Seharusnya hanya sehari, akhirnya tiga hari juga Ibu dan Rika menginap di rumah orang tuaku. Jika tidak aku paksa dan disertai banyaknya ancaman. Mungkin saja saat ini, mereka masih tidur manis di rumah bagaikan ratu dan raja.Aku membawa Ibu ke rumah kontrakan. Membuka pintu rumah dengan kunci yang di berikan pemilik rumah sebelumnya. Lalu mempersilahkan Ibu masuk. Ibu meletakkan tasnya di lantai ruang tengah. Tas yang berisi beberapa lembar pakaian pemberianku dan Ibuku untuk ia dan Rika pakai.Sedangkan Rika melenggang begitu saja, melihat setiap ruangan yang berdebu dengan raut wajah jijik. Wajar saja, rumah ini sudah hampir Lima bulan ditinggali pemiliknya. Semua perabot masih lengkap seperti kasur meja dan lemari. Serta ada kompor gas kecil di dapur. Jadi tak perlu bingung lagi jika ingin memasak."Kok, rumahnya seperti ini Zalia?" tanya Ibu Mas Yudha. Saat matanya menelisik setiap sudut kontrakan yang aku pilihkan untuknya dengan rasa tak puas.Sebuah rumah kecil yang berada s
"Kamu apa? Memang kenyataannya begitu kan. Mana ada orang yang bisa mendapatkan uang secara cuma-cuma tanpa bekerja. Masih kuat kerja, kan?" sungutku menantang.Tak ku hiraukan lagi tata kramaku saat ini. Menghadapi parasit seperti mereka berdua, tak boleh lemah lembut. Harus ditebas habis. Jika tidak, mereka akan menggerogoti ginjal serta jantungku."Jangan mentang-mentang Mbak memberikan kami uang, Mbak jadi bersikap sombong begini sama kami." hardik Rika tak terima dengan tatapan kebencian. Namun yang lucunya, uang yang kuberikan langsung cepat-cepat dikantongi oleh Ibu. Takut aku ambil kembali."Lah ... kamu yang minta duit sama aku aja bisa membentak ku. Lalu kenapa aku tidak! Ya sudahlah ... aku malas berdebat. Masih banyak kerjaan yang harus aku kerjakan. Selamat menempati rumah baru. Bay ... bay!" jawabku. Tanpa menunggu jawaban mereka, aku melenggang pergi dengan gaya kemayu. Aku tak yakin Ibu dan Rika akan betah di rumah ini. Apa lagi dengan fasilitas yang tak memadai. "D
Setelah memikirkan selama dua hari tentang kata-kata apa yang akan aku ucapkan, pada Ibu Iwan tentang keinginan Paman. Akhirnya aku memantapkan diri untuk menemui Iwan serta Ibunya.Memang sudah satu Minggu aku mengizinkan Iwan untuk tidak bekerja. Membiarkan dia merawat Ibunya yang kondisinya semakin mengkhawatirkan. Aku sempat menawari Ibu Iwan untuk melakukan tindakan operasi. Jika sekiranya, tindakan itu dapat membantu pemulihannya dari penyakit.Dari informasi dokter yang menangani Bu Sulastri. Penyakit kanker ovarium dirinya bisa di sembuhkan dengan melakukan operasi pengangkatan. Walau kemungkinan sembuh hanya 20%. Karena lambatnya penanganan, membuat kanker itu sudah menjalar dan menyebar. Hingga ke seluruh organ yang lain yang berakibat fatal.Hatiku meringis membayangkan nasib yang menimpa Bu Sulastri. Kenapa orang baik selalu mendapatkan masalah yang berat.Baru saja mengeluarkan motorku dari garasi, aku sudah dikejutkan dengan kemunculan mantan mertuaku ini. Ia berdiri te
"Kamu kan punya uang, Zalia. Apa salahnya sih kasih Ibu sedikit. Jangan pelit! Lagi pula, Ibu ini juga Ibumu!" Ya Allah! Ya Robbi! Kok bisa Engkau menciptakan manusia bentukan seperti ini. Tak punya urat malu."Nggak ada uang! Apa lagi untuk Ibu. Lagi pula Ibu siapa, cuma mantan mertua! Toh, selama ini Ibu pernah menganggap aku sebagai anak Ibu? Nggak kan! Sudah sana pergi! Atau mau aku panggilkan orang satu kampung untuk menyeret Ibu keluar!" Murkaku. Lagi-lagi ibu tersentak kaget dengan sikapku. "Kamu ngusir Ibu, Za?! Kamu keterlaluan, Zalia!!" sungut Ibu dengan nada yang tak kalah meninggi. "Maaf ya, Bu. Aku bukan Zalia yang dulu lagi. Jika kemarin aku membantu Ibu tidak lebih karena K-A-S-I-H-A-N! Tapi kalau kini, tak akan lagi. Terserah kalian mau jadi gelandangan, mati kelaparan atau apa? Terserah. Aku tak peduli! Lebih baik mati kan, dari pada hidup jadi BENALU!" ujarku kasar. Mata Ibu melotot, bola matanya seakan ingin keluar dengan rahang yang mengeras. Seumur hidupku, b
