Pemakaman telah selesai. Kami sudah kembali ke rumah. Bi Imas juga sudah sampai, dia diantar oleh seorang sopir dari rumahku. Saat kejadian paman sedang ada di pasar sedangkan Bibik ada di rumahku, ngobrol bersama Ibu. Jadi mereka tidak bisa datang ke sini berbarengan. Sedangkan Ibu, aku pinta di rumah saja. Menemani putriku Alia. Beberapa Ibu-ibu komplek ini lanjut masak-masak. Atas perintah Bi Imas. Karena mulai nanti malam dan tujuh hari ke depan akan terus diadakan tahlilan.Iwan memilih masuk kembali ke dalam kamar. Bocah itu memilih diam mengurung dirinya. Tak mau ditemani oleh siapapun.Sedangkan Paman serta beberapa orang Bapak-Bapak sedang sibuk memasang tarub untuk persiapan doa nanti malam.Aku yang tak tega membiarkan Iwan sendirian. Mendekati kamarnya. Membuka pintu kamarnya perlahan.Krreekk ...Pintu kamar itu terbuka. Tapi Iwan tak sedikitpun menolehkan kepalanya. Ia duduk di lantai, di samping ranjang sambil memeluk kedua lututnya. Menyembunyikan wajahnya diantara l
Malam kian larut, Bibi dan Iwan juga sudah terlelap di kamar masing-masing. Sedangkan aku duduk bersama Paman di ruang tamu yang nyatu dengan ruang keluarga. Aku memang sengaja menginap di sini. Mata kami sama-sama memandang TV yang menyala dengan volume sangat kecil. Entah apa yang menarik dari tayangan tersebut. Namun yang pasti, mata dan fikiranku tak sinkron. Mataku ke depan, tapi pikiranku melayang-layang memikirkan apa yang ingin aku utarakan. Rasa takut itu kini kembali menyeruak hati. Seperti si buah simalakama. Maju ragu, mundur sesak. "Apa yang ingin kamu sampaikan, Zalia?" ujar Paman Akhirnya. Memecah keheningan diantara kami. Aku menoleh."Kenapa Paman bisa tahu, jika ada yang Zalia ingin sampaikan?" ujarku lirih. Paman menghisap rokoknya kembali lalu menghembuskannya perlahan. Ini lah yang paling aku tak suka mengobrol dengan seorang perokok. Bau asapnya yang khas mengebul kemana-mana, membuat nafasku sesak semakin sesak.Namun apa boleh buat, Paman adalah seorang pecan
"Paman tak menyangka, kalian berdua menyimpan rahasia besar seperti ini. Ini bukan masalah kecil Zalia. Tapi nasab seorang anak! Apa kamu tak pernah berpikir!" bentak Paman. Deg!Aku tersentak kaget. Mengangkat kepalaku. Seumur hidupku, baru kali ini aku mendengar Paman membentakku. Wajah Paman memerah dengan mata yang menyala-nyala penuh amarah.Tentu saja Paman akan marah. Apa yang kami sembunyikan ini bukan lah masalah kecil. Bukan boneka curian atau mainan. Tapi anak manusia yang memiliki nasab. "Ampun Paman. Zalia mohon ampun!" cicitku. Paman berdiri menatapku yang terduduk di lantai. Aku menunduk tak berani menatap ke arah matanya. Aku takut dengan segala rasa bersalah di hati."Ampun? Setelah sekian tahun, baru kini kamu meminta ampun Zalia? Ya Allah Zalia ... apa kamu tak pernah berpikir sedikit pun tentang apa yang kamu lakukan ini. Kamu lihat anak itu Zalia! Lihat!" telunjuk tangan Paman mengarah pada kamar yang ditempati Iwan yang berada di ujung. Kemarahannya begitu me
"Paman tak menyangka, kalian berdua menyimpan rahasia besar seperti ini. Ini bukan masalah kecil Zalia. Tapi nasab seorang anak! Apa kamu tak pernah berpikir!" bentak Paman. Deg!Aku tersentak kaget. Mengangkat kepalaku. Seumur hidupku, baru kali ini aku mendengar Paman membentakku. Wajah Paman memerah dengan mata yang menyala-nyala penuh amarah.Tentu saja Paman akan marah. Apa yang kami sembunyikan ini bukan lah masalah kecil. Bukan boneka curian atau mainan. Tapi anak manusia yang memiliki nasab. "Ampun Paman. Zalia mohon ampun!" cicitku. Paman berdiri menatapku yang terduduk di lantai. Aku menunduk tak berani menatap ke arah matanya. Aku takut dengan segala rasa bersalah di hati."Ampun? Setelah sekian tahun, baru kini kamu meminta ampun Zalia? Ya Allah Zalia ... apa kamu tak pernah berpikir sedikit pun tentang apa yang kamu lakukan ini. Kamu lihat anak itu Zalia! Lihat!" telunjuk tangan Paman mengarah pada kamar yang ditempati Iwan yang berada di ujung. Kemarahannya begitu me
