Degh. Untuk pertama kalinya, setelah belasan tahun ia kembali memanggilku dengan panggilan akrab saat kami masih kecil dulu. Membuat hatiku terharu. Aku sangat merindukan kakakku yang dulu. Kakak yang lebih mementingkan diriku dari apa pun. Kakak yang selalu ada untukku saat aku digangguin oleh teman-temanku. Kenangan masa kecil itu selalu membuatku menjadi rindu. Andai waktu dapat diputar kembali. Aku sangat ingin kembali ke masa itu, walau hanya sejenak saja."Zalia, andai nanti Mbak mati lebih dulu. Mbak ingin kamu menjadi saksi dari wasiat Mbak ini. Jika Mbak pergi nanti, kontrakan sepuluh pintu itu menjadi milikmu. Rumah itu Mbak beli dari uang bulanan yang menjadi hakmu. Walau tidak seluruh bangunan itu dari uangmu, tapi itu sebagai penebus rasa bersalahku padamu. Mbak mohon terima semua itu, Dek. Dan satu pinta Mbak padamu. Bisakah kamu mengabulkannya. Mbak mohon!" pintanya. Air mata terus membanjiri pipinya hingga membuat bantal yang ia kenakan ikut basah. "Jangan ngomong y
"Bulek, kan sudah ada disana untuk menemani. Lalu apa lagi? Aku masih banyak kerjaan yang mesti aku selesaikan. Jadi belum bisa untuk datang ke rumah sakit dalam waktu dekat ini. Jadi tolong bulek saja yang mengurus Mama. Masalah uang perawatan dan sebagainya, nanti aku tranfer langsung. Sudah dulu ya, Bulek. Aku sudah di tunggu klien," ucap Rendy terburu-buru mematikan sambungan telponnya. Lagi-lagi membuat aku mengelus dada. Rendy termasuk lelaki yang sombong dan berkata kasar. Perkataannya pun selalu keluar begitu saja tanpa di saring filter terlebih dahulu. Sangat tak mencerminkan tingkah laku seorang pria berpendidikan. Walau aku akui, dalam bisnis ia adalah pembisnis handal. Di usianya yang sudah cukup untuk menikah. Rendy masih sendiri. Berpetualang cinta dari satu pelukan wanita ke pelukan wanita yang lain. Hanya menambah dosa maksiat saja. Aku kembali menghela napas. Tanganku mulai menekan beberapa angka kembali. Menelpon ke nomor Nabila. "Hallo siapa ini?" tanyanya dari
Iwan berjalan mendekat ke arah jendela. Mengintip Mbak Zahra dari balik kaca yang hordengnya tersibak sedikit itu. Tampaklah Mbak Zahra yang terbaring dengan selang oksigen tertancap di hidungnya. Bunyi alat detak jantung bergema di ruangan itu. Melihat Mbak Zahra yang terbaring tak berdaya seperti ini. Hati siapa yang tak sedih. Walau di balik itu banyak luka yang telah ia torehkan. Aku mendekati Iwan. Mengusap bahunya lembut Daan menatap ke arah objek yang ia tatap dengan pilu. "Iwan ... jika kamu mau masuk, masuk saja, Nak! Tak apa," ucapku padanya. Aku tahu, ia pasti ingin menemui Ibu kandungnya itu. Sekuat apa pun mengingkari. Namun ikatan batin itu tak pernah mengingkari. "Tidak Bu, aku hanya mampir sebentar saja. Karena menemani Bapak saja," ucapnya. Iwan menghindar dari tatapan mataku. "Pak ... aku berangkat lagi, ya. Nanti kalau bapak mau pulang, Bapak hubungi saja aku," pamitnya sambil meraih tangan paman Ja'far. Lalu beral
Satu Minggu Mbak Zahra di rawat di rumah sakit ini. Tepat hari ke-tiga Mbak Zahra sadar dari komanya. Keadaannya saat itu sungguh sangat memprihatikan. Ia langsung menangis dalam pelukan Iwan saat membuka mata, wajah Iwan lah yang ia dapati lebih dulu. Sedangkan kedua anak kebanggaannya entah ke mana.Rendy dan Nabila hanya mampir sebentar melihat keberadaan ibunya. Setelah itu mereka memilih untuk pulang. Hingga kini tak muncul kembali. Banyak alasan yang mereka berikan. Sakit lah, sibuklah. Membuatku berulang kali beristighfar.Aku mendorong pintu pelan. Fitri menoleh ke arahku. Sedangkan Mbak Zahra Hanya diam memandang air yang jatuh dari jendela. Semakin lama rintik itu semakin pelan, menandakan bahwa hujan akan mereda. Menyisakan rasa dingin yang menusuk tulang serta genangan air. Daun-daun yang tersiram hujan tampak segar menggoda, setelah sekian lama lunglai kering kerontang serta gersang karena tak mendapatkan air yang cukup.Aku duduk di
Tok! Tok! Tok!Pintu kamar Mbak Zahra terketuk. Aku dan dirinya melepas rangkulan kami dan menoleh ke arah pintu. Mbak Zahra mengusap air matanya. Fitri mendekat ke arah pintu. Dengan cepat tangan lentik dan panjangnya itu, menggenggam hendle pintu untuk membukanya. Seorang kurir dengan seragam ciri khas applikasi berbayar itu menyerahkan satu buah plastik yang cukup besar serta satu buket bunga lili putih. Aku terperangah melihat semua itu. Tanpa melihat siapa nama pengirimnya pun aku mengerti, nama siapa yang tertulis di kartu ucapannya. Fitri menyerahkan kartu ucapan itu pada Mbak Zahra. Sebaris kalimat membuat senyum di bibirnya terkembang serta air mata yang juga turut jatuh mengiringi. Aku tak tahu apa yang tertulis di sana. Karena setelah membacanya Mbak Zahra langsung memasukkan kartu ucapan itu ke dalam saku bajunya. Seperti sesuatu yang beharga yang harus langsung ia simpan. "Bu, ini? bunganya mau di letak dimana?" Tanya Fi
Tak ada yang tahu takdir kapan dan di mana seseorang akan di panggil menghadap Yang Maha Kuasa. Mau tua, muda ataupun belia. Mati itu pasti, dan tak dapat di ganggu gugat. Air mataku membanjiri pipi. Pemakaman mbak Zahra sudah selesai siang tadi. Kini kami semua sudah pulang ke rumah. Banyak para pelayat datang yang membantu masak dan menyiapkan berkat untuk tahlilan. Alhamdulillah dan tahlilan pun juga sudah selesai dengan sempurna. Tak ada yang kurang.Ibu yang mendengar kepergian putri sulungnya hanya terdiam di kamar. Walau diam, aku tahu. Saat ini hati Ibulah yang paling rapuh. Gurat-gurat kesedihan itu tampak kentara di wajah keriputnya. "Ma ... Mama makan dulu, ya! Sudah dari pagi tadi Mama belum makan apa-apa. Nanti Mama sakit," ujar Alia. Aku melirik dari sudut ekor mataku. Ia masuk ke dalam kamarku dengan sebuah nampan di tangannya. "Bawa pergi Nak! Mama tidak lapar. Bagaimana keadaan nenekmu? Apa kamu sudah menyiapkan makanannya?" "Nenek sama saja dengan Mama dan Kak I
Sepeninggalnya Mbak Zahra, rumah mewah yang ia tempati selama ini tampak sepi. Sudah hampir satu minggu kepergianya meninggalkan kami. Aku ditemani Iwan serta paman Ja'far datang ke rumah ini. Bukan tanpa sebab, karena Rendy dan Nabila sudah pada ribut meminta pembagian atas harta yang ditinggalkan oleh almarhumah. Siang ini, sesuai perkataan Pak Ilham–pengacara yang dipercaya Mbak Zahra–untuk mengurus semau tentang surat wasiat miliknya. "Anak pungut itu kenapa ada di sini, Pak? Apa urusannya dengan pembagian warisan ini?" ujar Rendy tak suka melihat kedatangan Iwan. "Tolong tenang! Saudara Iwan juga harus hadir dalam pembacaan surat wasiat ini. Ini merupakan pemintaan Almarhumah sebelum beliau meninggal. Silahkan duduk!" jelas Pak Ilham. Nabila menatap sinis pada Iwan. Sedangkan putraku itu hanya diam tak menanggapi. Aku menoleh ke arah Fitri yang berdiri tegak di samping Rendy. Gadis itu tampak risih harus berdiri disana. Sedangkan setiap gadis itu ingin beranjak pergi. Rendy
"Rumah besar yang saya tempati. Rumah yang penuh kenangan baik bahagia dan air mata. Saya hibahkan kepada Fitri Anjani, perempuan yang telah merawat saya dengan penuh kasih sayang dan tak pernah sedikit pun mengeluh. Sedangkan sisanya yaitu 40% yang meliputi, kebun sawit, saham tambang nikel yang ada di Sulawesi Selatan serta beberapa properti saya yang letaknya saaj jelaskan di dalam surat yang terlampir pada surat wasiat ini. Demikian lah surat wasiat yang saya buat dalam keadaan sesadar-sadarnya. Tanpa paksaan dan tanpa dorongan dari pihak manapun,"Brak!Randy memukul meja itu dengan keras. Membuat semua yang ada terkejut. "Tidak! Surat wasiat ini tidak sah. Ini tidak benar! Bagaimana mungkin pembantu yang hanya merawat Mama di berikan rumah besar ini dengan cuma-cuma. Lalu dia? Dia hanya anak pungut di keluarga ini, kenapa dia justru mendapatkan bagian lebih besar dari kami yang anak kandung?!" protes Rendy tak terima. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah wajah putraku. Sungguh ta
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud