Home / Pernikahan / Batas kesabaran seorang istri! / Kabanata 71 - Kabanata 80

Lahat ng Kabanata ng Batas kesabaran seorang istri!: Kabanata 71 - Kabanata 80

153 Kabanata

71. Mengemis demi uang.

Setelah sesi drama termehek-mehek di terminal, akhirnya membuat kami berdua menjadi artis duka dalam sehari. Air mata Rika yang berderai selama setengah jam membuat ia menghasilkan uang sekitar 457.000. Nominal yang cukup untuk membuat perut kami kenyang sebelum ke rumah Zalia. Jujur aku sangat malu sekali, menjadi tontonan banyak orang. Namun terpaksa kutekan dulu rasa malu ini, untuk perut kami dapat terisi. Sebab aku sudah tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan dengan keadaan perut yang kosong. Rasanya penglihatanku sudah mulai berkunang-kunang. Dari pada pingsan di tengah jalan, bisa susah."Kalau tahu, air matamu berguna. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja, Ibu suruh kamu menangis di tengah jalan," ujarku serius tapi terdengar seperti ledekan di telinga Rika. Terlihat dari matanya yang tampak mendelik menatapku.Kini kami sudah tiba di depan rumah Zalia. Zalia adalah putri seorang perwira tentara, sedangkan Ibunya seorang pedagang pecah belah yang cukup sukses di kampung ini
last updateHuling Na-update : 2022-07-12
Magbasa pa

72. Meminta belas kasihan.

Aku menghela napas. Kembali menatap Ibu dan Rika. Lihat saja gaya mereka. Tidak ada sopan-sopannya di rumah orang lain. "Maaf, Bu. Bukannya tak mau membantu, malam ini silahkan kalian nginap di sini dulu. tapi besok, Ibu dan Rika tak dapat tinggal di sini. Jika masalah tempat tinggal, aku akan membantu mencarikan kalian kontrakan untuk ditempati," jawabku. Ibu mendelik."Kamu tega mengusir Ibu dan Rika dari rumah ini, Zalia?! Aku ini mertuamu loh. Ibu dari suamimu. Apa kamu sadar!" sentak Ibu. Ibuku sampai terkejut mendengar suara Ibu Mas Yudha yang mulai meninggi. Ini rumahku, rumah orang tuaku kenapa mereka yang ngotot."Maaf Bu Nani. Yudha dan Zalia sudah bukan suami istri lagi. Lagi pula ..." "Zalia dan putra saya Yudha belum bercerai. Itu artinya Zalia masih Istri Yudha. Lagi pula, Jenk Ajeng. Kita kan pernah menjadi besan yang baik. Sudah seharusnya kita saling tolong menolong. Iya, kan?" ujar Ibu memotong ucapan ibuku, dengan tak tahu malunya, Ibu mengatakan hal itu pada Ibuk
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa

73. Mulai melunjak.

Seharusnya hanya sehari, akhirnya tiga hari juga Ibu dan Rika menginap di rumah orang tuaku. Jika tidak aku paksa dan disertai banyaknya ancaman. Mungkin saja saat ini, mereka masih tidur manis di rumah bagaikan ratu dan raja.Aku membawa Ibu ke rumah kontrakan. Membuka pintu rumah dengan kunci yang di berikan pemilik rumah sebelumnya. Lalu mempersilahkan Ibu masuk. Ibu meletakkan tasnya di lantai ruang tengah. Tas yang berisi beberapa lembar pakaian pemberianku dan Ibuku untuk ia dan Rika pakai.Sedangkan Rika melenggang begitu saja, melihat setiap ruangan yang berdebu dengan raut wajah jijik. Wajar saja, rumah ini sudah hampir Lima bulan ditinggali pemiliknya. Semua perabot masih lengkap seperti kasur meja dan lemari. Serta ada kompor gas kecil di dapur. Jadi tak perlu bingung lagi jika ingin memasak."Kok, rumahnya seperti ini Zalia?" tanya Ibu Mas Yudha. Saat matanya menelisik setiap sudut kontrakan yang aku pilihkan untuknya dengan rasa tak puas.Sebuah rumah kecil yang berada s
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa

74. Tentang Iwan.

"Kamu apa? Memang kenyataannya begitu kan. Mana ada orang yang bisa mendapatkan uang secara cuma-cuma tanpa bekerja. Masih kuat kerja, kan?" sungutku menantang.Tak ku hiraukan lagi tata kramaku saat ini. Menghadapi parasit seperti mereka berdua, tak boleh lemah lembut. Harus ditebas habis. Jika tidak, mereka akan menggerogoti ginjal serta jantungku."Jangan mentang-mentang Mbak memberikan kami uang, Mbak jadi bersikap sombong begini sama kami." hardik Rika tak terima dengan tatapan kebencian. Namun yang lucunya, uang yang kuberikan langsung cepat-cepat dikantongi oleh Ibu. Takut aku ambil kembali."Lah ... kamu yang minta duit sama aku aja bisa membentak ku. Lalu kenapa aku tidak! Ya sudahlah ... aku malas berdebat. Masih banyak kerjaan yang harus aku kerjakan. Selamat menempati rumah baru. Bay ... bay!" jawabku. Tanpa menunggu jawaban mereka, aku melenggang pergi dengan gaya kemayu. Aku tak yakin Ibu dan Rika akan betah di rumah ini. Apa lagi dengan fasilitas yang tak memadai. "D
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa

75. Benalu.

Setelah memikirkan selama dua hari tentang kata-kata apa yang akan aku ucapkan, pada Ibu Iwan tentang keinginan Paman. Akhirnya aku memantapkan diri untuk menemui Iwan serta Ibunya.Memang sudah satu Minggu aku mengizinkan Iwan untuk tidak bekerja. Membiarkan dia merawat Ibunya yang kondisinya semakin mengkhawatirkan. Aku sempat menawari Ibu Iwan untuk melakukan tindakan operasi. Jika sekiranya, tindakan itu dapat membantu pemulihannya dari penyakit.Dari informasi dokter yang menangani Bu Sulastri. Penyakit kanker ovarium dirinya bisa di sembuhkan dengan melakukan operasi pengangkatan. Walau kemungkinan sembuh hanya 20%. Karena lambatnya penanganan, membuat kanker itu sudah menjalar dan menyebar. Hingga ke seluruh organ yang lain yang berakibat fatal.Hatiku meringis membayangkan nasib yang menimpa Bu Sulastri. Kenapa orang baik selalu mendapatkan masalah yang berat.Baru saja mengeluarkan motorku dari garasi, aku sudah dikejutkan dengan kemunculan mantan mertuaku ini. Ia berdiri te
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa

76. Kabar duka.

"Kamu kan punya uang, Zalia. Apa salahnya sih kasih Ibu sedikit. Jangan pelit! Lagi pula, Ibu ini juga Ibumu!" Ya Allah! Ya Robbi! Kok bisa Engkau menciptakan manusia bentukan seperti ini. Tak punya urat malu."Nggak ada uang! Apa lagi untuk Ibu. Lagi pula Ibu siapa, cuma mantan mertua! Toh, selama ini Ibu pernah menganggap aku sebagai anak Ibu? Nggak kan! Sudah sana pergi! Atau mau aku panggilkan orang satu kampung untuk menyeret Ibu keluar!" Murkaku. Lagi-lagi ibu tersentak kaget dengan sikapku. "Kamu ngusir Ibu, Za?! Kamu keterlaluan, Zalia!!" sungut Ibu dengan nada yang tak kalah meninggi. "Maaf ya, Bu. Aku bukan Zalia yang dulu lagi. Jika kemarin aku membantu Ibu tidak lebih karena K-A-S-I-H-A-N! Tapi kalau kini, tak akan lagi. Terserah kalian mau jadi gelandangan, mati kelaparan atau apa? Terserah. Aku tak peduli! Lebih baik mati kan, dari pada hidup jadi BENALU!" ujarku kasar. Mata Ibu melotot, bola matanya seakan ingin keluar dengan rahang yang mengeras. Seumur hidupku, b
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa

77. Iwan kehilangan sandaran.

"Innailaihi wa innailaihi roji'un!""Innalilahi wa innailaihi roji'un!""Innalilahi wa innailaihi roji'un!"Suara pemberitahuan terdengar nyaring dari speaker mesjid yang berada tak jauh dari rumah ini. Berbondong-bondong warga berdatangan. Membantu mempersiapkan apa yang harus dilakukan untuk mengurus jenazah Bu Sulastri. Aku sudah menelpon Paman untuk hadir, membantuku dalam proses pemakaman. Karena aku tak tahu apa-apa saja yang harus dilakukan. Sedangkan Iwan. Ia masih terlalu kecil untuk mengurus semuanya.Aku berdiri di samping Iwan yang masih menangis di kamar. Duduk di pinggir ranjang sambil menangisi kepergian Ibunya. Hatiku hancur melihat kondisinya yang rapuh seperti ini.Tetangga mulai banyak yang berdatangan. Lantunan surat Yasin berkumandang dengan lantang. Mengeringi air mata Iwan yang berlomba-lomba turun. Ia menangis dalam diam. Tak ada isak atau rintihan. Hanya air mata yang jatuh tiada henti, mengalir deras bagai anak sungai.Tak ada yang dapat menggambarkan kesedi
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa

78. Duka hati yang semakin dalam.

Pemakaman telah selesai. Kami sudah kembali ke rumah. Bi Imas juga sudah sampai, dia diantar oleh seorang sopir dari rumahku. Saat kejadian paman sedang ada di pasar sedangkan Bibik ada di rumahku, ngobrol bersama Ibu. Jadi mereka tidak bisa datang ke sini berbarengan. Sedangkan Ibu, aku pinta di rumah saja. Menemani putriku Alia. Beberapa Ibu-ibu komplek ini lanjut masak-masak. Atas perintah Bi Imas. Karena mulai nanti malam dan tujuh hari ke depan akan terus diadakan tahlilan.Iwan memilih masuk kembali ke dalam kamar. Bocah itu memilih diam mengurung dirinya. Tak mau ditemani oleh siapapun.Sedangkan Paman serta beberapa orang Bapak-Bapak sedang sibuk memasang tarub untuk persiapan doa nanti malam.Aku yang tak tega membiarkan Iwan sendirian. Mendekati kamarnya. Membuka pintu kamarnya perlahan.Krreekk ...Pintu kamar itu terbuka. Tapi Iwan tak sedikitpun menolehkan kepalanya. Ia duduk di lantai, di samping ranjang sambil memeluk kedua lututnya. Menyembunyikan wajahnya diantara l
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa

79. Membongkar kisah lama.

Malam kian larut, Bibi dan Iwan juga sudah terlelap di kamar masing-masing. Sedangkan aku duduk bersama Paman di ruang tamu yang nyatu dengan ruang keluarga. Aku memang sengaja menginap di sini. Mata kami sama-sama memandang TV yang menyala dengan volume sangat kecil. Entah apa yang menarik dari tayangan tersebut. Namun yang pasti, mata dan fikiranku tak sinkron. Mataku ke depan, tapi pikiranku melayang-layang memikirkan apa yang ingin aku utarakan. Rasa takut itu kini kembali menyeruak hati. Seperti si buah simalakama. Maju ragu, mundur sesak. "Apa yang ingin kamu sampaikan, Zalia?" ujar Paman Akhirnya. Memecah keheningan diantara kami. Aku menoleh."Kenapa Paman bisa tahu, jika ada yang Zalia ingin sampaikan?" ujarku lirih. Paman menghisap rokoknya kembali lalu menghembuskannya perlahan. Ini lah yang paling aku tak suka mengobrol dengan seorang perokok. Bau asapnya yang khas mengebul kemana-mana, membuat nafasku sesak semakin sesak.Namun apa boleh buat, Paman adalah seorang pecan
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa

80. Amarah paman.

"Paman tak menyangka, kalian berdua menyimpan rahasia besar seperti ini. Ini bukan masalah kecil Zalia. Tapi nasab seorang anak! Apa kamu tak pernah berpikir!" bentak Paman. Deg!Aku tersentak kaget. Mengangkat kepalaku. Seumur hidupku, baru kali ini aku mendengar Paman membentakku. Wajah Paman memerah dengan mata yang menyala-nyala penuh amarah.Tentu saja Paman akan marah. Apa yang kami sembunyikan ini bukan lah masalah kecil. Bukan boneka curian atau mainan. Tapi anak manusia yang memiliki nasab. "Ampun Paman. Zalia mohon ampun!" cicitku. Paman berdiri menatapku yang terduduk di lantai. Aku menunduk tak berani menatap ke arah matanya. Aku takut dengan segala rasa bersalah di hati."Ampun? Setelah sekian tahun, baru kini kamu meminta ampun Zalia? Ya Allah Zalia ... apa kamu tak pernah berpikir sedikit pun tentang apa yang kamu lakukan ini. Kamu lihat anak itu Zalia! Lihat!" telunjuk tangan Paman mengarah pada kamar yang ditempati Iwan yang berada di ujung. Kemarahannya begitu me
last updateHuling Na-update : 2022-07-14
Magbasa pa
PREV
1
...
678910
...
16
DMCA.com Protection Status