahra yang baru saja datang dan langsung dihadapkan pertanyaan dari Paman yang menurutnya ambigu, tentu dia terkejut. Ia sedikit menoleh ke arahku. Aku menunduk melihat matanya yang mendelik. "Jangan tatap adikmu Zahra! Kamu yang sedang Paman tanya. Jawab pertanyaan Paman!" kini suara Paman terdengar mulai meninggi. "Sebenarnya ada apa ini? Aku tak mengerti, aku baru datang sudah ditodong dengan pertanyaan tentang rahasia? Memangnya rahasia apa?" kilahnya. Hanya Tuhan dan dialah yang tahu, sebenarnya dirinya sedang bersikap jujur atau sedang berpura-pura."Delapan tahun yang lalu? Jelaskan pada paman rahasia delapan tahun yang lalu, Zahra!" cecar Paman. Mbak Zahra terkesiap. Keringat dingin mulai muncul di pelipis wajahnya. Tangannya mulai bergetar serta bola mata yang bergoyang.Mbak Zahra terlihat nyengir, walau keringat dingin
last updateLast Updated : 2022-07-18
Read more

83. Rasa sakit yang menyesakkan dada.

"Siapa dia?" tanya Mbak Zahra saat melihat kehadiran Iwan. Ia menatap sinis pada bocah yang penampilannya tampak lusuh dan tak terurus."Dia putramu, Mbak!" jawabku. Mata Mbak Zahra kembali melebar. Ia beralih menatapku.Jarinya menunjuk pada Iwan. " Dia putraku? Bagaimana mungkin? Lagi pula anak itu sudah meninggal, kamu jangan mengada-ada, Zalia!" sanggahnya.Aku menggelengkan kepala. "Kamu sudah melihat dengan jelas isi amplop itu Mbak. Kenapa kamu masih menyangkalnya? Sekuat apa pun kamu menyangkalnya, dia adalah putramu Mbak!" "Tidak! Dia bukan anak itu, anak itu sudah mati! Sudah cukup! Jangan pernah bahas soal ini lagi, aku tidak mau Mas Hadi tahu akan hal ini. Atau kamu memang sengaja kan, Zalia?! Kamu mau rumah tanggaku hancur dan membuatku jadi janda sepertimu! Itu sebabnya kamu membongkar semua ini pada Paman. Kamu ingin Paman dan Bibi membenciku. Iya, kan! Jawab!" sungutnya penuh emosi. Aku juga mulai terpancing emosi dengan tuduhan-tuduhan yang ia sematkan padaku."Astag
last updateLast Updated : 2022-07-18
Read more

84. Keputusan paman Ja'far.

Waktu berlalu begitu cepat dan Mbak Zahra tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau mengakui keberadaan Iwan. Bahkan menanyakan kabar pun tidak. Bahkan ia seolah menghindar dariku dan Paman."Sebenarnya apa yang kita kejar dengan menekan Mbak Zahra seperti ini Paman? Jika dia tidak mau mengakui Iwan, maka biarlah. Biar Iwan aku yang merawatnya?" ujarku pada paman di sore hari yang cerah ini."Tidak semudah itu Zalia. Walaupun kamu merawatnya sepenuh hati. Kamu bukan Ibu kandungnya. Akan lebih baik Iwan tidak mengetahui siapa Ibu kandungnya. Menganggap Ibu kandungnya telah mati seperti yang ia tahu selama ini. Dari pada ia mengetahui ia memiliki Ibu, tapi tak dianggap keberadaannya. Itu sangat menyakitkan untuknya ...," Paman menjeda ucapannya sesaat. Menghirup rokok yang ada di tangannya. Lalu ia hembuskan secara perlahan."Paman dan Bibimu sudah sepakat. Kami sepakat akan pulang ke kampung halaman Bibimu. Membesarkan Iwan disana sebagai putra kami," lanjut Paman. Aku menoleh, menatapnya
last updateLast Updated : 2022-07-19
Read more

85. Pergi membawa luka di hati.

Kalau kata Ibu, karena dulu kami tidak sekaya Bik Saudah makanya ia enggan menganggap Ibuku saudara. Sifat Bik Saudah sangat mirip dengan Mbak Zahra. Ia menganggap harta adalah yang paling penting dalam hidup. Hidupnya dihabiskan hanya untuk mengejar uang ... uang ... dan uang! Bik Saudah memiliki puluhan hektar kebun sawit dan memiliki 'kwari' atau tambang pasir di beberapa titik sebagai sumber kekayaan."Tapi Bik, tak bisakah dengan cara lain?Kita hidup bersama di sini saja," pintaku dengan nada memohon. "Tidak semudah itu, Zalia." ujar bibi sambil meraih tanganku. "Kamu tak tahu bagaimana rasanya di posisi Iwan, Nak. Bagaimana rasanya hidup di dekat orang tua yang tidak mengakui keberadaannya. Sakit yang tak dapat digambarkan. Banyak hal yang tak dapat bibi jelaskan. Lagi pula, Bibi dan Pamanmu sepakat untuk pulang, karena kami juga ingin menghabiskan masa tua kami di desa. Menghirup udara pedesaan yang segar dan tenang." jelasnya.Hatiku kembali terenyuh mendengar perkataan Bibi
last updateLast Updated : 2022-07-19
Read more

86. Masalah baru lagi.

Bapak yang Ibu maksud adalah paman Ja'far. Karena yang Ibu tahu, paman Ja'far yang mengadopsi Iwan.Namun ia tetap membahasakan dirinya pada Iwan sebagai nenek. Ia tidak mau di panggil bu'de atau uwak. Paman dan Iwan mulai mengambil barang bawaan mereka. Iwan memegang ransel serta menyeret koper dengan ukuran kecil. Sedangkan Paman membawa 2 koper yang berukuran besar. Mobil Bus sampai, berhenti tepat di depan area keberangkatan. Para petugas membuka bagasi bagian samping mobil, memasukkan barang-barang penumpang yang sekiranya besar-besar dan tidak bisa diletakkan di dalam bagasi yang ada di atas tempat duduk. Toet! Toet! Toet!Bunyi klakson khas Bus berbunyi. Menandakan semuanya sudah siap. Penumpang juga sudah pada masuk semua.Mataku fokus pada kaca Bus. Menatap ke arah mereka dari balik kaca walau aku tak tahu di mana posisi mereka berada. Ukuran Bus yang terlalu tinggi membuatku tak dapat melihatnya dengan jelas.Hingga roda-roda besar itu bergerak, berputar maju ke depan. Me
last updateLast Updated : 2022-07-19
Read more

87. Kedatangan dua polisi.

Alhamdulillah Ibuku tidak apa-apa. Sebab polisi yang membawa kami ke rumah sakit tiba dengan cepat, hingga membuat Ibuku dapat cepat ditangani. Sekarang Ibu juga lebih baik dan lebih tenang. Hingga bisa membuatku bernafas lega. "Sebenarnya ada apa ini Pak polisi?" tanya Ibu setelah ia mulai merasa baikan. Rasa penasarannya lebih kuat dari rasa sakit yang ia terima. Padahal aku sudah melarangnya untuk membahas masalah ini dulu."Maaf Bu, bukan maksud kami mau mengagetkan Ibu. Kami dari pihak ke polisian mau bertanya, akan sesuatu hal penting pada Ibu Zaliandra Putri. Perihal seorang pria yang menjadi korban tabrak lari." jelasnya. Aku tersentak kaget, siapa orang itu? Dan apa hubungannya denganku? Pak polisi yang bernama Herman beralih menatapku. Ia tersenyum ramah. Tak ada intimidasi sedikit pun. Jika memang aku bersalah, maka ia tidak mungkin bersikap seperti itu padaku. Tapi aku jadi penasaran, siapakah gerangan orang yang mereka maksud?"Korban tabrak lari? Maksudnya bagaimana i
last updateLast Updated : 2022-07-20
Read more

