Home / Pernikahan / Talak Aku, Mas! / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Talak Aku, Mas!: Chapter 81 - Chapter 90

98 Chapters

81. Perbedaan

Mengingat semua hanyalah masa lalu, aku pun tak ingin membicarakan hal itu lagi dan berusaha menguburnya dalam-dalam.Dan tanpa aku sadari, waktuku dengan Aaron hampir habis. Malam di mana menjadi malam terakhir dia berada di Indonesia, aku menemaninya makan malam di sebuah restoran yang tak jauh dari kota batu. Aku memesankan dia dengan hidangan khas indonesia sesuai yang ia inginkan. "Besok saya akan kembali ke Bangkok," ucapnya.Aku yang sedang menikmati indahnya langit malam itu menoleh, "Iya. Saya senang sekali sudah bisa menjadi tour guide kamu selama hampir satu minggu ini. Terima kasih sudah mempercayakan acara wisata kamu pada travel kami."Aaron tersenyum, "Apa kamu hanya menganggap saya sebagai seorang tamu yang harus temani?""Maksud kamu?"Aaron memainkan tangannya di atas meja, mengetuk seolah sedang berpikir tentang suatu hal."Tidakkah kamu berpikir mengenai saya secara pribadi? Menganggap saya sebagai seorang teman pria kamu?"Tanpa sadar aku menjawab, "Pria dan wan
Read more

82. Kekasih

Papa tersenyum kepadaku sebelum menjawab, "Dimas mendekati Fuchsia untuk mengambil hatinya, dalam artian dia melakukannya karena suka sama kamu. Kalau Aaron tidak."Sebelah alisku terangkat, "Maksud Papa apa?""Aaron mendekati Fuchsia karena memang ingin dekat. Bukan karena untuk mengambil hatinya tapi benar-benar murni ingin mengenalnya."Semakin aku kebingungan dengan perkataan papa. Aku sekali lagi mengamati interaksi yang terjadi antara Fuchsia dengan Aaron dan tetap saja tak menemukan perbedaan itu. Apa aku saja yang kurang peka? Atau aku yang memang tak bisa menilai seseorang? "Nggak perlu bingung. Nanti kamu pasti tahu perbedaan itu," ujar papa.Papa kemudian mendekat ke arah mereka berdua dan membiarkanku diam sendirian. Sungguh, perkataan papa jujur saja telah membuatku sedikit memiliki sebuah harapan mengenai Aaron.Meskipun tak mau terlalu banyak berharap karena takut lagi dikecewakan, setidaknya harapan itu membuatku yakin ingin lebih mengenal Aaron."Papamu nggak perna
Read more

83. Tamu yang Dibenci

Perkataan Aaron seakan menyadarkan diriku akan sesuatu, yakni tindakan jauh lebih penting dibandingkan ucapan.Tentu hal ini juga berdasarkan pengalaman yang telah aku dapatkan sebelumnya. Bukan berarti aku berniat membandingkan Aaron dengan Gandhy, tapi aku hanya bisa memikirkan dua orang itu.Dulunya, saat aku belum menikah dengan Gandhy, pria itu hampir setiap hari mengucapkan cinta kepadaku. Namun, tak ada perbuatannya yang memperlihatkan rasa cintanya itu.Setelah menikah pun, malah kata-kata cinta itu tak pernah keluar lagi dari mulutnya. Dan semakin lama semakin perasaannya itu aku ragukan. Pada akhirnya semua terbukti dengan dirinya yang kemudian tak bisa menjaga kesetiaannya kepadaku.Berbeda dengan Aaron, pria itu sama sekali tak pernah berucap cinta tapi tindakannya selalu menujukkan demikian."Kamu tersenyum," ucap Aaron tiba-tiba."Eh, iya. Aaron, hati-hati dan sampai ketemu lagi," ucapku.Aaron mengangguk, "Secepatnya kita akan bertemu lagi."Melepas kepergiannya untuk k
Read more

84. Ini Papa

"Kalau kamu lupa, oke. Aku akan katakan sekali lagi. Gandhy, denger ya. Aku nggak pernah menyesali keputusanku bercerai sama kamu, jelas aku malah sangat bersyukur sekali. Aku tidak perlu hidup dengan orang yang hanya bisa membuatku sakit hati. Jadi, jangan pernah sekalipun berpikir jika aku masih suka sama kamu," putusku yang sudah tak bisa lagi menahan rasa jengkel.Gandhy mengangguk, terlihat menyerah, "Kalau gitu bisa aku ketemu Fuchsia sekarang?""Bisa. Tunggu aja. Sebentar lagi dia pasti pulang, mau Magrib," jelasku.Gandhy kemudian terlihat mau masuk ke dalam rumah dan langsung saja aku cegah dengan cepat, "Mau ke mana kamu?""Masuk. Masa kamu tega biarin aku di luar?"Aku sontak berkacak pinggang sambil menatap nyalang ke arah laki-laki yang tidak tahu malu itu, "Kamu itu tadi nggak dengar apa gimana sih? Kamu itu udah bukan siapa-siapaku lagi. Terus kamu pikir, aku akan biarin kamu masuk ke dalam rumah?"Matanya melebar, terlihat kaget saat mendengarku berkata demikian, dia l
Read more

85. Perdebatan Tak Perlu

"Demi anak kita?" ulangku sambil menatap jengkel ke arah Gandhy.Gandhy menyahut, "Iya, Ra. Kamu nggak mau kan kalau Fuchsia sampai kebingungan?"Ya Rabb, bolehkah aku meminta laki-laki di depanku ini dilenyapkan saja? Aku berdoa dalam hati.Namun, setelah sadar aku telah mendoakan hal buruk untuk seseorang, aku segera beristighfar. Aku teringat jika doa yang buruk itu akan kembali pada orang yang meminta, sedangkan doa baik akan diijabah oleh Sang Pencipta.Tentu saja aku tak mau hal buruk terjadi kepadaku. Harus kuingat jika aku ini bukan orang buruk yang akan senang jika nasib orang lain tidak baik. Sehingga aku yang mulai sadar ini berkata dengan tenang, "Itu tugasmu sendiri. Kamu sendiri yang harus cari cara untuk mendapatkan hati Fuchsia lagi. Aku hanya bisa mencoba untuk membuatnya kembali ingat. Masalah dia bisa menerima kamu atau nggak, itu bukan urusanku. Aku nggak akan ikut campur.""Lho, Ra. Kok gitu? Kamu nggak mau Fuchsia bahagia?""Ngomong apa kamu? Justru aku yang pal
Read more

86. Hasutan Gandhy

Setelah memikirkannya sesaat, aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku, membuang segala gengsi serta keraguan yang ada."Ya, Aaron. Kamu sudah menjadi salah satu bagian yang penting di dalam hidup saya."Lewat layar ponsel itu, aku bisa melihat sudut bibirnya terangkat sedikit membentuk sebuah senyum manis yang ditujukan kepadaku."Senang sekali mendengar hal itu. Zara, semoga segalanya berjalan dengan lancar ya."Aku mengangguk, "Saya juga berharap begitu.""Ya sudah, istirahatlah dulu. Besok kamu kan harus kerja. Sampaikan salam saya pada Fuchsia ya?""Iya, nanti saya sampaikan. Selamat istirahat juga, Aaron.""Assalamualaikum, Zara.""Waalaikumsalam, Aaron."Usai panggilan video call itu terputus, kupenjamkan mataku dan masuk ke dalam alam mimpi.Di pagi hari setelah malam itu, papa yang baru saja pulang dari luar kota bertanya kepadaku, "Gandhy kemarin ke sini ya kata mama?""Iya, Pa."Papa yang sedang menyesap kopinya itu membalas, "Kamu nggak apa-apa, Nduk?"Aku menoleh, "Kena
Read more

87. Keraguan

"Aku memang bukan siapa-siapa kamu, Ra. Tapi aku berhak kasih saran ke kamu soal siapa yang akan jadi suami kamu," ujar Gandhy yang langsung membuatku ingin mengusirnya dari rumahku sekarang juga.Aku tertawa miris mendengarnya, masih tak aku percaya bagaimana bisa dia berbicara dengan tidak tahu malu seperti itu. Apa urat malunya sudah benar-benar putus?"Kasih saran? Gandhy, kamu itu udah nggak waras atau bagaimana? Kamu sama sekali nggak berhak ikut campur masalahku, dalam hal apapun.""Aku berhak. Karena ini tetap menyangkut Fuchsia
Read more

88. Masa Lalu Kembali

"Ya nggak lah, Nin. Kenapa aku harus cerita ini sama dia? Kan dia nggak ada hubungannya sama masalah aku. Ini menyangkut Fuchsia dan kami saja," jawabku cepat.Anindia mendesah, dia menepuk punggungku pelan, "Ra, sebentar lagi kan kamu akan segera menikah kan sama Aaron. Aku rasa dia tetap berhak tahu dong. Kan nantinya jika telah menikah, saat Gandhy ingin menemui Fuchsia kan tetap ada Aaron. Menurutku kamu harus tetap bilang sama dia."Aku hanya mengangguk. Namun, di dalam hatiku aku tetap merasa masalah persoalan anakku bukanlah menjadi urusan Aaron untuk saat ini. Dia masih orang luar sehingga tak perlu aku dia tahu terlebihd dahulu. Akan tetapi, ketika nantinya kami telah bersama, tentu dia memang harus tahu.Beberapa hari setelahnya, aku merasa cukup bisa mengontrol diriku. Meskipun Gandhy memang datang lebih sering, aku tak sering harus berpapasan dengannya karena memang secara sengaja aku menghindarinya.Di samping itu, memang dia hanya memiliki urusan dengan Fuchsia dan mama
Read more

89. Kekesalan

"Apa-apaan sih kamu, Ra. Maksud kamu apa coba?" ujar Deva, menatapku tak suka.Dengan malas dan kuharap ini untuk yang terakhir kalinya aku berkata, "Deva, kamu ini sebenarnya orang macam apa sih? Kamu itu udah masuk ke dalam rumah tangga orang lain lalu dengan percaya diri banget, kamu datang ke sini. Kamu nggak tahu malu banget sih, Dev."Kulihat wajah Deva memerah, entah karena malu atau kenapa."Ka-kamu... ""Kamu itu harusnya sadar diri, Dev. Kalau memang kamu itu nggak bisa pertahanin hubungan asmara kamu, kamu nggak berhak menuduhku seperti tadi. Aku bukan kamu, aku bukan perusak rumah tangga orang lain. Ngerti kamu, Dev?""Dan sekali lagi, jangan pernah kamu sangkut pautin aku lagi sama masalah kamu yang nggak penting itu."Setelah mengatakannya dengan berapi-api, aku pun buru-buru pergi. Bukannya aku takut menghadapi wanita itu, namun aku hanya malas dan muak saja berbicara dengannya. Waktuku terlalu berharga untuk urusan sepele seperti itu.Saat aku buka pintu kantor, Anindi
Read more

90. Kekacauan

"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status