Share

62. Kebencian Intan.

Author: Desti Anggraini
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56
Jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Namun aku sudah uring-uringan, semalam, sehabis menelpon, aku langsung bergegas ke rumah janda gatal itu. Dengan penuh emosi. aku juga mau menuntut nafkahku yang tak di berikan bulan ini. Namun tak kutemui Mas Norman dan janda gatal itu di tempat. Entah pergi ke mana mereka?

Detik-detik Mang Udin kerumah ini sudah semakin dekat. Sedangkan Ibu. Pagi-pagi sekali ia keluar kamar membawa anakku tanpa menoleh sedikitpun padaku. Sejak pertengkaran semalam, tampaknya Ibu masih marah padaku. Malang nian nasibku ini, saat ada uang semua mendekat. Saat sengsara, menoleh saja tidak.

"Intan! Heyy ... Intan!" teriak Mang Udin dari depan pintu. Aku terkesiap kaget. Aku bingung harus mengahadapi Mang Udin. Aku keluar menemui Mang Udin. Aku meneguk ludahku susah payah, saat kudapati pria paruh baya itu menatap ke arahku dengan sangar. Ia datang ke sini dengan dua orang bodyguard suruhannya. Mang Udin terkenal dengan kekejamannya dalam menagih hutang.

Barang sia
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Batas kesabaran seorang istri!   63. Mulai terlihat belangnya.

    Pov. IntanAku duduk termenung di ruang tamu. Meratapi nasib badan ini yang begitu menyedihkan. Suami diambil pelakor, mobil ditarik leasing dan motor pun, sudah di sita rentenir. Mau meminta tolong juga tak tahu harus pada siapa? Teman-teman yang selama ini selalu dekat denganku, kini pergi menjauh bak ditelan bumi. Setelah mereka menyadari diriku tak memiliki uang lagi. Bahkan Siska terang-terangan menghinaku, saat aku datang kerumahnya. Bermaksud meminjam uang padanya tempo hari sebelum berangkat ke rumah Zalia. Padahal aku tahu, ia baru saja mendapatkan kiriman uang yang cukup banyak, dari hasil penjualan warisan keluarganya.Selama ini aku baik padanya, apa pun yang ia pinjam dariku selalu aku berikan. Dari baju, sandal, tas bahkan mobil saat ia membutuhkannya. Ini lah kata pepatah, engkau akan dipuja-puja seperti Raja, saat masih memiliki harta. Saat jatuh, maka harga dirimu akan di jatuhkan sejatuh-jatuhnya. Hingga keset kaki saja, mungkin lebih beharga dari dirimu."Loh ..

  • Batas kesabaran seorang istri!   64. Perebutan harta.

    "Mbak Intan! Kamu jahat! Akan aku adukan semua ucapanmu ini pada Ibu!" Rika menghentakkan kakinya kasar. Berjalan menuju pintu keluar."Adukan saja! Bila perlu bawa Ibumu pergi dari rumahku segera. Jangan cuma bisa menggerogoti aku saja. Giliran aku susah, kalian seolah cuci tangan semua!" teriakku mengiringi kepergian Rika dari rumah ini. Gadis itu menoleh sekali menatapku benci lalu membuang muka. Aku berdiri ke arah pintu, lalu menguncinya rapat. Aku tak perduli jika Ibu kembali sambil marah-marah, setelah mendengar aduan Rika. Bila perlu aku usir saja mereka berdua dari rumah ini. Lalu rumah ini aku jual dan pergi jauh. Biar tahu rasa mereka. Biar tahu rasanya jadi tunawisma. 🌺🌺 "Intan! Intan!" Benar saja. Tak sampai satu jam. Ibu pulang ke rumah bersama Rika serta putra semata wayangku.Mata Ibu memerah, menyala penuh amarah. Entah apa yang disampaikan Rika padanya. Bisa jadi ia juga menambah-nambahkan percikan bensin di dalam ucapannya. Secara aku t

  • Batas kesabaran seorang istri!   65. Tak mau mengalah.

    "Tidak kami tidak akan keluar dari rumah ini. Kecuali uang hasil penjualan rumah kamu bagi dua dengan Ibu!" "Jangan harap itu terjadi! Cukup dulu saja aku bodoh, sekarang tidak lagi!" jawabku tegas. Sambil berlalu pergi menyusul Arya ke kamar. Tak kupedulikan mulut Ibu yang berkomat-kamit, mengomel padaku.Enak saja, ini rumah peninggalan Ibuku. Tentu aku akan menikmati uang hasil penjualan rumah ini sendiri. Yang pasti untuk membiayai hidupku dan putraku nantinya. Toh ... aku tak bisa lagi mengharapkan Mas Norman untuk menafkahi kami. Karena saat ini mata hatinya sedang dimabuk janda. 🌺🌺Sejak keributan itu, hubunganku dan Ibu menjadi renggang. Aku mengerti sekarang, kasih sayangnya padaku selama ini palsu. Hanya berkamuflase saja. Sesungguhnya, uangku lah yang ia inginkan selama ini. Itu sebabnya, sikapnya padaku manis sekali. Saat aku miskin. Baru sifat aslinya keluar. Sifat seorang Ibu tiri. Seperti pagi ini, Ibu memasak pisang goreng sebagai menu sarapan pagi

  • Batas kesabaran seorang istri!   66. Kekesalan hati mertua.

    Pov. MertuaAku kesal dengan perkataan Intan padaku. Aku juga tidak menyangka, akibat dari pantangan yang aku langgar akan sefatal ini.Intan yang dulunya begitu penurut, mau melakukan apapun yang aku minta. Kini mulai membangkang. Satu lagi yang membuatku muntab. Sekarang ia berani memaki putri kesayanganku. Hanya karena Rika meminta uang untuk membeli nasi padanya.Padahal dulu, jangankan untuk membeli nasi. Membeli skincare, baju, bahkan ponsel baru. Semua dikasihnya, asalkan kami senang.Namaku Nani Wulandari. Dulu aku hanyalah seorang anak pembantu, Ibuku bekerja di kota pada pasangan suami istri yang kaya. Sedangkan Bapakku meninggal saat aku masih ada di dalam kandungan. Aku tinggal dengan Nenekku. Namun beliau meninggal saat aku duduk di bangku kelas dua SMA. Jika gadis seusiaku pada umumnya sudah menikah dan memiliki anak, aku justru memilih tetap sendiri. Bukan karena tak ada yang melamar, hanya saja tak ada yang masuk dalam standar kriteriaku. Aku tak mau menikah dengan pr

  • Batas kesabaran seorang istri!   67. Terancam terusir dari rumah.

    "Bu! Ibu!" Aku tersentak kaget saat ada suara seseorang yang memanggilku. Aku menoleh ke asal suara. Kudapati wajah anak gadisku yang menatapku heran."Ibu kenapa melamun, sih? Sayang makanan enak seperti ini dianggurin!" ujar Rika. Matanya berbinar tentang melihat beberapa menu masakan yang tampak menggugah selera.Dengan gerakan cepat, Rika duduk di kursi dan menghirup aroma masakanku. Apalagi jam segini, adalah jam makan siang. Aku heran dengan anak gadisku ini. Malasnya kebangetan. Sudah seperti ular sawah saja. Keluar kamar hanya kerena ia lapar, setelah kenyang akan kembali masuk ke sangkarnya kembali. Entah sifat siapa yang diturutnya. Dulu aku waktu masih gadis, tidak seperti itu."Eh ... jangan sentuh itu!" Aku menepis tangannya yang terjulur ingin mengambil udang goreng tepung."Aww, sakit Bu. Pelit banget sih, minta satu doang!" ringisnya."Jangan ambil yang itu! Ambil yang lain saja. Tapi nanti, nunggu Mbakmu!""Memangnya kenapa, Bu?" Dahinya berkerut. Aku melihat ke kir

  • Batas kesabaran seorang istri!   68. Menjadi gelandangan.

    Aku dan Rika keluar menemui Mang Udin. Aku merasakan perasaan tak enak dengan kehadirannya ini.Rentenir tua itu tampak duduk santai di sofa tanpa izin atau pun permisi. Sungguh tak sopan sekali. Duit saja yang banyak, tapi etika 0."Eh ... ada Mang Udin. Ada perlu apa, Mang? Bukannya hutang kami sudah lunas sama Mamang. Kan, Mamang sudah menyita motornya," ujarku. "Siapa juga yang mau menagih hutang ke sini!" balasnya. Tangannya terbentang di atas sandaran sofa singgel yang ia duduki. Matanya memindai setiap sudut rumah dengan senyum yang merekah."Terus untuk apa?" tanya Rika kembali dengan kasar. Ia tak puas mendengar jawaban ambigu dari rentenir tua ini.Mang Udin mengalihkan pandangannya pada kami. Menatap kami dengan senyum tipis namun mematikan. Aku dan Rika yang masih berdiri. Sedikit takut dan tak berkutik melihatnya."Kapan kalian akan mengosongkan rumah, ini?""Mengosongkan? Maksudnya Mang? Kenapa kami harus mengosongkan rumah kami sendiri?" tanyaku. Aku sungguh tak menger

  • Batas kesabaran seorang istri!   69. Tak sanggup hidup susah.

    "Bu aku capek! Mana panas lagi," sungut Rika. Kulit putihnya menjadi memerah, di jilat matahari.Akhirnya hari ini kami keluar dari rumah yang telah kami tempati selama bertahun-tahun. Menyeret koper hingga ke jalan raya. Bahkan tadi, kami sempat menjadi bahan cemoohan tetangga yang dulu selalu iri padaku. Apalagi Mpok Indun. Ketawanya paling kencang diantara yang lain, saat melihat Mang Udin mengusir kami dengan kasar. Membuatku jengkel. Lihat saja nanti. Jika aku sudah kembali kaya, aku akan kembali membuat perhitungan dengannya.Bukan hanya tetangga saja, ternyata alam pun ikut menertawakan kami. Udara panas yang begitu terik seolah tak bersahabat sedikit pun dengan kami."Sudah jangan merengek! Sebentar lagi kita sampai Halte. Kita cari angkot dulu. Ibu yakin, Yudha pasti ada di sana!" ujarku menenangkan. Waalu sesungguhnya, aku juga tak yakin. Rika menghentak-hentakkan kakinya kesal sambil menyeret koper yang ada di tangannya.Lama kami menunggu angkot, karena di dekat sini angk

  • Batas kesabaran seorang istri!   70. Anak durhaka.

    "Mbak Intan?""Bu itu Mbak Intan!" seru Rika. Aku menoleh ke arah tangan Rika yang menunjuk pada ibu dan anak yang baru saja turun dari mobil yang berwarna oranye. Intan tersentak kaget melihat kami. Dengan cepat ia menarik lengan anaknya, menghindar. "Rika kejar, Mbakmu! Cepat! Jangan sampai di kabur!" perintahku. Aku dan Rika langsung berdiri dari duduk, lalu berlari mengejar Intan di tengah lalu lalang mobil. Aku dan Rika berlari dengan cepat, kami tak mau kehilangan keberadaan Intan. Namun kalah cepat dari Intan. Langkah kakinya begitu gesit menghindar dan menyalip dari satu mobil ke mobil yang lain."Woy ... punya mata atau tidak? Mau mati!" hardik salah satu pemudi angkot yang harus mengerem mendadak di hadapan kami. Membuatku terkejut. Pasalnya kami berlari di tengah terminal dengan banyaknya mobil keluar masuk.Aku tak memperdulikan makian itu. Melanjutkan kembali pengejaran. Aku hanya mau menemukan keberadaan Intan. Mataku berputar kekiri dan kekanan menelisik setiap tempa

Latest chapter

  • Batas kesabaran seorang istri!   153. Merajut kisah cinta halal (end)

    Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu

  • Batas kesabaran seorang istri!   152. Akhir dari penantian.

    “Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s

  • Batas kesabaran seorang istri!   151. Si tukang julid

    “Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde

  • Batas kesabaran seorang istri!   150. Tukang cari masalah.

    “Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis

  • Batas kesabaran seorang istri!   149. Rayuan Mas Hendra

    “Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa

  • Batas kesabaran seorang istri!   148. Kelicikan Hendra

    Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m

  • Batas kesabaran seorang istri!   147. Mengenang alm. Bapak

    Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   146. Sinta membuat masalah

    “Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan

  • Batas kesabaran seorang istri!   145. Sinta yang Iri (season 2)

    Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud

DMCA.com Protection Status