"Innailaihi wa innailaihi roji'un!""Innalilahi wa innailaihi roji'un!""Innalilahi wa innailaihi roji'un!"Suara pemberitahuan terdengar nyaring dari speaker mesjid yang berada tak jauh dari rumah ini. Berbondong-bondong warga berdatangan. Membantu mempersiapkan apa yang harus dilakukan untuk mengurus jenazah Bu Sulastri. Aku sudah menelpon Paman untuk hadir, membantuku dalam proses pemakaman. Karena aku tak tahu apa-apa saja yang harus dilakukan. Sedangkan Iwan. Ia masih terlalu kecil untuk mengurus semuanya.Aku berdiri di samping Iwan yang masih menangis di kamar. Duduk di pinggir ranjang sambil menangisi kepergian Ibunya. Hatiku hancur melihat kondisinya yang rapuh seperti ini.Tetangga mulai banyak yang berdatangan. Lantunan surat Yasin berkumandang dengan lantang. Mengeringi air mata Iwan yang berlomba-lomba turun. Ia menangis dalam diam. Tak ada isak atau rintihan. Hanya air mata yang jatuh tiada henti, mengalir deras bagai anak sungai.Tak ada yang dapat menggambarkan kesedi
Pemakaman telah selesai. Kami sudah kembali ke rumah. Bi Imas juga sudah sampai, dia diantar oleh seorang sopir dari rumahku. Saat kejadian paman sedang ada di pasar sedangkan Bibik ada di rumahku, ngobrol bersama Ibu. Jadi mereka tidak bisa datang ke sini berbarengan. Sedangkan Ibu, aku pinta di rumah saja. Menemani putriku Alia. Beberapa Ibu-ibu komplek ini lanjut masak-masak. Atas perintah Bi Imas. Karena mulai nanti malam dan tujuh hari ke depan akan terus diadakan tahlilan.Iwan memilih masuk kembali ke dalam kamar. Bocah itu memilih diam mengurung dirinya. Tak mau ditemani oleh siapapun.Sedangkan Paman serta beberapa orang Bapak-Bapak sedang sibuk memasang tarub untuk persiapan doa nanti malam.Aku yang tak tega membiarkan Iwan sendirian. Mendekati kamarnya. Membuka pintu kamarnya perlahan.Krreekk ...Pintu kamar itu terbuka. Tapi Iwan tak sedikitpun menolehkan kepalanya. Ia duduk di lantai, di samping ranjang sambil memeluk kedua lututnya. Menyembunyikan wajahnya diantara l
Malam kian larut, Bibi dan Iwan juga sudah terlelap di kamar masing-masing. Sedangkan aku duduk bersama Paman di ruang tamu yang nyatu dengan ruang keluarga. Aku memang sengaja menginap di sini. Mata kami sama-sama memandang TV yang menyala dengan volume sangat kecil. Entah apa yang menarik dari tayangan tersebut. Namun yang pasti, mata dan fikiranku tak sinkron. Mataku ke depan, tapi pikiranku melayang-layang memikirkan apa yang ingin aku utarakan. Rasa takut itu kini kembali menyeruak hati. Seperti si buah simalakama. Maju ragu, mundur sesak. "Apa yang ingin kamu sampaikan, Zalia?" ujar Paman Akhirnya. Memecah keheningan diantara kami. Aku menoleh."Kenapa Paman bisa tahu, jika ada yang Zalia ingin sampaikan?" ujarku lirih. Paman menghisap rokoknya kembali lalu menghembuskannya perlahan. Ini lah yang paling aku tak suka mengobrol dengan seorang perokok. Bau asapnya yang khas mengebul kemana-mana, membuat nafasku sesak semakin sesak.Namun apa boleh buat, Paman adalah seorang pecan
"Paman tak menyangka, kalian berdua menyimpan rahasia besar seperti ini. Ini bukan masalah kecil Zalia. Tapi nasab seorang anak! Apa kamu tak pernah berpikir!" bentak Paman. Deg!Aku tersentak kaget. Mengangkat kepalaku. Seumur hidupku, baru kali ini aku mendengar Paman membentakku. Wajah Paman memerah dengan mata yang menyala-nyala penuh amarah.Tentu saja Paman akan marah. Apa yang kami sembunyikan ini bukan lah masalah kecil. Bukan boneka curian atau mainan. Tapi anak manusia yang memiliki nasab. "Ampun Paman. Zalia mohon ampun!" cicitku. Paman berdiri menatapku yang terduduk di lantai. Aku menunduk tak berani menatap ke arah matanya. Aku takut dengan segala rasa bersalah di hati."Ampun? Setelah sekian tahun, baru kini kamu meminta ampun Zalia? Ya Allah Zalia ... apa kamu tak pernah berpikir sedikit pun tentang apa yang kamu lakukan ini. Kamu lihat anak itu Zalia! Lihat!" telunjuk tangan Paman mengarah pada kamar yang ditempati Iwan yang berada di ujung. Kemarahannya begitu me
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud