Sepanjang perjalanan, wajah Iwan masih tampak kesal. Tapi entah kenapa bayangan wajah Fitri yang menatap kepergian kami dengan sedih tadi membuat aku kembali memikirkannya. Walau bagaimanapun ia seorang gadis yang tinggal sendirian di rumah sebesar itu. Tentu ada banyak bahaya yang menghantuinya. Sesampai di rumah aku berbicara pada Paman Ja'far dan Bibi Imas, tentang apa yang aku rasakan. Walau bagaimanapun aku juga memiliki dua orang anak gadis. Aku tahu bagaimana perasaan seorang ibu yang was-was pada putrinya. Begitupun orang tua Fitri di kampung. Setalah perundingan dan perbincangan yang pandang. Maka kami tiba di satu keputusan. Paman dan Bibi akan tinggal di rumah besar Mabuk Zahra sampai pada waktu yang tak dapat ditentukan.Memang secara hukum. Rumah itu sudah dihibahkan ke pada Fitri. Tapi melihat Rendy yang masih meradang dan menggebu-gebu dengan masalah pembagian yang menurutnya tidak adil. Tidak memungkinkan untuk Fitri menjual rumah itu dalam waktu dekat ini. Mau pin
Setelah mengantar Paman, Bi Imas dan Wawan. Aku dan Mas Herman pulang ke rumah. Mobil yang kami gunakan berjalan cepat membelah keramaian kota. Aku Daan suamiku mengobrol santai. Banyak yang kami obrolkan. Hingga di pertigaan simpang aku meminta Mas Herman untuk mengantarku ke toko sembako milik kami."Mas, nanti kita mampir ke toko bentar, ya! Ambil sembako, anak-anak toko juga udah aku kasih tahu, kok. Jadi kita tinggal ambil saja!" pintaku. Suamiku menganggukkan kepala sambil tersenyum. Setiap satu minggu sekali aku akan ke toko untuk mengontrolnya. Sedangkan sembako kebutuhan rumah, aku akan mengambilnya satu bulan sekali."Mas ... Mas, berhenti!" ujarku tiba-tiba. Untung saja Mas Herman orangnya nggak kagetan. Ia juga cekatan dalam berkendara. Jika tidak mungkin akan terjadi tabrakan beruntun saat ini.Mas Herman menepikan mobilnya di pinggir jalan. Sedangkan, dengan cepat melepaskan sabuk pengaman dan kelaur dari mobil."Mas kamu parkirkan mobil ini dulu, ya!" tanpa menjelaskan
POV. Iwan"Sini, Nak. Kamu duduk di sebelah Ibu," pinta ibuku. Wanita yang membesarkanku sejak kecil. Aku menarik kursi yang ada di sebelahnya. Di meja makan ini hanya ada kami bertiga. Nabila sudah berumah tangga. Ia tentu berada di rumahnya. Sedangkan Rendy. Aku tak tahu? Aku juga malas untuk menanyakannya. Dia pasti memilih sarapan di luar dari pada di meja makan dan bertemu denganku. Aku menatap ke arah Ibu. Wanita yang seharusnya aku panggil Nenek ini justru menjadi ibuku. Namun aku cukup bersyukur mendapatkan mereka sebagai orang tuaku. Setidaknya dengan kehadiran mereka. Aku bisa merasakan kasih sayang yang tulus. Bagai air yang membasahi hatiku yang gersang. Memberiku minum dari rasa dahaga. "Kamu kapan cuti, Wan?" tanya bapak. Aku yang sedang menyantap roti tawar pun menoleh. Aku terbiasa sarapan sesuatu yang tak berat. Agar perutku nyaman. "Untuk minggu-minggu ini belum ada Pak. Bapak kan tahu sendiri, aku baru di mutasikan di sini. Jadi masih banyak penyesuai lingkungan
Aku tak menyangka ternyata wanita muda ini begitu cantik. Dadaku berdetak dengan cepat. Aroma tubuhnya yang wangi serta rambut panjang yang tergerai indah. Membuat adanya genderang yang bertabuh. Setiap sentuhan jemarinya bagaikan listrik yang membuatku meremang. Aku menegang. Tubuhku terasa kaku. Bisa aku pastikan wajah ini pasti dengan memerah karena malu. Posisinya yang sedekat ini mungkin saja membuat ia menyadari bunyi jantungku yang berdetak dengan kuat. Membuatku semakin malu."Ok ... sudah siap Tuan. Dasi Anda sekarang sudah rapi." ucapnya membuatkan lamunanku. Aku harus aja melamun keluarga yang bahagia yang di ucapkan oleh Ibu tadi. Seorang istri yang mengantarkan suami kerja dengan senyuman manis. Merapikan dasinya dan mendapatkan hadiah sebuah kecupan mesra. Namun ternyata semua hanya hanyalanku belaka. Apa aku bisa mendapatkan wanita yang benar-benar mencintaiku. Dengan segala latar belakang hidupku. Aku tersenyum miris menyadarinya. Karena kebanyakan wanita yang mendek
