Beranda / Pernikahan / Batas kesabaran seorang istri! / 94. Kisah hidup yang terus berlanjut.

Share

94. Kisah hidup yang terus berlanjut.

Penulis: Desti Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah meninggalnya Mas Yudha. Kesedihan meliputiku selama beberapa bulan. Walau bagaimanapun ia dulu pernah menjadi bagian dari hidupku. Ayah dari anakku. Jujur aku tak menyangka takdir hidupnya akan seperti ini. Namun setelah itu hari-hari berjalan begitu saja tak ada yang berubah. Semuanya masih sama.

Ibu dan Rika pergi entah kemana. Dari kabar yang aku dengar, setelah putranya itu meninggal, Ibu menjadi sedikit tidak waras. Membuat Rika terpaksa menitipkan ibunya kerumah sakit jiwa.

Wajar saja jika seorang Ibu menjadi gila larena kepergian putra satu-satunya, namun yang tak habis pikir. Putri kesayangan Ibu yang selalu di manja dan dibela-belain mati-matian kini justru meninggalkannya begitu saja di rumah sakit jiwa.

Sedangkan Rika yang tak bisa apa-apa lebih memilih hidup menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup dan memenuhi gengsinya. Nauzubillah min zalik. Begitu mudah ia menggadaikan harga dirinya hanya untuk lembaran uang. Padahal diluar sana masih banyak pekerjaan
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Batas kesabaran seorang istri!   95. Mereka yang kembali.

    Hari yang dinantikan akhirnya tiba, kami semua menyiapkan penyambutan kedatangan Paman Ja'far, Bibi dan Wawan dengan begitu lengkap. Namun diantara kami semua, ada Ibu yang paling antusias dengan tubuhnya yang sepuh. Alhamdulilah, walau tubuh Ibu rentan dan memiliki penyakit jantung. Namun Ibu masih berumur panjang hingga saat kini. Justru tampak semakin sehat dengan kabar kepulangan adik dan cucu yang tidak ia ketahui itu.Melihat ibu yang berjalan tertatih dengan tongkatnya, aku segera menghampiri. "Ada apa, Bu? Kenapa Ibu keluar kamar. Jika Ibu butuh sesuatu, Ibu bisa panggil Zalia lewat ponsel yang ada di tangan Ibu," ujarku khawatir. Kakinya sering mengalami ngilu karena rematik dan asam urat akut yang dideritanya. Tubuh Ibu sudah tak memungkinkan lagi untuk ia keluar masuk kamarnya dengan leluasa. Selain menggunakan kursi roda. Namun hari ini, ia meninggalkan kursi rodanya dan bergerak dengan tongkatnya. "Tidak Zalia. Ibu mau menunggu kedatangan Paman dan Bibimu di ruang tamu

  • Batas kesabaran seorang istri!   96. Kumpul keluarga besar.

    "Kenapa Ma? Kenapa Mama Zalia melihat aku seperti itu?" tanya Wawan. Mungkin ia mulai risih melihat tatapan mataku yang mulai intens melihatnya. Aku memang menyuruh Iwan memanggilku dengan sebutan Mama. Karena pada dasarnya, ia memang anakku, anak dari kakakku."Mas jadi cemburu, kalau kamu menatap Wawan seperti itu," lontar suamiku sambil memasang raut cemberut. Seketika aku tertawa mendengarnya. Mungkin bagi orang lain perkataan itu terdengar romantis. Namun serasa menggelitik di telingaku."Ya elah, Papa. Sudah sama-sama tua aja, sok cemburu-cemburuan," ledek Tita. Mata mas Herman melebar mendengar ucapan putri kecilnya yang sedang mengejek dirinya itu."Namanya juga sayang," balasnya santai. Mas Herman tertawa riang. Aku tahu ia hanya bercanda mengucapkan itu, karena ia tahu dengan pasti cerita tentang keberadaan Wawan di keluarga ini. Tak ada yang aku sembunyikan dari suamiku. Bahkan status Wawan yang sebenarnya pun ia juga mengetahuinya bahkan sebelum kami menikah. Waktu itu ak

  • Batas kesabaran seorang istri!   97. Kedatangan Mbak Zahra.

    "Zalia! Lihat ada siapa yang datang itu? Jika orang asing, suruh pulang! Jika fakir miskin, berikan dia sumbangan!" cetus Ibu kasar seakan tak mau menoleh ke arahnya. Membuat kami semua tersentak kaget."Mbak Zahra?" gumamku."Nyonya! Kenapa tidak menunggu saya?" Seseorang tiba-tiba datang di sebelah Mbak Zahra. Seorang gadis muda. Fitri namanya. Umur Fitri sekitar 22 tahun. Gadis itu bekerja sebagai perawat Mbak Zahra. Mas Hadi meninggal tiga tahun yang lalu, ia meninggal dalam kecelakaan saat perjalanan pulang dari toko bersama Mbak Zahra. Sejak meninggalnya Mas Hadi, sifat Mbak Zahra berubah drastis. Ia lebih banyak diam dan mengalah, tak seperti dulu yang temperamental dan sombong. Seperti kata pepatah, saat terjatuh, kita baru menyadari kalau jalan yang kita ambil salah. Sedangkan Ibu, tak tahu apa yang terjadi dengan Ibu? Sejak dua tahun kepindahan Wawan dan Paman Ja'far. Tepatnya saat Ibu baru pulang dari Jawa, sikap Ibu sedikit aneh terhadapku. Sedangkan dengan Mbak Zahra.

  • Batas kesabaran seorang istri!   98. Kesendirian dihari tua.

    Pov. Zahra"Kita mau ke mana, Nyonya?" tanya Udin. Supirku. Sudah hampir dua jam kami berputar-putar tiada henti. Sudah seperti gasing yang berputar tak tentu arah. Mungkin Udin pun sudah jengah."Ke taman kota saja!" jawabku singkat. Aku menatap ke arah jendela mobil. Menatap lalu lalang kendaraan roda dua dan roda empat yang berseliweran.Sesampainya di taman kota, hari sudah mulai sore. Suara azan Ashar pun berkumandang dari toa mushola yang tak jauh dari taman ini. Aku memilih duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon. Fitri duduk di sebelahku. Aku tahu ia menatapku dengan tatapan Iba, dan aku tak suka itu. Aku tak suka dikasihani walau kenyataannya hidup memang menyedihkan.Setelah habis Ashar, taman mulai ramai. Awalnya hanya beberapa orang. Kini satu persatu orang-orang pada berdatangan. Mereka datang membawa pasangannya. Ada ibu-ibu yang datang bersama putra dan putrinya mereka. Seorang pemuda bermain sepeda bersama teman-temannya. Serta suami siaga yang mengantarkan is

  • Batas kesabaran seorang istri!   99. Pahitnya kesendirian Zahra.

    Sibuk? Tidak bisakah mereka menyempatkan barang sebentar saja untuk menerima telpon Nyonya. Sudah hampir dua tahun, anak-anak Nyonya tidak berkunjung untuk melihat Nyonya. Bahkan menelpon pun enggan," ujar Fitri membuat hatiku semakin nyeri.Ya Tuhan. Inikah karma yang aku terima atas kesalahanku di masa lalu. Suasana taman yang tenang dan ramai. Namun hatiku kesepian dan sunyi.Seperti seekor burung Pipit yang terkurung di kandang, menatap iri serta takjub pada burung-burung lain yang terbang bebas di angkasa."Sudah Nyonya. Jangan sedih, masih ada Fitri dan si Mbok. Nyonya nggak sendirian, kok!" hibur gadis manis ini padaku. Aku berusaha tersenyum menutupi hatiku yang meringis pilu."Ayo kita pulang Fitri! Antarkan saya ke rumah. Saya mau istirahat," ujarku. Aku menatap lembut gadis itu. Fitri mengangguk paham. Fitri mulai memapah aku ke mobil. Keberadaannya membuatku sangat terbantu. Andai tak ada Fitri, entah siapa yang akan sudi mengurusku?Sepanjang perjalanan lagi-lagi aku te

  • Batas kesabaran seorang istri!   100. Musibah yang menerpa.

