Waktu berlalu begitu cepat dan Mbak Zahra tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau mengakui keberadaan Iwan. Bahkan menanyakan kabar pun tidak. Bahkan ia seolah menghindar dariku dan Paman."Sebenarnya apa yang kita kejar dengan menekan Mbak Zahra seperti ini Paman? Jika dia tidak mau mengakui Iwan, maka biarlah. Biar Iwan aku yang merawatnya?" ujarku pada paman di sore hari yang cerah ini."Tidak semudah itu Zalia. Walaupun kamu merawatnya sepenuh hati. Kamu bukan Ibu kandungnya. Akan lebih baik Iwan tidak mengetahui siapa Ibu kandungnya. Menganggap Ibu kandungnya telah mati seperti yang ia tahu selama ini. Dari pada ia mengetahui ia memiliki Ibu, tapi tak dianggap keberadaannya. Itu sangat menyakitkan untuknya ...," Paman menjeda ucapannya sesaat. Menghirup rokok yang ada di tangannya. Lalu ia hembuskan secara perlahan."Paman dan Bibimu sudah sepakat. Kami sepakat akan pulang ke kampung halaman Bibimu. Membesarkan Iwan disana sebagai putra kami," lanjut Paman. Aku menoleh, menatapnya
Kalau kata Ibu, karena dulu kami tidak sekaya Bik Saudah makanya ia enggan menganggap Ibuku saudara. Sifat Bik Saudah sangat mirip dengan Mbak Zahra. Ia menganggap harta adalah yang paling penting dalam hidup. Hidupnya dihabiskan hanya untuk mengejar uang ... uang ... dan uang! Bik Saudah memiliki puluhan hektar kebun sawit dan memiliki 'kwari' atau tambang pasir di beberapa titik sebagai sumber kekayaan."Tapi Bik, tak bisakah dengan cara lain?Kita hidup bersama di sini saja," pintaku dengan nada memohon. "Tidak semudah itu, Zalia." ujar bibi sambil meraih tanganku. "Kamu tak tahu bagaimana rasanya di posisi Iwan, Nak. Bagaimana rasanya hidup di dekat orang tua yang tidak mengakui keberadaannya. Sakit yang tak dapat digambarkan. Banyak hal yang tak dapat bibi jelaskan. Lagi pula, Bibi dan Pamanmu sepakat untuk pulang, karena kami juga ingin menghabiskan masa tua kami di desa. Menghirup udara pedesaan yang segar dan tenang." jelasnya.Hatiku kembali terenyuh mendengar perkataan Bibi
Bapak yang Ibu maksud adalah paman Ja'far. Karena yang Ibu tahu, paman Ja'far yang mengadopsi Iwan.Namun ia tetap membahasakan dirinya pada Iwan sebagai nenek. Ia tidak mau di panggil bu'de atau uwak. Paman dan Iwan mulai mengambil barang bawaan mereka. Iwan memegang ransel serta menyeret koper dengan ukuran kecil. Sedangkan Paman membawa 2 koper yang berukuran besar. Mobil Bus sampai, berhenti tepat di depan area keberangkatan. Para petugas membuka bagasi bagian samping mobil, memasukkan barang-barang penumpang yang sekiranya besar-besar dan tidak bisa diletakkan di dalam bagasi yang ada di atas tempat duduk. Toet! Toet! Toet!Bunyi klakson khas Bus berbunyi. Menandakan semuanya sudah siap. Penumpang juga sudah pada masuk semua.Mataku fokus pada kaca Bus. Menatap ke arah mereka dari balik kaca walau aku tak tahu di mana posisi mereka berada. Ukuran Bus yang terlalu tinggi membuatku tak dapat melihatnya dengan jelas.Hingga roda-roda besar itu bergerak, berputar maju ke depan. Me
Alhamdulillah Ibuku tidak apa-apa. Sebab polisi yang membawa kami ke rumah sakit tiba dengan cepat, hingga membuat Ibuku dapat cepat ditangani. Sekarang Ibu juga lebih baik dan lebih tenang. Hingga bisa membuatku bernafas lega. "Sebenarnya ada apa ini Pak polisi?" tanya Ibu setelah ia mulai merasa baikan. Rasa penasarannya lebih kuat dari rasa sakit yang ia terima. Padahal aku sudah melarangnya untuk membahas masalah ini dulu."Maaf Bu, bukan maksud kami mau mengagetkan Ibu. Kami dari pihak ke polisian mau bertanya, akan sesuatu hal penting pada Ibu Zaliandra Putri. Perihal seorang pria yang menjadi korban tabrak lari." jelasnya. Aku tersentak kaget, siapa orang itu? Dan apa hubungannya denganku? Pak polisi yang bernama Herman beralih menatapku. Ia tersenyum ramah. Tak ada intimidasi sedikit pun. Jika memang aku bersalah, maka ia tidak mungkin bersikap seperti itu padaku. Tapi aku jadi penasaran, siapakah gerangan orang yang mereka maksud?"Korban tabrak lari? Maksudnya bagaimana i
