Beranda / Pernikahan / Batas kesabaran seorang istri! / 96. Kumpul keluarga besar.

Share

96. Kumpul keluarga besar.

Penulis: Desti Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Kenapa Ma? Kenapa Mama Zalia melihat aku seperti itu?" tanya Wawan. Mungkin ia mulai risih melihat tatapan mataku yang mulai intens melihatnya. Aku memang menyuruh Iwan memanggilku dengan sebutan Mama. Karena pada dasarnya, ia memang anakku, anak dari kakakku.

"Mas jadi cemburu, kalau kamu menatap Wawan seperti itu," lontar suamiku sambil memasang raut cemberut. Seketika aku tertawa mendengarnya. Mungkin bagi orang lain perkataan itu terdengar romantis. Namun serasa menggelitik di telingaku.

"Ya elah, Papa. Sudah sama-sama tua aja, sok cemburu-cemburuan," ledek Tita. Mata mas Herman melebar mendengar ucapan putri kecilnya yang sedang mengejek dirinya itu.

"Namanya juga sayang," balasnya santai. Mas Herman tertawa riang. Aku tahu ia hanya bercanda mengucapkan itu, karena ia tahu dengan pasti cerita tentang keberadaan Wawan di keluarga ini.

Tak ada yang aku sembunyikan dari suamiku. Bahkan status Wawan yang sebenarnya pun ia juga mengetahuinya bahkan sebelum kami menikah. Waktu itu ak
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Batas kesabaran seorang istri!   97. Kedatangan Mbak Zahra.

    "Zalia! Lihat ada siapa yang datang itu? Jika orang asing, suruh pulang! Jika fakir miskin, berikan dia sumbangan!" cetus Ibu kasar seakan tak mau menoleh ke arahnya. Membuat kami semua tersentak kaget."Mbak Zahra?" gumamku."Nyonya! Kenapa tidak menunggu saya?" Seseorang tiba-tiba datang di sebelah Mbak Zahra. Seorang gadis muda. Fitri namanya. Umur Fitri sekitar 22 tahun. Gadis itu bekerja sebagai perawat Mbak Zahra. Mas Hadi meninggal tiga tahun yang lalu, ia meninggal dalam kecelakaan saat perjalanan pulang dari toko bersama Mbak Zahra. Sejak meninggalnya Mas Hadi, sifat Mbak Zahra berubah drastis. Ia lebih banyak diam dan mengalah, tak seperti dulu yang temperamental dan sombong. Seperti kata pepatah, saat terjatuh, kita baru menyadari kalau jalan yang kita ambil salah. Sedangkan Ibu, tak tahu apa yang terjadi dengan Ibu? Sejak dua tahun kepindahan Wawan dan Paman Ja'far. Tepatnya saat Ibu baru pulang dari Jawa, sikap Ibu sedikit aneh terhadapku. Sedangkan dengan Mbak Zahra.

  • Batas kesabaran seorang istri!   98. Kesendirian dihari tua.

    Pov. Zahra"Kita mau ke mana, Nyonya?" tanya Udin. Supirku. Sudah hampir dua jam kami berputar-putar tiada henti. Sudah seperti gasing yang berputar tak tentu arah. Mungkin Udin pun sudah jengah."Ke taman kota saja!" jawabku singkat. Aku menatap ke arah jendela mobil. Menatap lalu lalang kendaraan roda dua dan roda empat yang berseliweran.Sesampainya di taman kota, hari sudah mulai sore. Suara azan Ashar pun berkumandang dari toa mushola yang tak jauh dari taman ini. Aku memilih duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon. Fitri duduk di sebelahku. Aku tahu ia menatapku dengan tatapan Iba, dan aku tak suka itu. Aku tak suka dikasihani walau kenyataannya hidup memang menyedihkan.Setelah habis Ashar, taman mulai ramai. Awalnya hanya beberapa orang. Kini satu persatu orang-orang pada berdatangan. Mereka datang membawa pasangannya. Ada ibu-ibu yang datang bersama putra dan putrinya mereka. Seorang pemuda bermain sepeda bersama teman-temannya. Serta suami siaga yang mengantarkan is

  • Batas kesabaran seorang istri!   99. Pahitnya kesendirian Zahra.

    Sibuk? Tidak bisakah mereka menyempatkan barang sebentar saja untuk menerima telpon Nyonya. Sudah hampir dua tahun, anak-anak Nyonya tidak berkunjung untuk melihat Nyonya. Bahkan menelpon pun enggan," ujar Fitri membuat hatiku semakin nyeri.Ya Tuhan. Inikah karma yang aku terima atas kesalahanku di masa lalu. Suasana taman yang tenang dan ramai. Namun hatiku kesepian dan sunyi.Seperti seekor burung Pipit yang terkurung di kandang, menatap iri serta takjub pada burung-burung lain yang terbang bebas di angkasa."Sudah Nyonya. Jangan sedih, masih ada Fitri dan si Mbok. Nyonya nggak sendirian, kok!" hibur gadis manis ini padaku. Aku berusaha tersenyum menutupi hatiku yang meringis pilu."Ayo kita pulang Fitri! Antarkan saya ke rumah. Saya mau istirahat," ujarku. Aku menatap lembut gadis itu. Fitri mengangguk paham. Fitri mulai memapah aku ke mobil. Keberadaannya membuatku sangat terbantu. Andai tak ada Fitri, entah siapa yang akan sudi mengurusku?Sepanjang perjalanan lagi-lagi aku te

  • Batas kesabaran seorang istri!   100. Musibah yang menerpa.

    Pov. FitriGelegar!Petir ini menyambar-nyambar seakan bumi ini sedang murka. Aku sampai bergidik ngeri melihatnya. Jujur aku tak suka tinggal di rumah mewah ini. Rumah ini besar dan mewah, namun seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Tidak seperti rumahku yang kecil dan hangat. Jika seperti ini, aku jadi rindu pada Ibu dan Bapakku di kampung.Aku merantau ke kota ini demi membiayai hidup kedua orang tuaku. Bapakku yang sudah tua, sudah tak memungkin kan untuk bekerja, sedangkan adikku Minah masih duduk di bangku sekolah menengah atas.Untung saja aku bertemu dengan seorang teman dan mengajakku untuk ke kota ini. Mbak Wati namanya. Berkat ia juga, aku mendapatkan pekerjaan ini. Merawat Bu Zahra yang baru habis kecelakaan. Awal-awal aku kesulitan dengan pekerjaanku ini, ditambah tempramen Ibu Zahra yang sering naik turun membuat aku sering mendapat cacian dan makinya.Demi Ibu dan Bapak aku bertahan. Aku mencoba mengerti, mungkin beliau seperti itu karena baru habis kehilangan suami yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   101. Menelpon keluarga Zahra.

    "Mang! Mang Udin! Bangun Mang!"Dor! Dor! Dor!Aku memukul pintu Mang Udin dengan kuat. Berharap pria itu cepat bangun dan membukakan pintu. Apa yang terjadi? Kenapa Nyonya Zahra bisa seperti itu?Apa ada seseorang yang datang dan ingin membunuhnya?Berbagai pertanyaan berkelebat di kepalaku saat ini. Karena begitu ketakutan air mataku pun keluar membanjiri pipi. Keringat dingin dengan tubuh gemetar. Lagi-lagi aku memanggil Mang Udin dengan kencang sambil menggedor pintunya kuat.Aku berharap Tuhan sedikit berbaik hati untuk membuat hujan dan petir ini sedikit mereda, agar suaraku yang kecil tak hilang oleh kuatnya deras hujan."Mang! Mang Udinnnn!" Setelah bersusah payah berteriak, akhirnya Mang Udin membukakan pintu kamarnya. Pria itu bangun dengan kain sarung yang melilit tubuh bagian bawah. Sedangkan tangannya sibuk memasangkan kaos ke badan."Ada apa Neng Fitri? Kenapa malam-malam ini datang ke kamar Mamang sambil berteriak-teriak?" tanya Mang Udin heran. Matanya yang masih mera

  • Batas kesabaran seorang istri!   102. Fitri dimarah Randi.

    Lama aku menunggu sambungan telpon Mbak Nabila, putri Bungsu Nyonya Zahra. Mungkin saja karena masih jam 4 pagi, bisa jadi mereka masih tertidur dengan nyenyak.Lama hati ini menunggu dengan gelisah, hingga panggilan kelima tak jua diangkatnya.Aku menatap ponselku sekali lagi, membuka kontak yang ada dan menekan nomor yang lainnya. Kali ini aku menekan nomor Bu Zalia. "Assalamualaikum," jawab Bu Zalia dari seberang sana. Tak menunggu lama, hanya dua kali panggilan saja, beliau langsung menyahut. Suaranya yang jernih terasa begitu adem di hati. Sepertinya Bu Zalia mau sholat subuh. Makanya beliau langsung cepat mengangkatnya, karena ia sudah bangun juga kan."Waalaikum salam. Bu ini saya Fitri, perawatnya Nyonya Zahra," ujarku. "Fitri? Ada apa kamu menelpon Ibu subuh-subuh begini?" tanya Bu Zalia heran. Terasa dari intonasi nada suaranya."Bu ... bisakah Ibu Zalia sekeluarga ke rumah sakit segera, Bu. Nyonya Zahra, Bu ..." aku kembali menangis mengingat kejadian yang menimpa tuank

  • Batas kesabaran seorang istri!   103. Gerimis yang menerpa hati.

    Terasa sakit sekali hati ini mendengarnya. Mendengar ucapannya yang kasar. Aku memang pelayan, tapi tidak bisakah ia berlaku sedikit sopan padaku. Aku bukan budak Belian pada zaman nabi yang bisa ia perlakukan seenaknya. Aku ingin melawan. Namun, ancaman yang keluar dari mulutnya membuat nyaliku langsung ciut."Bukan begitu tuan, semalam hujan lebat dan saya ...,""Sayang! Kamu menelpon siapa, lama sekali. Ayo kita lakukan lagi," ujar wanita dari seberang sana manja. Suaranya yang lembut dan mendayu-dayu membuatku berpikiran negatif. Seorang lelaki dan wanita dalam satu ruangan yang sama, di jam seperti ini? Ayo kita lakukan lagi? Memangnya mereka akan melakukan apa? Aku rasa semua itu cukup menjelaskan padaku apa yang sedang terjadi diantara mereka. "Iya sayang, tunggu sebentar, ya!" Cup.Balas Tuan Rendy dengan sebuah kecupan yang terdengar samar-samar dari dalam ponsel. Membuatku jijik mendengarnya."Kamu rawat Mama saya dengan baik. Saya berada di luar kota dan masih ada urusan

  • Batas kesabaran seorang istri!   104. Kabar yang mengejutkan.

    Azan subuh berkumandang begitu merdu. Aku yang sudah mengambil air wudhu sudah siap untuk menunaikan tugasku, melapor pada sang pencipta. Menyampaikan apa yang aku lalui dan berterima kasih dengan apa yang aku dapatkan. Tak jarang banyaknya keluh kesah yang aku sampaikan. Namun Tuhan seolah tak pernah lelah memberikan nikmatnya padaku Saat sholat aku sedikit terganggu dengan getar ponselku yang bergema. Namun aku abaikan, kewajibanku terhadap sang Pencipta itu lebih penting. Hingga aku menyelesaikan sholat pun getar ponsel itu masih saja berbunyi. Masih dengan mengenakan mukena yang terpasang di tubuhku ini. Aku meraih ponsel yang bergetar itu dengan dahi yang berkerut, merasa tak kenal dengan sang penelpon. Sebuah nomor baru masuk kedalam ponselku. Aku merasa tak mengenal nomor ini. Hanya saja, entah kenapa hati kecilku menyuruh untuk mengangkatnya. Lagi pula siapa juga yang menelpon subuh-subuh begini jika tidak karena ada sesuatu yang penting."Assalamualaikum," ujarku sopan.

Bab terbaru

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

  • Batas kesabaran seorang istri!   147. Mengenang alm. Bapak

    Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   146. Sinta membuat masalah

    “Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   145. Sinta yang Iri (season 2)

    Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud

DMCA.com Protection Status