Home / Pernikahan / Talak Aku, Mas! / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Talak Aku, Mas!: Chapter 41 - Chapter 50

98 Chapters

41. Orangtua Dimas

"Ra, kamu mau kan?" tanya Dimas lagi.Aku kebingungan untuk sesaat. Sejujurnya aku belum siap. Terlebih lagi, aku baru saja menjalin hubungan dengannya."Dim, apa ini nggak terlalu cepat?" tanyaku."Terlalu cepat bagaimana?" tanyanya.Aku dengan ragu-ragu menjawab, "Bertemu sama orang tuamu. Kita kan baru saja menjalani hubungan ini."Dimas membalas, "Hanya makan siang saja, Ra. Jika kamu masih belum ingin aku kenalkan sebagai calon istri aku, aku akan mengenal kamu sebagai temanku. Bagaimana?"Aku masih saja tetap meragu. "Apa nggak bisa lain kali aja ya?" tanyaku kemudian.Dimas terlihat menghela napas kecewa. Aku jadi semakin tidak enak melihatnya."Mereka jarang banget ke sini, Ra. Tapi kalau kamu memang belum siap ya tidak apa-apa," ujarnya pelan.Hatiku melemah seketika. Ekspresi kecewanya yang tercetak begitu jelas di wajah pria tampan itu membuatku tidak nyaman.Aku memilih mengalah lalu berkata, "Ya sudah kalau begitu. Kapan?"Dimas tersenyum lebar kemudian, dia lalu menjawa
Read more

42. Bertengkar

Aku terdiam untuk beberapa saat sebelum mulai menjawab dengan hati-hati, "Dimas baik, Pak."Papa Dimas manggut-manggut, "Baik gimana, Ra?"Baik gimana ya? Aku jadi bingung jelasinnya gimana. Tetapi saat aku sedang tersesat, tak bisa menjawab pertanyaan papanya, Dimas kemudian berkata dengan suara yang jenaka, "Papa kaya manajer HRD yang sedang interview calon pegawainya saja?"Papa Dimas sontak tertawa mendengar celotehan Dimas."Ah, maaf Zara. Saya nggak bermaksud untuk begitu. Saya kan hanya ingin tahu kenapa kamu mau menerima anak saya yang modelnya begini ini," canda Papa Dimas.Aku jadi tersenyum kikuk. Dimas memberengut, "Pa, ya jangan jelekin anak sendiri di depan calon dong. Papa ini gimana sih? Nanti kalau Zara jadi ilfeel sama aku gimana, Pa?"Mama Dimas menyahut, "Ya berarti kamunya aja yang rada-rada, Dim.""Lah, Mama malah belain Papa."Dimas terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang merajuk tetapi melihat keakraban mereka aku jadi merasa ikut senang melihatnya. T
Read more

43. Boneka

Aku menunggu mereka pergi dari kamar mandi itu sebelum aku kembali ke teacher's room yang terletak di lantai atas.Saat aku masuk ke dalam ruangan itu, ruangan itu mendadak senyap hingga kemudian semakin membuatku curiga jika kemungkinan mereka tadi sedang membicarakan aku.Bolehkah aku berprasangka demikian?Namun, aku kembali teringat jika tujuanku bekerja di bimbingan belajar itu untuk mencari uang bagi kehidupan anakku. Sehingga, perlahan aku mencoba untuk mengabaikan apapun perkataan mereka meskipun rasanya telingaku selalu gatal setiap aku tahu begitu mendengar gosip yang mereka bicarakan tentang aku."Miss Zara, kok nggak ikut ke kantin?" tanya Freya, salah satu rekan kerjaku yang saling mengajakku mengobrol.Gadis itu masih sangat muda, jelas sekali mungkin usianya agak jauh dibawahku."Nggak, Miss. Masih kenyang," jawabku.Freya terlihat mengangguk, "Aku juga. By the way, Miss. Katanya Miss punya anak perempuan ya?""Iya, Miss. Kok tahu?" tanyaku."Tahu lah, Miss. Berapa umur
Read more

44. Mbak Lagi Kabur?

Hatiku semakin tidak karuan saat mendengar putriku kembali teringat pada sosok papanya yang sudah tak pernah muncul di depannya selama hampir enam bulan lamanya itu. Tubuhku bahkan sedikit bergetar karena takut jika Fuchsia sedang merindukan papanya. Bagaimana jika dia meminta bertemu dengan Gandhy? Apa yang harus aku katakan padanya? Mana mungkin aku mengatakan jika papanya tidak mau menemuinya lagi. Aku tidak segila itu. Aku tidak mungkin menyalahkan Fuchsia. Semua ini bukan salah putri kecilku yang malang itu. Bagaimana pun juga, pertemuannya terakhir dengan papanya itu berlangsung dengan tidak enak. Dia juga bahkan tak sempat berlama-lama bermain dengan papanya saat itu. Akan tetapi, menyalahkan mantan mertuaku yang kala itu memaksa Gandhy untuk cepat-cepat pulang juga tak ada gunanya. Fuchsia De Belle masih terlalu kecil untuk mengerti arti dari perpisahan kedua orang tuanya. Aku tak mungkin mengatakan hal-hal yang berat kepada bocah yang baru saja berumur dua tahun lebih ena
Read more