Dua puluh lima menit waktu yang aku habiskan menempuh perjalanan ke rumah sakit Medika. Kini aku bergegas ke ruangan ICU. Jantungku berdegup kencang, ada rasa cemas serta penasaran yang timbul di hati. Baru saja tiba, aku melihat mantan Ibu mertua duduk di depan ruang ICU bersama Rika, putrinya. Ibu menangis sesenggukan di pangkuan Rika. Sebenarnya ada apa ini? Apa benar di dalam sana adalah Mas Yudha?Rika menoleh, pandangan mata kami terserobok. Tatapan matanya yang kaget seketika berubah menjadi benci. Ada dendam di dalam sana."Bu ada Zalia," bisik Rika sangat pelan. Hingga pelannya hampir tak terdengar olehku. Hanya saja gerak bibirnya terbaca olehku.Ibu Nani langsung menegakkan kepalanya menatap ke arahku. Menghapus dengan kasar air mata yang menetes. Wajahnya yang murka seolah ingin menelanku hidup-hidup. Ia langsung berdiri dari duduknya dan menyerbuku. Saat tangannya mulai terangkat untuk menamparku, aku sudah lebih dulu bergeser di balik punggung Pak Herman. "Tunggu! A
"Apa? Dokter pasti bohong, kan?" teriak Ibu seolah tak percaya dengan penjelasan yang diberikan dokter. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kenyataan ini benar-benar membuatnya hancur."Dokter pasti bohong! Anak saya itu anak baik-baik. Bagaimana mungkin dia bisa menderita penyakit lain*t itu. Tidak mungkin!" Ibu berteriak dan menudingkan tangannya pada dokter yang menangani Mas Yudha. Wajah yang pucat dan nafas yang tak beraturan membuat Ibu hilang kesadaran hingga ambruk ke lantai. Membuat kami semua panik.Flashback end"Bu, Bu Zalia. Apa anda mendengarkan saya?" ujar Pak Herman membuyarkan lamunanku. Aku mengusap air mata yang mulai meluncur."Tidak apa-apa Pak. Saya cuma sedih saja, melihat mantan suami saya seperti ini. Walau bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidup saya," jawabku pelan. Aku mengatur napas. Mengontrol emosi dan suasana hati.Hidup itu sebuah tabir misteri yang tak ada satu pun tahu apa yang tersimpan di baliknya.Dokter mengatakan kemungkinan hid
Aku membuka mataku perlahan-lahan. Sinar cahaya lampu dari atap kamar masuk kedalam retina mataku. "Alhamdulilah ternyata hanya mimpi," batinku berucap. Ada rasa lega yang aku rasakan. "Yudha! Syukurlah kamu sudah bangun, Nak?!" Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Suara wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Tanganku yang lemah aku gerakkan untuk meraih tangan Ibuku. Ibu yang mengerti, langsung menggenggam tangan ini erat. Nafasku yang naik turun dengan selang oksigen terpasang di hidungku. Masih membuatnya khawatir. Apa lagi tadi, pasti ia sangat khawatir dan bersalah."Ha–haus! Haus, Bu!" kata pertama yang keluar dari mulutku. Tenggorokanku terasa begitu kering. Ibu melepas genggaman tangannya, dengan cepat beralih mengambil gelas yang berisi air serta sedotan. Memberikannya padaku.Tangan kiri Ibu mengangkat sedikit kepalaku, sedangkan tangan kanannya memegang gelas itu. Aku menghisap sedotan itu dengan tergesa-gesa, tenggorokan yang sangat kering seketika terasa dingin
Ibu dan polisi itu mulai keluar meniggalkan ruangan ini. Namun Zalia, ia tidak juga bergerak dari tempatnya. Berdiri di bawah kakiku."Dek, tak ... tak bisakah, kamu mendekat padaku?" pintaku dengan lirih. Sekuat tenaga aku menahan sesak ini, agar bisa berbicara dengan lancar. Aku ingin ia berada di sisiku untuk terakhir kaliku. Zalia menghela napas dalam. Ia melangkahkan kakinya berpindah ke sampingku. Tapi tetap saja ia memberikan jarak yang cukup jauh diantara kami. Hingga ia tak dapat aku gapai. Membuatku kecewa, tapi aku tak bisa menyalahkannya. Tentu dia jijik dekat denganku yang penyakitan ini. Walau aku ingin sekali memegang tangannya, sambil meminta maaf atas semua yang telah aku perbuat padanya."Dek! Tak–tak bisa–kah kamu berdiri tepat ... di–disebelahku!" ujarku. Napas ini kembali naik turun dengan cepat tanpa henti. Aku merasa pasokan oksigen yang masuk lewat selang ini, tak cukup memenuhi pasokan oksigen di paru-paruku."Aku disini saja, Mas. Katakanlah apa yang ingin k
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud