Home / Pernikahan / Batas kesabaran seorang istri! / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Batas kesabaran seorang istri!: Chapter 61 - Chapter 70

153 Chapters

61. Dicampakkan suami.

"Berani sekali mereka menghinamu! Mereka pikir, mereka itu siapa!" ucap Ibu kesal dengan apa yang aku sampaikan. "Terus Yudha bagaimana? Apa dia ada di sana? Apa hidup senang di rumah mertuanya membuat dia lupa pada kita?" tanyanya. membuatku menghela napas lelah."Batang hidung Yudha bahkan tak tampak di sana! Anak Ibu itu hilang bak ditelan bumi.""Kok bisa? Memangnya adikmu ada di mana, Intan?" tanya Ibu cemas. Ibu ikut duduk di sebelahku. Wajahnya tampak gusar."Mana aku tahu. Kalau aku tahu, mungkin sudah aku pukuli Yudha hingga babak-belur!" balasku geram. Karena ulahnya sekarang aku menderita. Mobil sebentar lagi bakalan ditarik leasing. Ehh ... motor malah besok, bakal disita Mang Udin.Sial! Sial! Kenapa akhir-akhir ini hidupku sial sekali. "Kalau kamu tak dapat uang dari Zalia. Terus untuk membayar arisan Ibu sama Mpok Jum apa? Malu dong sama geng soksialitah Ibu. Jika Ibu ketahuan tak mampu membayar arisan yang hanya dua juta itu," keluh wanita tua yang telah melahirkanku
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more

62. Kebencian Intan.

Jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Namun aku sudah uring-uringan, semalam, sehabis menelpon, aku langsung bergegas ke rumah janda gatal itu. Dengan penuh emosi. aku juga mau menuntut nafkahku yang tak di berikan bulan ini. Namun tak kutemui Mas Norman dan janda gatal itu di tempat. Entah pergi ke mana mereka?Detik-detik Mang Udin kerumah ini sudah semakin dekat. Sedangkan Ibu. Pagi-pagi sekali ia keluar kamar membawa anakku tanpa menoleh sedikitpun padaku. Sejak pertengkaran semalam, tampaknya Ibu masih marah padaku. Malang nian nasibku ini, saat ada uang semua mendekat. Saat sengsara, menoleh saja tidak."Intan! Heyy ... Intan!" teriak Mang Udin dari depan pintu. Aku terkesiap kaget. Aku bingung harus mengahadapi Mang Udin. Aku keluar menemui Mang Udin. Aku meneguk ludahku susah payah, saat kudapati pria paruh baya itu menatap ke arahku dengan sangar. Ia datang ke sini dengan dua orang bodyguard suruhannya. Mang Udin terkenal dengan kekejamannya dalam menagih hutang.Barang sia
last updateLast Updated : 2022-07-06
Read more

63. Mulai terlihat belangnya.

Pov. IntanAku duduk termenung di ruang tamu. Meratapi nasib badan ini yang begitu menyedihkan. Suami diambil pelakor, mobil ditarik leasing dan motor pun, sudah di sita rentenir. Mau meminta tolong juga tak tahu harus pada siapa? Teman-teman yang selama ini selalu dekat denganku, kini pergi menjauh bak ditelan bumi. Setelah mereka menyadari diriku tak memiliki uang lagi. Bahkan Siska terang-terangan menghinaku, saat aku datang kerumahnya. Bermaksud meminjam uang padanya tempo hari sebelum berangkat ke rumah Zalia. Padahal aku tahu, ia baru saja mendapatkan kiriman uang yang cukup banyak, dari hasil penjualan warisan keluarganya.Selama ini aku baik padanya, apa pun yang ia pinjam dariku selalu aku berikan. Dari baju, sandal, tas bahkan mobil saat ia membutuhkannya. Ini lah kata pepatah, engkau akan dipuja-puja seperti Raja, saat masih memiliki harta. Saat jatuh, maka harga dirimu akan di jatuhkan sejatuh-jatuhnya. Hingga keset kaki saja, mungkin lebih beharga dari dirimu."Loh ..
last updateLast Updated : 2022-07-07
Read more

64. Perebutan harta.

"Mbak Intan! Kamu jahat! Akan aku adukan semua ucapanmu ini pada Ibu!" Rika menghentakkan kakinya kasar. Berjalan menuju pintu keluar."Adukan saja! Bila perlu bawa Ibumu pergi dari rumahku segera. Jangan cuma bisa menggerogoti aku saja. Giliran aku susah, kalian seolah cuci tangan semua!" teriakku mengiringi kepergian Rika dari rumah ini. Gadis itu menoleh sekali menatapku benci lalu membuang muka. Aku berdiri ke arah pintu, lalu menguncinya rapat. Aku tak perduli jika Ibu kembali sambil marah-marah, setelah mendengar aduan Rika. Bila perlu aku usir saja mereka berdua dari rumah ini. Lalu rumah ini aku jual dan pergi jauh. Biar tahu rasa mereka. Biar tahu rasanya jadi tunawisma. đŸŒșđŸŒș "Intan! Intan!" Benar saja. Tak sampai satu jam. Ibu pulang ke rumah bersama Rika serta putra semata wayangku.Mata Ibu memerah, menyala penuh amarah. Entah apa yang disampaikan Rika padanya. Bisa jadi ia juga menambah-nambahkan percikan bensin di dalam ucapannya. Secara aku t
last updateLast Updated : 2022-07-08
Read more

65. Tak mau mengalah.

"Tidak kami tidak akan keluar dari rumah ini. Kecuali uang hasil penjualan rumah kamu bagi dua dengan Ibu!" "Jangan harap itu terjadi! Cukup dulu saja aku bodoh, sekarang tidak lagi!" jawabku tegas. Sambil berlalu pergi menyusul Arya ke kamar. Tak kupedulikan mulut Ibu yang berkomat-kamit, mengomel padaku.Enak saja, ini rumah peninggalan Ibuku. Tentu aku akan menikmati uang hasil penjualan rumah ini sendiri. Yang pasti untuk membiayai hidupku dan putraku nantinya. Toh ... aku tak bisa lagi mengharapkan Mas Norman untuk menafkahi kami. Karena saat ini mata hatinya sedang dimabuk janda. đŸŒșđŸŒșSejak keributan itu, hubunganku dan Ibu menjadi renggang. Aku mengerti sekarang, kasih sayangnya padaku selama ini palsu. Hanya berkamuflase saja. Sesungguhnya, uangku lah yang ia inginkan selama ini. Itu sebabnya, sikapnya padaku manis sekali. Saat aku miskin. Baru sifat aslinya keluar. Sifat seorang Ibu tiri. Seperti pagi ini, Ibu memasak pisang goreng sebagai menu sarapan pagi
last updateLast Updated : 2022-07-10
Read more

66. Kekesalan hati mertua.

Pov. MertuaAku kesal dengan perkataan Intan padaku. Aku juga tidak menyangka, akibat dari pantangan yang aku langgar akan sefatal ini.Intan yang dulunya begitu penurut, mau melakukan apapun yang aku minta. Kini mulai membangkang. Satu lagi yang membuatku muntab. Sekarang ia berani memaki putri kesayanganku. Hanya karena Rika meminta uang untuk membeli nasi padanya.Padahal dulu, jangankan untuk membeli nasi. Membeli skincare, baju, bahkan ponsel baru. Semua dikasihnya, asalkan kami senang.Namaku Nani Wulandari. Dulu aku hanyalah seorang anak pembantu, Ibuku bekerja di kota pada pasangan suami istri yang kaya. Sedangkan Bapakku meninggal saat aku masih ada di dalam kandungan. Aku tinggal dengan Nenekku. Namun beliau meninggal saat aku duduk di bangku kelas dua SMA. Jika gadis seusiaku pada umumnya sudah menikah dan memiliki anak, aku justru memilih tetap sendiri. Bukan karena tak ada yang melamar, hanya saja tak ada yang masuk dalam standar kriteriaku. Aku tak mau menikah dengan pr
last updateLast Updated : 2022-07-12
Read more

67. Terancam terusir dari rumah.

"Bu! Ibu!" Aku tersentak kaget saat ada suara seseorang yang memanggilku. Aku menoleh ke asal suara. Kudapati wajah anak gadisku yang menatapku heran."Ibu kenapa melamun, sih? Sayang makanan enak seperti ini dianggurin!" ujar Rika. Matanya berbinar tentang melihat beberapa menu masakan yang tampak menggugah selera.Dengan gerakan cepat, Rika duduk di kursi dan menghirup aroma masakanku. Apalagi jam segini, adalah jam makan siang. Aku heran dengan anak gadisku ini. Malasnya kebangetan. Sudah seperti ular sawah saja. Keluar kamar hanya kerena ia lapar, setelah kenyang akan kembali masuk ke sangkarnya kembali. Entah sifat siapa yang diturutnya. Dulu aku waktu masih gadis, tidak seperti itu."Eh ... jangan sentuh itu!" Aku menepis tangannya yang terjulur ingin mengambil udang goreng tepung."Aww, sakit Bu. Pelit banget sih, minta satu doang!" ringisnya."Jangan ambil yang itu! Ambil yang lain saja. Tapi nanti, nunggu Mbakmu!""Memangnya kenapa, Bu?" Dahinya berkerut. Aku melihat ke kir
last updateLast Updated : 2022-07-12
Read more

