"Bu! Ibu!" Aku tersentak kaget saat ada suara seseorang yang memanggilku. Aku menoleh ke asal suara. Kudapati wajah anak gadisku yang menatapku heran."Ibu kenapa melamun, sih? Sayang makanan enak seperti ini dianggurin!" ujar Rika. Matanya berbinar tentang melihat beberapa menu masakan yang tampak menggugah selera.Dengan gerakan cepat, Rika duduk di kursi dan menghirup aroma masakanku. Apalagi jam segini, adalah jam makan siang. Aku heran dengan anak gadisku ini. Malasnya kebangetan. Sudah seperti ular sawah saja. Keluar kamar hanya kerena ia lapar, setelah kenyang akan kembali masuk ke sangkarnya kembali. Entah sifat siapa yang diturutnya. Dulu aku waktu masih gadis, tidak seperti itu."Eh ... jangan sentuh itu!" Aku menepis tangannya yang terjulur ingin mengambil udang goreng tepung."Aww, sakit Bu. Pelit banget sih, minta satu doang!" ringisnya."Jangan ambil yang itu! Ambil yang lain saja. Tapi nanti, nunggu Mbakmu!""Memangnya kenapa, Bu?" Dahinya berkerut. Aku melihat ke kir
Aku dan Rika keluar menemui Mang Udin. Aku merasakan perasaan tak enak dengan kehadirannya ini.Rentenir tua itu tampak duduk santai di sofa tanpa izin atau pun permisi. Sungguh tak sopan sekali. Duit saja yang banyak, tapi etika 0."Eh ... ada Mang Udin. Ada perlu apa, Mang? Bukannya hutang kami sudah lunas sama Mamang. Kan, Mamang sudah menyita motornya," ujarku. "Siapa juga yang mau menagih hutang ke sini!" balasnya. Tangannya terbentang di atas sandaran sofa singgel yang ia duduki. Matanya memindai setiap sudut rumah dengan senyum yang merekah."Terus untuk apa?" tanya Rika kembali dengan kasar. Ia tak puas mendengar jawaban ambigu dari rentenir tua ini.Mang Udin mengalihkan pandangannya pada kami. Menatap kami dengan senyum tipis namun mematikan. Aku dan Rika yang masih berdiri. Sedikit takut dan tak berkutik melihatnya."Kapan kalian akan mengosongkan rumah, ini?""Mengosongkan? Maksudnya Mang? Kenapa kami harus mengosongkan rumah kami sendiri?" tanyaku. Aku sungguh tak menger
"Bu aku capek! Mana panas lagi," sungut Rika. Kulit putihnya menjadi memerah, di jilat matahari.Akhirnya hari ini kami keluar dari rumah yang telah kami tempati selama bertahun-tahun. Menyeret koper hingga ke jalan raya. Bahkan tadi, kami sempat menjadi bahan cemoohan tetangga yang dulu selalu iri padaku. Apalagi Mpok Indun. Ketawanya paling kencang diantara yang lain, saat melihat Mang Udin mengusir kami dengan kasar. Membuatku jengkel. Lihat saja nanti. Jika aku sudah kembali kaya, aku akan kembali membuat perhitungan dengannya.Bukan hanya tetangga saja, ternyata alam pun ikut menertawakan kami. Udara panas yang begitu terik seolah tak bersahabat sedikit pun dengan kami."Sudah jangan merengek! Sebentar lagi kita sampai Halte. Kita cari angkot dulu. Ibu yakin, Yudha pasti ada di sana!" ujarku menenangkan. Waalu sesungguhnya, aku juga tak yakin. Rika menghentak-hentakkan kakinya kesal sambil menyeret koper yang ada di tangannya.Lama kami menunggu angkot, karena di dekat sini angk
"Mbak Intan?""Bu itu Mbak Intan!" seru Rika. Aku menoleh ke arah tangan Rika yang menunjuk pada ibu dan anak yang baru saja turun dari mobil yang berwarna oranye. Intan tersentak kaget melihat kami. Dengan cepat ia menarik lengan anaknya, menghindar. "Rika kejar, Mbakmu! Cepat! Jangan sampai di kabur!" perintahku. Aku dan Rika langsung berdiri dari duduk, lalu berlari mengejar Intan di tengah lalu lalang mobil. Aku dan Rika berlari dengan cepat, kami tak mau kehilangan keberadaan Intan. Namun kalah cepat dari Intan. Langkah kakinya begitu gesit menghindar dan menyalip dari satu mobil ke mobil yang lain."Woy ... punya mata atau tidak? Mau mati!" hardik salah satu pemudi angkot yang harus mengerem mendadak di hadapan kami. Membuatku terkejut. Pasalnya kami berlari di tengah terminal dengan banyaknya mobil keluar masuk.Aku tak memperdulikan makian itu. Melanjutkan kembali pengejaran. Aku hanya mau menemukan keberadaan Intan. Mataku berputar kekiri dan kekanan menelisik setiap tempa
Setelah sesi drama termehek-mehek di terminal, akhirnya membuat kami berdua menjadi artis duka dalam sehari. Air mata Rika yang berderai selama setengah jam membuat ia menghasilkan uang sekitar 457.000. Nominal yang cukup untuk membuat perut kami kenyang sebelum ke rumah Zalia. Jujur aku sangat malu sekali, menjadi tontonan banyak orang. Namun terpaksa kutekan dulu rasa malu ini, untuk perut kami dapat terisi. Sebab aku sudah tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan dengan keadaan perut yang kosong. Rasanya penglihatanku sudah mulai berkunang-kunang. Dari pada pingsan di tengah jalan, bisa susah."Kalau tahu, air matamu berguna. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja, Ibu suruh kamu menangis di tengah jalan," ujarku serius tapi terdengar seperti ledekan di telinga Rika. Terlihat dari matanya yang tampak mendelik menatapku.Kini kami sudah tiba di depan rumah Zalia. Zalia adalah putri seorang perwira tentara, sedangkan Ibunya seorang pedagang pecah belah yang cukup sukses di kampung ini
Aku menghela napas. Kembali menatap Ibu dan Rika. Lihat saja gaya mereka. Tidak ada sopan-sopannya di rumah orang lain. "Maaf, Bu. Bukannya tak mau membantu, malam ini silahkan kalian nginap di sini dulu. tapi besok, Ibu dan Rika tak dapat tinggal di sini. Jika masalah tempat tinggal, aku akan membantu mencarikan kalian kontrakan untuk ditempati," jawabku. Ibu mendelik."Kamu tega mengusir Ibu dan Rika dari rumah ini, Zalia?! Aku ini mertuamu loh. Ibu dari suamimu. Apa kamu sadar!" sentak Ibu. Ibuku sampai terkejut mendengar suara Ibu Mas Yudha yang mulai meninggi. Ini rumahku, rumah orang tuaku kenapa mereka yang ngotot."Maaf Bu Nani. Yudha dan Zalia sudah bukan suami istri lagi. Lagi pula ..." "Zalia dan putra saya Yudha belum bercerai. Itu artinya Zalia masih Istri Yudha. Lagi pula, Jenk Ajeng. Kita kan pernah menjadi besan yang baik. Sudah seharusnya kita saling tolong menolong. Iya, kan?" ujar Ibu memotong ucapan ibuku, dengan tak tahu malunya, Ibu mengatakan hal itu pada Ibuk
Seharusnya hanya sehari, akhirnya tiga hari juga Ibu dan Rika menginap di rumah orang tuaku. Jika tidak aku paksa dan disertai banyaknya ancaman. Mungkin saja saat ini, mereka masih tidur manis di rumah bagaikan ratu dan raja.Aku membawa Ibu ke rumah kontrakan. Membuka pintu rumah dengan kunci yang di berikan pemilik rumah sebelumnya. Lalu mempersilahkan Ibu masuk. Ibu meletakkan tasnya di lantai ruang tengah. Tas yang berisi beberapa lembar pakaian pemberianku dan Ibuku untuk ia dan Rika pakai.Sedangkan Rika melenggang begitu saja, melihat setiap ruangan yang berdebu dengan raut wajah jijik. Wajar saja, rumah ini sudah hampir Lima bulan ditinggali pemiliknya. Semua perabot masih lengkap seperti kasur meja dan lemari. Serta ada kompor gas kecil di dapur. Jadi tak perlu bingung lagi jika ingin memasak."Kok, rumahnya seperti ini Zalia?" tanya Ibu Mas Yudha. Saat matanya menelisik setiap sudut kontrakan yang aku pilihkan untuknya dengan rasa tak puas.Sebuah rumah kecil yang berada s
"Kamu apa? Memang kenyataannya begitu kan. Mana ada orang yang bisa mendapatkan uang secara cuma-cuma tanpa bekerja. Masih kuat kerja, kan?" sungutku menantang.Tak ku hiraukan lagi tata kramaku saat ini. Menghadapi parasit seperti mereka berdua, tak boleh lemah lembut. Harus ditebas habis. Jika tidak, mereka akan menggerogoti ginjal serta jantungku."Jangan mentang-mentang Mbak memberikan kami uang, Mbak jadi bersikap sombong begini sama kami." hardik Rika tak terima dengan tatapan kebencian. Namun yang lucunya, uang yang kuberikan langsung cepat-cepat dikantongi oleh Ibu. Takut aku ambil kembali."Lah ... kamu yang minta duit sama aku aja bisa membentak ku. Lalu kenapa aku tidak! Ya sudahlah ... aku malas berdebat. Masih banyak kerjaan yang harus aku kerjakan. Selamat menempati rumah baru. Bay ... bay!" jawabku. Tanpa menunggu jawaban mereka, aku melenggang pergi dengan gaya kemayu. Aku tak yakin Ibu dan Rika akan betah di rumah ini. Apa lagi dengan fasilitas yang tak memadai. "D
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud