Home / Pernikahan / Batas kesabaran seorang istri! / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of Batas kesabaran seorang istri!: Chapter 91 - Chapter 100

153 Chapters

91. Menghembuskan nafas terakhir.

Ibu dan polisi itu mulai keluar meniggalkan ruangan ini. Namun Zalia, ia tidak juga bergerak dari tempatnya. Berdiri di bawah kakiku."Dek, tak ... tak bisakah, kamu mendekat padaku?" pintaku dengan lirih. Sekuat tenaga aku menahan sesak ini, agar bisa berbicara dengan lancar. Aku ingin ia berada di sisiku untuk terakhir kaliku. Zalia menghela napas dalam. Ia melangkahkan kakinya berpindah ke sampingku. Tapi tetap saja ia memberikan jarak yang cukup jauh diantara kami. Hingga ia tak dapat aku gapai. Membuatku kecewa, tapi aku tak bisa menyalahkannya. Tentu dia jijik dekat denganku yang penyakitan ini. Walau aku ingin sekali memegang tangannya, sambil meminta maaf atas semua yang telah aku perbuat padanya."Dek! Tak–tak bisa–kah kamu berdiri tepat ... di–disebelahku!" ujarku. Napas ini kembali naik turun dengan cepat tanpa henti. Aku merasa pasokan oksigen yang masuk lewat selang ini, tak cukup memenuhi pasokan oksigen di paru-paruku."Aku disini saja, Mas. Katakanlah apa yang ingin k
last updateLast Updated : 2022-07-21
Read more

92. Bukan salahku.

Mas Yudha tertawa seperti orang gila. Saat aku mengatakan jika kami sudah bercerai. Ia juga sempat beberapa kali memintaku untuk mendekat dengannya. Namun aku tak punya keberanian untuk mendekat, hatiku juga enggan untuk melakukan itu. Ada rasa kecewa di dalam dasar hati ini."Tidak Zalia. Aku tak mau ber–bercerai! Tidak!" teriaknya. Dengan tangan yang lemah dan gemetaran. Tangan itu terulur berusaha menggapaiku. Namun aku tak sedikit pun bergeming. Aku terkejut, langkah kakiku Mundur ke belakang. Saat Mas Yudha mencopot dengan kasar selang infus yang terpasang di tangannya. Membuat punggung tangannya mengeluarkan sedikit darah. Lalu ia melepas selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Membuat dirinya kesusahan bernapas. Aku ingin menolong, tapi aku takut. Minimnya pengetahuan tentang ilmu kedokteran, sehingga aku tak tahu apa-apa yang di maksud dengan penyakit H*V, yang aku tahu itu adalah penyakit menular. Membuatku semakin enggan mendekat dengannya.Mas Yudha tampak mulai berg
last updateLast Updated : 2022-07-22
Read more

93. Aku juga permata di mata orang tuaku.

"Saat Ibu begitu mencintai anak-anak Ibu, dan memperlakukan mereka seperti layaknya barang beharga. Maka begitu juga aku di mata orang tuaku. Mereka membesarkanku dengan kasih sayang, memberikan kehidupan yang layak. Lalu atas dasar apa kalian justru menjadikanku budak penghasil uang untuk kalian. Hah! Saat keinginan kalian tidak terpenuhi, kalian justru menyakitiku dengan cara yang begitu sadis. Ibu pikir aku tak tahu, apa yang Ibu dan putra Ibu lakukan, hanya untuk membuatku patuh dan tunduk di kaki kalian. Jika Mas Yudha meninggal seperti ini dengan penyakit yang aku sendiri tak tahu ia dapat dari mana? Entah berapa banyak j*lang di luaran sana yang ia sentuh, hingga ia mengidap penyakit itu? Aku tak tahu. Lalu kenapa aku yang ibu persalahkan!" sungutku, mengutarakam semua uneg-uneg yang tersimpan di hati ini."Seharusnya ibu salahkan diri Ibu. Didikan apa yang Ibu berikan, hingga putra Ibu semasa hidup hanya menjadi beban Istri. Saat mati pun, bukannya bertobat tapi justru bergeli
last updateLast Updated : 2022-07-22
Read more