68. Menjadi gelandangan.

Aku dan Rika keluar menemui Mang Udin. Aku merasakan perasaan tak enak dengan kehadirannya ini.Rentenir tua itu tampak duduk santai di sofa tanpa izin atau pun permisi. Sungguh tak sopan sekali. Duit saja yang banyak, tapi etika 0."Eh ... ada Mang Udin. Ada perlu apa, Mang? Bukannya hutang kami sudah lunas sama Mamang. Kan, Mamang sudah menyita motornya," ujarku. "Siapa juga yang mau menagih hutang ke sini!" balasnya. Tangannya terbentang di atas sandaran sofa singgel yang ia duduki. Matanya memindai setiap sudut rumah dengan senyum yang merekah."Terus untuk apa?" tanya Rika kembali dengan kasar. Ia tak puas mendengar jawaban ambigu dari rentenir tua ini.Mang Udin mengalihkan pandangannya pada kami. Menatap kami dengan senyum tipis namun mematikan. Aku dan Rika yang masih berdiri. Sedikit takut dan tak berkutik melihatnya."Kapan kalian akan mengosongkan rumah, ini?""Mengosongkan? Maksudnya Mang? Kenapa kami harus mengosongkan rumah kami sendiri?" tanyaku. Aku sungguh tak menger
last updateLast Updated : 2022-07-12
Read more

69. Tak sanggup hidup susah.

"Bu aku capek! Mana panas lagi," sungut Rika. Kulit putihnya menjadi memerah, di jilat matahari.Akhirnya hari ini kami keluar dari rumah yang telah kami tempati selama bertahun-tahun. Menyeret koper hingga ke jalan raya. Bahkan tadi, kami sempat menjadi bahan cemoohan tetangga yang dulu selalu iri padaku. Apalagi Mpok Indun. Ketawanya paling kencang diantara yang lain, saat melihat Mang Udin mengusir kami dengan kasar. Membuatku jengkel. Lihat saja nanti. Jika aku sudah kembali kaya, aku akan kembali membuat perhitungan dengannya.Bukan hanya tetangga saja, ternyata alam pun ikut menertawakan kami. Udara panas yang begitu terik seolah tak bersahabat sedikit pun dengan kami."Sudah jangan merengek! Sebentar lagi kita sampai Halte. Kita cari angkot dulu. Ibu yakin, Yudha pasti ada di sana!" ujarku menenangkan. Waalu sesungguhnya, aku juga tak yakin. Rika menghentak-hentakkan kakinya kesal sambil menyeret koper yang ada di tangannya.Lama kami menunggu angkot, karena di dekat sini angk
last updateLast Updated : 2022-07-12
Read more

70. Anak durhaka.

"Mbak Intan?""Bu itu Mbak Intan!" seru Rika. Aku menoleh ke arah tangan Rika yang menunjuk pada ibu dan anak yang baru saja turun dari mobil yang berwarna oranye. Intan tersentak kaget melihat kami. Dengan cepat ia menarik lengan anaknya, menghindar. "Rika kejar, Mbakmu! Cepat! Jangan sampai di kabur!" perintahku. Aku dan Rika langsung berdiri dari duduk, lalu berlari mengejar Intan di tengah lalu lalang mobil. Aku dan Rika berlari dengan cepat, kami tak mau kehilangan keberadaan Intan. Namun kalah cepat dari Intan. Langkah kakinya begitu gesit menghindar dan menyalip dari satu mobil ke mobil yang lain."Woy ... punya mata atau tidak? Mau mati!" hardik salah satu pemudi angkot yang harus mengerem mendadak di hadapan kami. Membuatku terkejut. Pasalnya kami berlari di tengah terminal dengan banyaknya mobil keluar masuk.Aku tak memperdulikan makian itu. Melanjutkan kembali pengejaran. Aku hanya mau menemukan keberadaan Intan. Mataku berputar kekiri dan kekanan menelisik setiap tempa
last updateLast Updated : 2022-07-12
Read more
PREV
1
...
56789
...
16
DMCA.com Protection Status