"Katakan pada Paman Zahra. Rahasia apa yang kamu sembunyikan selama delapan tahun ini!" ucap Paman langsung. Tanpa basa-basi ataupun kata pengantar. Mbak Zahra yang baru saja datang dan langsung dihadapkan pertanyaan dari Paman yang menurutnya ambigu, tentu dia terkejut. Ia sedikit menoleh ke arahku. Aku menunduk melihat matanya yang mendelik. "Jangan tatap adikmu Zahra! Kamu yang sedang Paman tanya. Jawab pertanyaan Paman!" kini suara Paman terdengar mulai meninggi. "Sebenarnya ada apa ini? Aku tak mengerti, aku baru datang sudah ditodong dengan pertanyaan tentang rahasia? Memangnya rahasia apa?" kilahnya. Hanya Tuhan dan dialah yang tahu, sebenarnya dirinya sedang bersikap jujur atau sedang berpura-pura."Delapan tahun yang lalu? Jelaskan pada paman rahasia delapan tahun yang lalu, Zahra!" cecar Paman. Mbak Zahra terkesiap. Keringat dingin mulai muncul di pelipis wajahnya. Tangannya mulai bergetar serta bola mata yang bergoyang.Mbak Zahra terlihat nyengir, walau keringat dingin
"Siapa dia?" tanya Mbak Zahra saat melihat kehadiran Iwan. Ia menatap sinis pada bocah yang penampilannya tampak lusuh dan tak terurus."Dia putramu, Mbak!" jawabku. Mata Mbak Zahra kembali melebar. Ia beralih menatapku.Jarinya menunjuk pada Iwan. " Dia putraku? Bagaimana mungkin? Lagi pula anak itu sudah meninggal, kamu jangan mengada-ada, Zalia!" sanggahnya.Aku menggelengkan kepala. "Kamu sudah melihat dengan jelas isi amplop itu Mbak. Kenapa kamu masih menyangkalnya? Sekuat apa pun kamu menyangkalnya, dia adalah putramu Mbak!" "Tidak! Dia bukan anak itu, anak itu sudah mati! Sudah cukup! Jangan pernah bahas soal ini lagi, aku tidak mau Mas Hadi tahu akan hal ini. Atau kamu memang sengaja kan, Zalia?! Kamu mau rumah tanggaku hancur dan membuatku jadi janda sepertimu! Itu sebabnya kamu membongkar semua ini pada Paman. Kamu ingin Paman dan Bibi membenciku. Iya, kan! Jawab!" sungutnya penuh emosi. Aku juga mulai terpancing emosi dengan tuduhan-tuduhan yang ia sematkan padaku."Astag
Waktu berlalu begitu cepat dan Mbak Zahra tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau mengakui keberadaan Iwan. Bahkan menanyakan kabar pun tidak. Bahkan ia seolah menghindar dariku dan Paman."Sebenarnya apa yang kita kejar dengan menekan Mbak Zahra seperti ini Paman? Jika dia tidak mau mengakui Iwan, maka biarlah. Biar Iwan aku yang merawatnya?" ujarku pada paman di sore hari yang cerah ini."Tidak semudah itu Zalia. Walaupun kamu merawatnya sepenuh hati. Kamu bukan Ibu kandungnya. Akan lebih baik Iwan tidak mengetahui siapa Ibu kandungnya. Menganggap Ibu kandungnya telah mati seperti yang ia tahu selama ini. Dari pada ia mengetahui ia memiliki Ibu, tapi tak dianggap keberadaannya. Itu sangat menyakitkan untuknya ...," Paman menjeda ucapannya sesaat. Menghirup rokok yang ada di tangannya. Lalu ia hembuskan secara perlahan."Paman dan Bibimu sudah sepakat. Kami sepakat akan pulang ke kampung halaman Bibimu. Membesarkan Iwan disana sebagai putra kami," lanjut Paman. Aku menoleh, menatapnya
Kalau kata Ibu, karena dulu kami tidak sekaya Bik Saudah makanya ia enggan menganggap Ibuku saudara. Sifat Bik Saudah sangat mirip dengan Mbak Zahra. Ia menganggap harta adalah yang paling penting dalam hidup. Hidupnya dihabiskan hanya untuk mengejar uang ... uang ... dan uang! Bik Saudah memiliki puluhan hektar kebun sawit dan memiliki 'kwari' atau tambang pasir di beberapa titik sebagai sumber kekayaan."Tapi Bik, tak bisakah dengan cara lain?Kita hidup bersama di sini saja," pintaku dengan nada memohon. "Tidak semudah itu, Zalia." ujar bibi sambil meraih tanganku. "Kamu tak tahu bagaimana rasanya di posisi Iwan, Nak. Bagaimana rasanya hidup di dekat orang tua yang tidak mengakui keberadaannya. Sakit yang tak dapat digambarkan. Banyak hal yang tak dapat bibi jelaskan. Lagi pula, Bibi dan Pamanmu sepakat untuk pulang, karena kami juga ingin menghabiskan masa tua kami di desa. Menghirup udara pedesaan yang segar dan tenang." jelasnya.Hatiku kembali terenyuh mendengar perkataan Bibi
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud