Home / Pernikahan / Batas kesabaran seorang istri! / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of Batas kesabaran seorang istri!: Chapter 101 - Chapter 110

153 Chapters

101. Menelpon keluarga Zahra.

"Mang! Mang Udin! Bangun Mang!"Dor! Dor! Dor!Aku memukul pintu Mang Udin dengan kuat. Berharap pria itu cepat bangun dan membukakan pintu. Apa yang terjadi? Kenapa Nyonya Zahra bisa seperti itu?Apa ada seseorang yang datang dan ingin membunuhnya?Berbagai pertanyaan berkelebat di kepalaku saat ini. Karena begitu ketakutan air mataku pun keluar membanjiri pipi. Keringat dingin dengan tubuh gemetar. Lagi-lagi aku memanggil Mang Udin dengan kencang sambil menggedor pintunya kuat.Aku berharap Tuhan sedikit berbaik hati untuk membuat hujan dan petir ini sedikit mereda, agar suaraku yang kecil tak hilang oleh kuatnya deras hujan."Mang! Mang Udinnnn!" Setelah bersusah payah berteriak, akhirnya Mang Udin membukakan pintu kamarnya. Pria itu bangun dengan kain sarung yang melilit tubuh bagian bawah. Sedangkan tangannya sibuk memasangkan kaos ke badan."Ada apa Neng Fitri? Kenapa malam-malam ini datang ke kamar Mamang sambil berteriak-teriak?" tanya Mang Udin heran. Matanya yang masih mera
last updateLast Updated : 2022-07-27
Read more

102. Fitri dimarah Randi.

Lama aku menunggu sambungan telpon Mbak Nabila, putri Bungsu Nyonya Zahra. Mungkin saja karena masih jam 4 pagi, bisa jadi mereka masih tertidur dengan nyenyak.Lama hati ini menunggu dengan gelisah, hingga panggilan kelima tak jua diangkatnya.Aku menatap ponselku sekali lagi, membuka kontak yang ada dan menekan nomor yang lainnya. Kali ini aku menekan nomor Bu Zalia. "Assalamualaikum," jawab Bu Zalia dari seberang sana. Tak menunggu lama, hanya dua kali panggilan saja, beliau langsung menyahut. Suaranya yang jernih terasa begitu adem di hati. Sepertinya Bu Zalia mau sholat subuh. Makanya beliau langsung cepat mengangkatnya, karena ia sudah bangun juga kan."Waalaikum salam. Bu ini saya Fitri, perawatnya Nyonya Zahra," ujarku. "Fitri? Ada apa kamu menelpon Ibu subuh-subuh begini?" tanya Bu Zalia heran. Terasa dari intonasi nada suaranya."Bu ... bisakah Ibu Zalia sekeluarga ke rumah sakit segera, Bu. Nyonya Zahra, Bu ..." aku kembali menangis mengingat kejadian yang menimpa tuank
last updateLast Updated : 2022-07-27
Read more

103. Gerimis yang menerpa hati.

Terasa sakit sekali hati ini mendengarnya. Mendengar ucapannya yang kasar. Aku memang pelayan, tapi tidak bisakah ia berlaku sedikit sopan padaku. Aku bukan budak Belian pada zaman nabi yang bisa ia perlakukan seenaknya. Aku ingin melawan. Namun, ancaman yang keluar dari mulutnya membuat nyaliku langsung ciut."Bukan begitu tuan, semalam hujan lebat dan saya ...,""Sayang! Kamu menelpon siapa, lama sekali. Ayo kita lakukan lagi," ujar wanita dari seberang sana manja. Suaranya yang lembut dan mendayu-dayu membuatku berpikiran negatif. Seorang lelaki dan wanita dalam satu ruangan yang sama, di jam seperti ini? Ayo kita lakukan lagi? Memangnya mereka akan melakukan apa? Aku rasa semua itu cukup menjelaskan padaku apa yang sedang terjadi diantara mereka. "Iya sayang, tunggu sebentar, ya!" Cup.Balas Tuan Rendy dengan sebuah kecupan yang terdengar samar-samar dari dalam ponsel. Membuatku jijik mendengarnya."Kamu rawat Mama saya dengan baik. Saya berada di luar kota dan masih ada urusan
last updateLast Updated : 2022-07-27
Read more

104. Kabar yang mengejutkan.

Azan subuh berkumandang begitu merdu. Aku yang sudah mengambil air wudhu sudah siap untuk menunaikan tugasku, melapor pada sang pencipta. Menyampaikan apa yang aku lalui dan berterima kasih dengan apa yang aku dapatkan. Tak jarang banyaknya keluh kesah yang aku sampaikan. Namun Tuhan seolah tak pernah lelah memberikan nikmatnya padaku Saat sholat aku sedikit terganggu dengan getar ponselku yang bergema. Namun aku abaikan, kewajibanku terhadap sang Pencipta itu lebih penting. Hingga aku menyelesaikan sholat pun getar ponsel itu masih saja berbunyi. Masih dengan mengenakan mukena yang terpasang di tubuhku ini. Aku meraih ponsel yang bergetar itu dengan dahi yang berkerut, merasa tak kenal dengan sang penelpon. Sebuah nomor baru masuk kedalam ponselku. Aku merasa tak mengenal nomor ini. Hanya saja, entah kenapa hati kecilku menyuruh untuk mengangkatnya. Lagi pula siapa juga yang menelpon subuh-subuh begini jika tidak karena ada sesuatu yang penting."Assalamualaikum," ujarku sopan.
last updateLast Updated : 2022-07-31
Read more

105. Penyesalan Zahra.

Sesampainya di rumah sakit aku langsung berjalan menuju meja resepsionis. Menanyakan letak ruangan Mbak Zahra pada seorang perawat yang bertugas di sana. Setelah mendapatkan informasi dari resepsionis rumah sakit tersebut. Aku langsung menyusuri lorong panjang yang menghubungkan aku, menuju ruang operasi tempat Mbak Zahra ditangani. Sesampainya di depan ruang operasi, aku kembali dibuat bingung. Pasalnya ada beberapa orang yang menunggu di depan pintu operasi yang masih menyala dan berwarna merah. Namun tak ada satu pun dari mereka yang aku kenal."Suster. Apa Ibu Zahra masih di dalam ruang operasi?" tanyaku pada suster yang baru saja lewat."Bu Zahra Ayudia?" tanya suster memastikan."Benar Sus," jawabku singkat. Napasku sudah naik turun tak beraturan. "Ada di ruang rawat Bu. Kamar VIP mawar. Apa Ibu keluarganya? Karena dokter tadi berpesan agar keluarga Ibu Zahra, menemui dokter segera," jelas Suster yang bertuliskan Dwi di dada. "Bisa antarkan saya ke dokter yang menangani Kakak
last updateLast Updated : 2022-08-17
Read more

106. Harapan atas kesembuhan Zahra.

Degh. Untuk pertama kalinya, setelah belasan tahun ia kembali memanggilku dengan panggilan akrab saat kami masih kecil dulu. Membuat hatiku terharu. Aku sangat merindukan kakakku yang dulu. Kakak yang lebih mementingkan diriku dari apa pun. Kakak yang selalu ada untukku saat aku digangguin oleh teman-temanku. Kenangan masa kecil itu selalu membuatku menjadi rindu. Andai waktu dapat diputar kembali. Aku sangat ingin kembali ke masa itu, walau hanya sejenak saja."Zalia, andai nanti Mbak mati lebih dulu. Mbak ingin kamu menjadi saksi dari wasiat Mbak ini. Jika Mbak pergi nanti, kontrakan sepuluh pintu itu menjadi milikmu. Rumah itu Mbak beli dari uang bulanan yang menjadi hakmu. Walau tidak seluruh bangunan itu dari uangmu, tapi itu sebagai penebus rasa bersalahku padamu. Mbak mohon terima semua itu, Dek. Dan satu pinta Mbak padamu. Bisakah kamu mengabulkannya. Mbak mohon!" pintanya. Air mata terus membanjiri pipinya hingga membuat bantal yang ia kenakan ikut basah. "Jangan ngomong y
last updateLast Updated : 2022-08-17
Read more

107. Kedatangan putra tak dianggap.

"Bulek, kan sudah ada disana untuk menemani. Lalu apa lagi? Aku masih banyak kerjaan yang mesti aku selesaikan. Jadi belum bisa untuk datang ke rumah sakit dalam waktu dekat ini. Jadi tolong bulek saja yang mengurus Mama. Masalah uang perawatan dan sebagainya, nanti aku tranfer langsung. Sudah dulu ya, Bulek. Aku sudah di tunggu klien," ucap Rendy terburu-buru mematikan sambungan telponnya. Lagi-lagi membuat aku mengelus dada. Rendy termasuk lelaki yang sombong dan berkata kasar. Perkataannya pun selalu keluar begitu saja tanpa di saring filter terlebih dahulu. Sangat tak mencerminkan tingkah laku seorang pria berpendidikan. Walau aku akui, dalam bisnis ia adalah pembisnis handal. Di usianya yang sudah cukup untuk menikah. Rendy masih sendiri. Berpetualang cinta dari satu pelukan wanita ke pelukan wanita yang lain. Hanya menambah dosa maksiat saja. Aku kembali menghela napas. Tanganku mulai menekan beberapa angka kembali. Menelpon ke nomor Nabila. "Hallo siapa ini?" tanyanya dari
last updateLast Updated : 2022-08-17
Read more

108. Kasih sayang Iwan pada Zahra.

Iwan berjalan mendekat ke arah jendela. Mengintip Mbak Zahra dari balik kaca yang hordengnya tersibak sedikit itu. Tampaklah Mbak Zahra yang terbaring dengan selang oksigen tertancap di hidungnya. Bunyi alat detak jantung bergema di ruangan itu. Melihat Mbak Zahra yang terbaring tak berdaya seperti ini. Hati siapa yang tak sedih. Walau di balik itu banyak luka yang telah ia torehkan. Aku mendekati Iwan. Mengusap bahunya lembut Daan menatap ke arah objek yang ia tatap dengan pilu. "Iwan ... jika kamu mau masuk, masuk saja, Nak! Tak apa," ucapku padanya. Aku tahu, ia pasti ingin menemui Ibu kandungnya itu. Sekuat apa pun mengingkari. Namun ikatan batin itu tak pernah mengingkari. "Tidak Bu, aku hanya mampir sebentar saja. Karena menemani Bapak saja," ucapnya. Iwan menghindar dari tatapan mataku. "Pak ... aku berangkat lagi, ya. Nanti kalau bapak mau pulang, Bapak hubungi saja aku," pamitnya sambil meraih tangan paman Ja'far. Lalu beral
last updateLast Updated : 2022-08-18
Read more

109. Kondisi Zahra yang semakin memburuk.

Satu Minggu Mbak Zahra di rawat di rumah sakit ini. Tepat hari ke-tiga Mbak Zahra sadar dari komanya. Keadaannya saat itu sungguh sangat memprihatikan. Ia langsung menangis dalam pelukan Iwan saat membuka mata, wajah Iwan lah yang ia dapati lebih dulu. Sedangkan kedua anak kebanggaannya entah ke mana.Rendy dan Nabila hanya mampir sebentar melihat keberadaan ibunya. Setelah itu mereka memilih untuk pulang. Hingga kini tak muncul kembali. Banyak alasan yang mereka berikan. Sakit lah, sibuklah. Membuatku berulang kali beristighfar.Aku mendorong pintu pelan. Fitri menoleh ke arahku. Sedangkan Mbak Zahra Hanya diam memandang air yang jatuh dari jendela. Semakin lama rintik itu semakin pelan, menandakan bahwa hujan akan mereda. Menyisakan rasa dingin yang menusuk tulang serta genangan air. Daun-daun yang tersiram hujan tampak segar menggoda, setelah sekian lama lunglai kering kerontang serta gersang karena tak mendapatkan air yang cukup.Aku duduk di
last updateLast Updated : 2022-08-18
Read more

110. Tutup usia.

Tok! Tok! Tok!Pintu kamar Mbak Zahra terketuk. Aku dan dirinya melepas rangkulan kami dan menoleh ke arah pintu. Mbak Zahra mengusap air matanya. Fitri mendekat ke arah pintu. Dengan cepat tangan lentik dan panjangnya itu, menggenggam hendle pintu untuk membukanya. Seorang kurir dengan seragam ciri khas applikasi berbayar itu menyerahkan satu buah plastik yang cukup besar serta satu buket bunga lili putih. Aku terperangah melihat semua itu. Tanpa melihat siapa nama pengirimnya pun aku mengerti, nama siapa yang tertulis di kartu ucapannya. Fitri menyerahkan kartu ucapan itu pada Mbak Zahra. Sebaris kalimat membuat senyum di bibirnya terkembang serta air mata yang juga turut jatuh mengiringi. Aku tak tahu apa yang tertulis di sana. Karena setelah membacanya Mbak Zahra langsung memasukkan kartu ucapan itu ke dalam saku bajunya. Seperti sesuatu yang beharga yang harus langsung ia simpan. "Bu, ini? bunganya mau di letak dimana?" Tanya Fi
last updateLast Updated : 2022-08-18
Read more
PREV
1
...
910111213
...
16
DMCA.com Protection Status