94. Kisah hidup yang terus berlanjut.

Setelah meninggalnya Mas Yudha. Kesedihan meliputiku selama beberapa bulan. Walau bagaimanapun ia dulu pernah menjadi bagian dari hidupku. Ayah dari anakku. Jujur aku tak menyangka takdir hidupnya akan seperti ini. Namun setelah itu hari-hari berjalan begitu saja tak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Ibu dan Rika pergi entah kemana. Dari kabar yang aku dengar, setelah putranya itu meninggal, Ibu menjadi sedikit tidak waras. Membuat Rika terpaksa menitipkan ibunya kerumah sakit jiwa.Wajar saja jika seorang Ibu menjadi gila larena kepergian putra satu-satunya, namun yang tak habis pikir. Putri kesayangan Ibu yang selalu di manja dan dibela-belain mati-matian kini justru meninggalkannya begitu saja di rumah sakit jiwa. Sedangkan Rika yang tak bisa apa-apa lebih memilih hidup menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup dan memenuhi gengsinya. Nauzubillah min zalik. Begitu mudah ia menggadaikan harga dirinya hanya untuk lembaran uang. Padahal diluar sana masih banyak pekerjaan
last updateLast Updated : 2022-07-23
Read more

95. Mereka yang kembali.

Hari yang dinantikan akhirnya tiba, kami semua menyiapkan penyambutan kedatangan Paman Ja'far, Bibi dan Wawan dengan begitu lengkap. Namun diantara kami semua, ada Ibu yang paling antusias dengan tubuhnya yang sepuh. Alhamdulilah, walau tubuh Ibu rentan dan memiliki penyakit jantung. Namun Ibu masih berumur panjang hingga saat kini. Justru tampak semakin sehat dengan kabar kepulangan adik dan cucu yang tidak ia ketahui itu.Melihat ibu yang berjalan tertatih dengan tongkatnya, aku segera menghampiri. "Ada apa, Bu? Kenapa Ibu keluar kamar. Jika Ibu butuh sesuatu, Ibu bisa panggil Zalia lewat ponsel yang ada di tangan Ibu," ujarku khawatir. Kakinya sering mengalami ngilu karena rematik dan asam urat akut yang dideritanya. Tubuh Ibu sudah tak memungkinkan lagi untuk ia keluar masuk kamarnya dengan leluasa. Selain menggunakan kursi roda. Namun hari ini, ia meninggalkan kursi rodanya dan bergerak dengan tongkatnya. "Tidak Zalia. Ibu mau menunggu kedatangan Paman dan Bibimu di ruang tamu
last updateLast Updated : 2022-07-23
Read more

96. Kumpul keluarga besar.

"Kenapa Ma? Kenapa Mama Zalia melihat aku seperti itu?" tanya Wawan. Mungkin ia mulai risih melihat tatapan mataku yang mulai intens melihatnya. Aku memang menyuruh Iwan memanggilku dengan sebutan Mama. Karena pada dasarnya, ia memang anakku, anak dari kakakku."Mas jadi cemburu, kalau kamu menatap Wawan seperti itu," lontar suamiku sambil memasang raut cemberut. Seketika aku tertawa mendengarnya. Mungkin bagi orang lain perkataan itu terdengar romantis. Namun serasa menggelitik di telingaku."Ya elah, Papa. Sudah sama-sama tua aja, sok cemburu-cemburuan," ledek Tita. Mata mas Herman melebar mendengar ucapan putri kecilnya yang sedang mengejek dirinya itu."Namanya juga sayang," balasnya santai. Mas Herman tertawa riang. Aku tahu ia hanya bercanda mengucapkan itu, karena ia tahu dengan pasti cerita tentang keberadaan Wawan di keluarga ini. Tak ada yang aku sembunyikan dari suamiku. Bahkan status Wawan yang sebenarnya pun ia juga mengetahuinya bahkan sebelum kami menikah. Waktu itu ak
last updateLast Updated : 2022-07-23
Read more

97. Kedatangan Mbak Zahra.

"Zalia! Lihat ada siapa yang datang itu? Jika orang asing, suruh pulang! Jika fakir miskin, berikan dia sumbangan!" cetus Ibu kasar seakan tak mau menoleh ke arahnya. Membuat kami semua tersentak kaget."Mbak Zahra?" gumamku."Nyonya! Kenapa tidak menunggu saya?" Seseorang tiba-tiba datang di sebelah Mbak Zahra. Seorang gadis muda. Fitri namanya. Umur Fitri sekitar 22 tahun. Gadis itu bekerja sebagai perawat Mbak Zahra. Mas Hadi meninggal tiga tahun yang lalu, ia meninggal dalam kecelakaan saat perjalanan pulang dari toko bersama Mbak Zahra. Sejak meninggalnya Mas Hadi, sifat Mbak Zahra berubah drastis. Ia lebih banyak diam dan mengalah, tak seperti dulu yang temperamental dan sombong. Seperti kata pepatah, saat terjatuh, kita baru menyadari kalau jalan yang kita ambil salah. Sedangkan Ibu, tak tahu apa yang terjadi dengan Ibu? Sejak dua tahun kepindahan Wawan dan Paman Ja'far. Tepatnya saat Ibu baru pulang dari Jawa, sikap Ibu sedikit aneh terhadapku. Sedangkan dengan Mbak Zahra.
last updateLast Updated : 2022-07-24
Read more

98. Kesendirian dihari tua.

Pov. Zahra"Kita mau ke mana, Nyonya?" tanya Udin. Supirku. Sudah hampir dua jam kami berputar-putar tiada henti. Sudah seperti gasing yang berputar tak tentu arah. Mungkin Udin pun sudah jengah."Ke taman kota saja!" jawabku singkat. Aku menatap ke arah jendela mobil. Menatap lalu lalang kendaraan roda dua dan roda empat yang berseliweran.Sesampainya di taman kota, hari sudah mulai sore. Suara azan Ashar pun berkumandang dari toa mushola yang tak jauh dari taman ini. Aku memilih duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon. Fitri duduk di sebelahku. Aku tahu ia menatapku dengan tatapan Iba, dan aku tak suka itu. Aku tak suka dikasihani walau kenyataannya hidup memang menyedihkan.Setelah habis Ashar, taman mulai ramai. Awalnya hanya beberapa orang. Kini satu persatu orang-orang pada berdatangan. Mereka datang membawa pasangannya. Ada ibu-ibu yang datang bersama putra dan putrinya mereka. Seorang pemuda bermain sepeda bersama teman-temannya. Serta suami siaga yang mengantarkan is
last updateLast Updated : 2022-07-24
Read more

99. Pahitnya kesendirian Zahra.

Sibuk? Tidak bisakah mereka menyempatkan barang sebentar saja untuk menerima telpon Nyonya. Sudah hampir dua tahun, anak-anak Nyonya tidak berkunjung untuk melihat Nyonya. Bahkan menelpon pun enggan," ujar Fitri membuat hatiku semakin nyeri.Ya Tuhan. Inikah karma yang aku terima atas kesalahanku di masa lalu. Suasana taman yang tenang dan ramai. Namun hatiku kesepian dan sunyi.Seperti seekor burung Pipit yang terkurung di kandang, menatap iri serta takjub pada burung-burung lain yang terbang bebas di angkasa."Sudah Nyonya. Jangan sedih, masih ada Fitri dan si Mbok. Nyonya nggak sendirian, kok!" hibur gadis manis ini padaku. Aku berusaha tersenyum menutupi hatiku yang meringis pilu."Ayo kita pulang Fitri! Antarkan saya ke rumah. Saya mau istirahat," ujarku. Aku menatap lembut gadis itu. Fitri mengangguk paham. Fitri mulai memapah aku ke mobil. Keberadaannya membuatku sangat terbantu. Andai tak ada Fitri, entah siapa yang akan sudi mengurusku?Sepanjang perjalanan lagi-lagi aku te
last updateLast Updated : 2022-07-25
Read more

100. Musibah yang menerpa.

Pov. FitriGelegar!Petir ini menyambar-nyambar seakan bumi ini sedang murka. Aku sampai bergidik ngeri melihatnya. Jujur aku tak suka tinggal di rumah mewah ini. Rumah ini besar dan mewah, namun seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Tidak seperti rumahku yang kecil dan hangat. Jika seperti ini, aku jadi rindu pada Ibu dan Bapakku di kampung.Aku merantau ke kota ini demi membiayai hidup kedua orang tuaku. Bapakku yang sudah tua, sudah tak memungkin kan untuk bekerja, sedangkan adikku Minah masih duduk di bangku sekolah menengah atas.Untung saja aku bertemu dengan seorang teman dan mengajakku untuk ke kota ini. Mbak Wati namanya. Berkat ia juga, aku mendapatkan pekerjaan ini. Merawat Bu Zahra yang baru habis kecelakaan. Awal-awal aku kesulitan dengan pekerjaanku ini, ditambah tempramen Ibu Zahra yang sering naik turun membuat aku sering mendapat cacian dan makinya.Demi Ibu dan Bapak aku bertahan. Aku mencoba mengerti, mungkin beliau seperti itu karena baru habis kehilangan suami yan
last updateLast Updated : 2022-07-25
Read more
PREV
1
...
89101112
...
16
DMCA.com Protection Status