    Pov. FitriGelegar!Petir ini menyambar-nyambar seakan bumi ini sedang murka. Aku sampai bergidik ngeri melihatnya. Jujur aku tak suka tinggal di rumah mewah ini. Rumah ini besar dan mewah, namun seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Tidak seperti rumahku yang kecil dan hangat. Jika seperti ini, aku jadi rindu pada Ibu dan Bapakku di kampung.Aku merantau ke kota ini demi membiayai hidup kedua orang tuaku. Bapakku yang sudah tua, sudah tak memungkin kan untuk bekerja, sedangkan adikku Minah masih duduk di bangku sekolah menengah atas.Untung saja aku bertemu dengan seorang teman dan mengajakku untuk ke kota ini. Mbak Wati namanya. Berkat ia juga, aku mendapatkan pekerjaan ini. Merawat Bu Zahra yang baru habis kecelakaan. Awal-awal aku kesulitan dengan pekerjaanku ini, ditambah tempramen Ibu Zahra yang sering naik turun membuat aku sering mendapat cacian dan makinya.Demi Ibu dan Bapak aku bertahan. Aku mencoba mengerti, mungkin beliau seperti itu karena baru habis kehilangan suami yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   101. Menelpon keluarga Zahra.

    "Mang! Mang Udin! Bangun Mang!"Dor! Dor! Dor!Aku memukul pintu Mang Udin dengan kuat. Berharap pria itu cepat bangun dan membukakan pintu. Apa yang terjadi? Kenapa Nyonya Zahra bisa seperti itu?Apa ada seseorang yang datang dan ingin membunuhnya?Berbagai pertanyaan berkelebat di kepalaku saat ini. Karena begitu ketakutan air mataku pun keluar membanjiri pipi. Keringat dingin dengan tubuh gemetar. Lagi-lagi aku memanggil Mang Udin dengan kencang sambil menggedor pintunya kuat.Aku berharap Tuhan sedikit berbaik hati untuk membuat hujan dan petir ini sedikit mereda, agar suaraku yang kecil tak hilang oleh kuatnya deras hujan."Mang! Mang Udinnnn!" Setelah bersusah payah berteriak, akhirnya Mang Udin membukakan pintu kamarnya. Pria itu bangun dengan kain sarung yang melilit tubuh bagian bawah. Sedangkan tangannya sibuk memasangkan kaos ke badan."Ada apa Neng Fitri? Kenapa malam-malam ini datang ke kamar Mamang sambil berteriak-teriak?" tanya Mang Udin heran. Matanya yang masih mera

  • Batas kesabaran seorang istri!   102. Fitri dimarah Randi.

    Lama aku menunggu sambungan telpon Mbak Nabila, putri Bungsu Nyonya Zahra. Mungkin saja karena masih jam 4 pagi, bisa jadi mereka masih tertidur dengan nyenyak.Lama hati ini menunggu dengan gelisah, hingga panggilan kelima tak jua diangkatnya.Aku menatap ponselku sekali lagi, membuka kontak yang ada dan menekan nomor yang lainnya. Kali ini aku menekan nomor Bu Zalia. "Assalamualaikum," jawab Bu Zalia dari seberang sana. Tak menunggu lama, hanya dua kali panggilan saja, beliau langsung menyahut. Suaranya yang jernih terasa begitu adem di hati. Sepertinya Bu Zalia mau sholat subuh. Makanya beliau langsung cepat mengangkatnya, karena ia sudah bangun juga kan."Waalaikum salam. Bu ini saya Fitri, perawatnya Nyonya Zahra," ujarku. "Fitri? Ada apa kamu menelpon Ibu subuh-subuh begini?" tanya Bu Zalia heran. Terasa dari intonasi nada suaranya."Bu ... bisakah Ibu Zalia sekeluarga ke rumah sakit segera, Bu. Nyonya Zahra, Bu ..." aku kembali menangis mengingat kejadian yang menimpa tuank

Bab terbaru

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

  • Batas kesabaran seorang istri!   147. Mengenang alm. Bapak

    Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   146. Sinta membuat masalah

    “Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   145. Sinta yang Iri (season 2)

    Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud

DMCA.com Protection Status