"Buatkan saya kopi saja. Jangan terlalu manis!" Pintaku.Fitri mengangguk pelan. Wanita itu melenggang pergi ke arah dapur. Ia tidak berhijab malam ini. Rambut panjangnya tergerai indah. Memang ada kalanya wanita cantik itu membuka hijabnya saat di rumah. Namun ia selalu memakai pakaian yang begitu sopan hingga menutup semua auratnya. Entah kenapa ada rasa tak rela di hati ini melihat ia menjadi tontonan dan dikagumi lelaki lain. Apalagi di ruang ini tak hanya ada aku, tapi juga Rendy. Beberapa kali aku memergoki Rendy curi-curi pandang dengannya. Sebagai sesama laki-laki, tentu saja aku tahu betul arti tatapan mata itu. Tatapan kagum seoarang lelaki pada lawan jenis. Seperti tatapan mataku yang memandangnya saat ini. Aku tersenyum tipis mendengar ucapannya. Entah kenapa hati ini berbunga. Baru kali ini saat aku pulang kerja. Ada seseorang yang menyambutku. Menawarkan secangkir kopi untuk pelepas lelahku. Andai bisa setiap hari seperti ini!Keinginan untuk mem
"Tuan ... ini tas Anda," seru wanita cantik itu mengejar kepergianku hingga di ambang pintu. Aku memang sengaja lupa membawa tasku. Agar ia yang mengabilkannya untukku. Setelah ini, aku yakin dia melihat dasi yang aku kenakan dan merapikannya."Aku bilang apa padamu semalam, Fitri!"Fitri menoleh, memperhatikan sekitar. Ia menggigit bibirnya dengan wajah yang bersemu merah. sangat menggemaskan di mataku. Andai kami sudah muhrim, mungkin aku sudah khilaf mencium pipinya, atau mungkin bibirnya yang tampak menggoda itu."Maaf, Mm-mas," Ia menundukkan kepalanya. Aku tahu saat ini ia sedang malu. Karena Ibu menatap kami dari meja makan. "Terima kasih, sudah mengantarkan tasku," ujarku menghilangkan rasa canggung di antara kami. Fitri mengadahkan wajah menatapku. kuulas sebuah senyuman manis untuknya. Hal yang jarang aku lakukan pada wanita mana pun selain Ibuku."Tolong tundukan sedikit kepala, Mas," pintanya. Aku me
Sesampainya di kantor, aku menyelesaikan segudang pekerjaan yang tiada habisnya. Sambung menyambung bagaikan rel kereta yang tiada berputus serta bercabang ke mana-mana membuat pusing. Hanya wajah cantik di rumah yang membuatku bersemangat. "Hay ... Bro, aku lihat beberapa hari ini kamu tampak bahagia banget, tersenyum terus. Sebenarnya ada apa?" tanya Radit. Teman kantorku saat kami makan siang bareng. Lelaki ini selalu ingin tahu akan segala hal. Termasuk kehidupan pribadiku yang jarang aku ekspos."Memangnya kenapa? Apa aku tak boleh bahagia?" balasku. Bukannya menjawab, aku justru balik bertanya. "Bukannya gitu. Justru aku senang kalau kamu seperti ini. Bagi-bagi cerita dong, katakan siapa dia? Apa dia cantik?" desak Radit menyelidik. Seolah paham betul apa yang ada di dalam pikiranku."Dia siapa? Memangnya bahagia harus selalu tentang wanita?" elakku. Aku kembali menyeruput cappucino milikku dengan santai."Ayolah ... kita ini sama
"Apa kau serius? Memangnya tak ada wanita lain yang lebih sepadan dengan latar belakangmu, apa? Kenapa harus perawat itu?" ujar Arthur. Ekspresi apa itu. Wajahnya tampak seolah tak percaya dan sedikit merendahkan profesi yang di lakukan Fitri dulu. Aku tak suka, bukankah semua manusia di mata Tuhan itu sama."Apa kamu tak menyadari, beberapa hari ini wajahnya tampak begitu segar seperti bunga yang di sirami embun setiap pagi?" sindir Radit padaku. Aku hanya memutar bola mataku jengah."Aku lihat sih, tapi aku tak menyangka itu karena seorang gadis," balas Arthur. Mereka berdua terang-terangan sedang menyindir dan membicarakan aku seolah aku tak berada di hadapan mereka saja. Aku kembali meminum minumanku yang hampir habis di dalam gelasku. Suasana kantin ini yang tadi begitu ramai kini mulai berangsur-angsur berkurang. Para karyawan mulai kembali ke ruang kerja mereka masing-masing. Sedangkan kami bertiga justru masih asik mengobrol. Mengupas kehidupan pr
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud