Beranda / Pernikahan / Batas kesabaran seorang istri! / 88. Tuduhan tak beralasan.

Share

88. Tuduhan tak beralasan.

Penulis: Desti Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dua puluh lima menit waktu yang aku habiskan menempuh perjalanan ke rumah sakit Medika.

Kini aku bergegas ke ruangan ICU. Jantungku berdegup kencang, ada rasa cemas serta penasaran yang timbul di hati.

Baru saja tiba, aku melihat mantan Ibu mertua duduk di depan ruang ICU bersama Rika, putrinya.

Ibu menangis sesenggukan di pangkuan Rika. Sebenarnya ada apa ini? Apa benar di dalam sana adalah Mas Yudha?

Rika menoleh, pandangan mata kami terserobok. Tatapan matanya yang kaget seketika berubah menjadi benci. Ada dendam di dalam sana.

"Bu ada Zalia," bisik Rika sangat pelan. Hingga pelannya hampir tak terdengar olehku. Hanya saja gerak bibirnya terbaca olehku.

Ibu Nani langsung menegakkan kepalanya menatap ke arahku. Menghapus dengan kasar air mata yang menetes. Wajahnya yang murka seolah ingin menelanku hidup-hidup. Ia langsung berdiri dari duduknya dan menyerbuku.

Saat tangannya mulai terangkat untuk menamparku, aku sudah lebih dulu bergeser di balik punggung Pak Herman.

"Tunggu! A
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Batas kesabaran seorang istri!   89. Penyesalan yang terlambat.

    "Apa? Dokter pasti bohong, kan?" teriak Ibu seolah tak percaya dengan penjelasan yang diberikan dokter. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kenyataan ini benar-benar membuatnya hancur."Dokter pasti bohong! Anak saya itu anak baik-baik. Bagaimana mungkin dia bisa menderita penyakit lain*t itu. Tidak mungkin!" Ibu berteriak dan menudingkan tangannya pada dokter yang menangani Mas Yudha. Wajah yang pucat dan nafas yang tak beraturan membuat Ibu hilang kesadaran hingga ambruk ke lantai. Membuat kami semua panik.Flashback end"Bu, Bu Zalia. Apa anda mendengarkan saya?" ujar Pak Herman membuyarkan lamunanku. Aku mengusap air mata yang mulai meluncur."Tidak apa-apa Pak. Saya cuma sedih saja, melihat mantan suami saya seperti ini. Walau bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidup saya," jawabku pelan. Aku mengatur napas. Mengontrol emosi dan suasana hati.Hidup itu sebuah tabir misteri yang tak ada satu pun tahu apa yang tersimpan di baliknya.Dokter mengatakan kemungkinan hid

  • Batas kesabaran seorang istri!   90. Kebodohan diri.

    Aku membuka mataku perlahan-lahan. Sinar cahaya lampu dari atap kamar masuk kedalam retina mataku. "Alhamdulilah ternyata hanya mimpi," batinku berucap. Ada rasa lega yang aku rasakan. "Yudha! Syukurlah kamu sudah bangun, Nak?!" Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Suara wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Tanganku yang lemah aku gerakkan untuk meraih tangan Ibuku. Ibu yang mengerti, langsung menggenggam tangan ini erat. Nafasku yang naik turun dengan selang oksigen terpasang di hidungku. Masih membuatnya khawatir. Apa lagi tadi, pasti ia sangat khawatir dan bersalah."Ha–haus! Haus, Bu!" kata pertama yang keluar dari mulutku. Tenggorokanku terasa begitu kering. Ibu melepas genggaman tangannya, dengan cepat beralih mengambil gelas yang berisi air serta sedotan. Memberikannya padaku.Tangan kiri Ibu mengangkat sedikit kepalaku, sedangkan tangan kanannya memegang gelas itu. Aku menghisap sedotan itu dengan tergesa-gesa, tenggorokan yang sangat kering seketika terasa dingin

  • Batas kesabaran seorang istri!   91. Menghembuskan nafas terakhir.

    Ibu dan polisi itu mulai keluar meniggalkan ruangan ini. Namun Zalia, ia tidak juga bergerak dari tempatnya. Berdiri di bawah kakiku."Dek, tak ... tak bisakah, kamu mendekat padaku?" pintaku dengan lirih. Sekuat tenaga aku menahan sesak ini, agar bisa berbicara dengan lancar. Aku ingin ia berada di sisiku untuk terakhir kaliku. Zalia menghela napas dalam. Ia melangkahkan kakinya berpindah ke sampingku. Tapi tetap saja ia memberikan jarak yang cukup jauh diantara kami. Hingga ia tak dapat aku gapai. Membuatku kecewa, tapi aku tak bisa menyalahkannya. Tentu dia jijik dekat denganku yang penyakitan ini. Walau aku ingin sekali memegang tangannya, sambil meminta maaf atas semua yang telah aku perbuat padanya."Dek! Tak–tak bisa–kah kamu berdiri tepat ... di–disebelahku!" ujarku. Napas ini kembali naik turun dengan cepat tanpa henti. Aku merasa pasokan oksigen yang masuk lewat selang ini, tak cukup memenuhi pasokan oksigen di paru-paruku."Aku disini saja, Mas. Katakanlah apa yang ingin k

  • Batas kesabaran seorang istri!   92. Bukan salahku.

    Mas Yudha tertawa seperti orang gila. Saat aku mengatakan jika kami sudah bercerai. Ia juga sempat beberapa kali memintaku untuk mendekat dengannya. Namun aku tak punya keberanian untuk mendekat, hatiku juga enggan untuk melakukan itu. Ada rasa kecewa di dalam dasar hati ini."Tidak Zalia. Aku tak mau ber–bercerai! Tidak!" teriaknya. Dengan tangan yang lemah dan gemetaran. Tangan itu terulur berusaha menggapaiku. Namun aku tak sedikit pun bergeming. Aku terkejut, langkah kakiku Mundur ke belakang. Saat Mas Yudha mencopot dengan kasar selang infus yang terpasang di tangannya. Membuat punggung tangannya mengeluarkan sedikit darah. Lalu ia melepas selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Membuat dirinya kesusahan bernapas. Aku ingin menolong, tapi aku takut. Minimnya pengetahuan tentang ilmu kedokteran, sehingga aku tak tahu apa-apa yang di maksud dengan penyakit H*V, yang aku tahu itu adalah penyakit menular. Membuatku semakin enggan mendekat dengannya.Mas Yudha tampak mulai berg

  • Batas kesabaran seorang istri!   93. Aku juga permata di mata orang tuaku.

    "Saat Ibu begitu mencintai anak-anak Ibu, dan memperlakukan mereka seperti layaknya barang beharga. Maka begitu juga aku di mata orang tuaku. Mereka membesarkanku dengan kasih sayang, memberikan kehidupan yang layak. Lalu atas dasar apa kalian justru menjadikanku budak penghasil uang untuk kalian. Hah! Saat keinginan kalian tidak terpenuhi, kalian justru menyakitiku dengan cara yang begitu sadis. Ibu pikir aku tak tahu, apa yang Ibu dan putra Ibu lakukan, hanya untuk membuatku patuh dan tunduk di kaki kalian. Jika Mas Yudha meninggal seperti ini dengan penyakit yang aku sendiri tak tahu ia dapat dari mana? Entah berapa banyak j*lang di luaran sana yang ia sentuh, hingga ia mengidap penyakit itu? Aku tak tahu. Lalu kenapa aku yang ibu persalahkan!" sungutku, mengutarakam semua uneg-uneg yang tersimpan di hati ini."Seharusnya ibu salahkan diri Ibu. Didikan apa yang Ibu berikan, hingga putra Ibu semasa hidup hanya menjadi beban Istri. Saat mati pun, bukannya bertobat tapi justru bergeli

  • Batas kesabaran seorang istri!   94. Kisah hidup yang terus berlanjut.

    Setelah meninggalnya Mas Yudha. Kesedihan meliputiku selama beberapa bulan. Walau bagaimanapun ia dulu pernah menjadi bagian dari hidupku. Ayah dari anakku. Jujur aku tak menyangka takdir hidupnya akan seperti ini. Namun setelah itu hari-hari berjalan begitu saja tak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Ibu dan Rika pergi entah kemana. Dari kabar yang aku dengar, setelah putranya itu meninggal, Ibu menjadi sedikit tidak waras. Membuat Rika terpaksa menitipkan ibunya kerumah sakit jiwa.Wajar saja jika seorang Ibu menjadi gila larena kepergian putra satu-satunya, namun yang tak habis pikir. Putri kesayangan Ibu yang selalu di manja dan dibela-belain mati-matian kini justru meninggalkannya begitu saja di rumah sakit jiwa. Sedangkan Rika yang tak bisa apa-apa lebih memilih hidup menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup dan memenuhi gengsinya. Nauzubillah min zalik. Begitu mudah ia menggadaikan harga dirinya hanya untuk lembaran uang. Padahal diluar sana masih banyak pekerjaan

  • Batas kesabaran seorang istri!   95. Mereka yang kembali.

    Hari yang dinantikan akhirnya tiba, kami semua menyiapkan penyambutan kedatangan Paman Ja'far, Bibi dan Wawan dengan begitu lengkap. Namun diantara kami semua, ada Ibu yang paling antusias dengan tubuhnya yang sepuh. Alhamdulilah, walau tubuh Ibu rentan dan memiliki penyakit jantung. Namun Ibu masih berumur panjang hingga saat kini. Justru tampak semakin sehat dengan kabar kepulangan adik dan cucu yang tidak ia ketahui itu.Melihat ibu yang berjalan tertatih dengan tongkatnya, aku segera menghampiri. "Ada apa, Bu? Kenapa Ibu keluar kamar. Jika Ibu butuh sesuatu, Ibu bisa panggil Zalia lewat ponsel yang ada di tangan Ibu," ujarku khawatir. Kakinya sering mengalami ngilu karena rematik dan asam urat akut yang dideritanya. Tubuh Ibu sudah tak memungkinkan lagi untuk ia keluar masuk kamarnya dengan leluasa. Selain menggunakan kursi roda. Namun hari ini, ia meninggalkan kursi rodanya dan bergerak dengan tongkatnya. "Tidak Zalia. Ibu mau menunggu kedatangan Paman dan Bibimu di ruang tamu

  • Batas kesabaran seorang istri!   96. Kumpul keluarga besar.

    "Kenapa Ma? Kenapa Mama Zalia melihat aku seperti itu?" tanya Wawan. Mungkin ia mulai risih melihat tatapan mataku yang mulai intens melihatnya. Aku memang menyuruh Iwan memanggilku dengan sebutan Mama. Karena pada dasarnya, ia memang anakku, anak dari kakakku."Mas jadi cemburu, kalau kamu menatap Wawan seperti itu," lontar suamiku sambil memasang raut cemberut. Seketika aku tertawa mendengarnya. Mungkin bagi orang lain perkataan itu terdengar romantis. Namun serasa menggelitik di telingaku."Ya elah, Papa. Sudah sama-sama tua aja, sok cemburu-cemburuan," ledek Tita. Mata mas Herman melebar mendengar ucapan putri kecilnya yang sedang mengejek dirinya itu."Namanya juga sayang," balasnya santai. Mas Herman tertawa riang. Aku tahu ia hanya bercanda mengucapkan itu, karena ia tahu dengan pasti cerita tentang keberadaan Wawan di keluarga ini. Tak ada yang aku sembunyikan dari suamiku. Bahkan status Wawan yang sebenarnya pun ia juga mengetahuinya bahkan sebelum kami menikah. Waktu itu ak

Bab terbaru

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

  • Batas kesabaran seorang istri!   147. Mengenang alm. Bapak

    Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   146. Sinta membuat masalah

    “Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   145. Sinta yang Iri (season 2)

    Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud

DMCA.com Protection Status