88. Tuduhan tak beralasan.

Dua puluh lima menit waktu yang aku habiskan menempuh perjalanan ke rumah sakit Medika. Kini aku bergegas ke ruangan ICU. Jantungku berdegup kencang, ada rasa cemas serta penasaran yang timbul di hati. Baru saja tiba, aku melihat mantan Ibu mertua duduk di depan ruang ICU bersama Rika, putrinya. Ibu menangis sesenggukan di pangkuan Rika. Sebenarnya ada apa ini? Apa benar di dalam sana adalah Mas Yudha?Rika menoleh, pandangan mata kami terserobok. Tatapan matanya yang kaget seketika berubah menjadi benci. Ada dendam di dalam sana."Bu ada Zalia," bisik Rika sangat pelan. Hingga pelannya hampir tak terdengar olehku. Hanya saja gerak bibirnya terbaca olehku.Ibu Nani langsung menegakkan kepalanya menatap ke arahku. Menghapus dengan kasar air mata yang menetes. Wajahnya yang murka seolah ingin menelanku hidup-hidup. Ia langsung berdiri dari duduknya dan menyerbuku. Saat tangannya mulai terangkat untuk menamparku, aku sudah lebih dulu bergeser di balik punggung Pak Herman. "Tunggu! A
last updateLast Updated : 2022-07-20
Read more

89. Penyesalan yang terlambat.

"Apa? Dokter pasti bohong, kan?" teriak Ibu seolah tak percaya dengan penjelasan yang diberikan dokter. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kenyataan ini benar-benar membuatnya hancur."Dokter pasti bohong! Anak saya itu anak baik-baik. Bagaimana mungkin dia bisa menderita penyakit lain*t itu. Tidak mungkin!" Ibu berteriak dan menudingkan tangannya pada dokter yang menangani Mas Yudha. Wajah yang pucat dan nafas yang tak beraturan membuat Ibu hilang kesadaran hingga ambruk ke lantai. Membuat kami semua panik.Flashback end"Bu, Bu Zalia. Apa anda mendengarkan saya?" ujar Pak Herman membuyarkan lamunanku. Aku mengusap air mata yang mulai meluncur."Tidak apa-apa Pak. Saya cuma sedih saja, melihat mantan suami saya seperti ini. Walau bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidup saya," jawabku pelan. Aku mengatur napas. Mengontrol emosi dan suasana hati.Hidup itu sebuah tabir misteri yang tak ada satu pun tahu apa yang tersimpan di baliknya.Dokter mengatakan kemungkinan hid
last updateLast Updated : 2022-07-20
Read more

90. Kebodohan diri.

Aku membuka mataku perlahan-lahan. Sinar cahaya lampu dari atap kamar masuk kedalam retina mataku. "Alhamdulilah ternyata hanya mimpi," batinku berucap. Ada rasa lega yang aku rasakan. "Yudha! Syukurlah kamu sudah bangun, Nak?!" Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Suara wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Tanganku yang lemah aku gerakkan untuk meraih tangan Ibuku. Ibu yang mengerti, langsung menggenggam tangan ini erat. Nafasku yang naik turun dengan selang oksigen terpasang di hidungku. Masih membuatnya khawatir. Apa lagi tadi, pasti ia sangat khawatir dan bersalah."Ha–haus! Haus, Bu!" kata pertama yang keluar dari mulutku. Tenggorokanku terasa begitu kering. Ibu melepas genggaman tangannya, dengan cepat beralih mengambil gelas yang berisi air serta sedotan. Memberikannya padaku.Tangan kiri Ibu mengangkat sedikit kepalaku, sedangkan tangan kanannya memegang gelas itu. Aku menghisap sedotan itu dengan tergesa-gesa, tenggorokan yang sangat kering seketika terasa dingin
last updateLast Updated : 2022-07-21
Read more
PREV
1
...
7891011
...
16
DMCA.com Protection Status