45. Ingatan yang Memudar

Kata-kata gadis itu bahkan masih terbayang-bayang ketika aku pergi dari sana. Setelah aku berpikir, memang apa yang dikatakan gadis itu benar adanya. Aku memang sering kabur dari masalah dalam artian terkadang aku lebih sering menjauhkan diriku terlebih dulu dari suatu masalah sebelum kemudian menghadapinya.Namun, kali ini aku memiliki alasan yang kuat untuk menjauh sejenak dari anakku. Aku tak ingin jika emosiku memburuk saat aku sedang bersama dengannya. "Ra, kamu melamun terus dari tadi. Kamu masih mikirin kejadian tadi ya?" tanya Mama terlihat sekali wajahnya cemas."Nggak apa-apa, Ma. Ya udah, Zara mau ke kamar dulu," pamitku buru-buru ke kamar untuk melihat putriku yang ternyata bangun ketika aku masuk."Mama," panggilnya pelan.Aku tersenyum pada gadis kecil itu lalu segera duduk di kasur sambil menciumnya."Kok anak Mama udah bangun lagi. Padahal Mama baru pulang loh. Baru juga Mama mau ikutan tidur," ucapku."Mau Mama," ucapnya sambil memelukku erat."Iya, Sayang. Sini bob
Read more

46. Cita-cita

"Nggak, kok. Aku nggak sakit," jawab Dimas."Terus kenapa?"Dimas lagi-lagi tersenyum, "Keadaanku buruk karena begitu merindukan kamu."Aku melongo untuk sesaat tetapi setelah aku sadar aku segera memukul tangan pria itu karena kesal ternyata dia hanya bercanda saja."Kamu itu. Masih aja suka ngegombal," ujarku sebal.Dimas menjawab, "Tidak. Aku itu nggak ngegombal sama sekali. Ini tuh jujur dari dalam hati aku.""Sudahlah, Dim.""Iya, iya. Oh, iya aku tadi mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat rumah sakit. Ini aku beli mainan buat Fuchsia," ucap Dimas.Dimas mengulurkan sebuah paper bag kepadaku sambil tersenyum lagi.Aku ragu-ragu menerimanya jadi aku berkata, "Kamu nggak harus melakukan semua ini, Dim. Fucshia... Dia..."Dimas memotong ucapanku, "Dia masih belum bisa nerima aku. Iya, aku tahu akan hal itu. Bukan Fuchsia aja yang belum menerimaku tapi kamu juga. Namun, bukan berarti aku nggak boleh kasih apapun ke kamu ataupun ke Fuschia kan?""Tapi, Dim...""Zara, ini itu c
Read more

47. Masa Depanku

Aku lihat Dimas tersenyum, dia kemudian menjawab, "Aku sedang terpesona melihat masa depanku."Sontak aku kembali memukul lengannya karena kesal, "Kamu sejak kapan sih jadi banyak gombal kayak gitu?"Dimas menyahut santai, "Hm. Aku itu nggak pernah sama sekali menggombal ke kamu. Semuanya asli dari dalam hati aku. Tahu nggak?"Aku mencibir, "Mana mungkin? Kamu itu dulu nggak pernah kayak gini. Kamu pasti kebanyakan nonton drama jadi sekarang ngomong aneh kayak gitu."Dimas menggelengkan kepalanya, "Astaga, Ra. Sejak kapan aku punya waktu untuk nonton drama? Lagi pula, jika aku punya waktu luang yang lebih banyak lebih baik kan aku gunakan buat ketemu sama kamu."Aku terdiam untuk sejenak, memilih untuk tidak menanggapi perkataan pria itu yang semakin menjurus."Kamu kerja lagi jam berapa, Dim?" tanyaku mencoba untuk mengalihkan perhatiannya."Setengah jam lagi. Eh, Ra. Kamu mau makan makanan Korea nggak?" tanya Dimas tiba-tiba.Aku sedikit terkejut tetapi dengan cepat aku melirik ke a
Read more

48. Yang Laki itu Siapa?

Aku menunggu kira-kira apa yang akan dikirimkan oleh Alya. Namun, begitu pesanku berubah warnanya menjadi biru, Alya tak kunjung membalas pesanku itu hingga aku menjadi penasaran.Dan kira-kira hampir satu jam lamanya aku menunggu balasan dari Alya, pesan itu akhirnya muncul di ponselku.'Mbak, kalau aku jadi Mbak sih aku nggak bakal mikirin masalah diriku sendiri. Aku nggak masalah jika orang lain akan menganggapku seperti apa yang penting anakku bisa ketemu sama papanya dan juga keluarganya yang lain. Kita sebagai wanita harus mengerti posisi kita. Sebagai seorang ibu pasti ingin kan anaknya mendapatkan kasih sayang yang lengkap, jadi lebih baik kalau aku ya ngalah sedikit demi kebahagiaan anak.'Aku membaca balasan itu sampai berulang kali sebelum akhirnya dengan kesal aku membalas pesan itu.'Ya, itu sih kalau kamu. Aku nggak bisa merendahkan diriku sendiri di depan mereka yang sudah melakukan banyak kesalahan. Andai kata, Gandhy tidak bersikap pengecut dan tetap berusaha untuk me
Read more

49. Kamu Minder?

Aku menghentikan kegiatanku lalu mulai menjawab pertanyaan Mama, "Zara masih baik-baik aja sama Dimas. Tapi memang dia lagi ngomong sama Zara mau lebih dekat dengan Zara sama Fuchsia."Aku mengatakan hal itu dengan ragu-ragu dan sedikit hati-hati karena takut jika nanti malah akan membuat Mama semakin bertanya-tanya karena jujur saja aku sendiri masih belum begitu yakin dengan Dimas. Bukan berarti aku berpikir jika Dimas itu bukan pria yang baik, malah melainkan sebaiknya.Dimas terlalu baik dan terkadang aku masih berpikir dia pantas mendapatkan wanita yang lebih baik daripada aku."Kamu ragu sama dia, Ra? Mama lihat dia sangat baik dan kelihatan tulus waktu ketemu sama Fuchsia," ucap Mama.Aku mengangguk setuju akan hal itu, "Kalau masalah itu Zara nggak meragukan itu sama sekali malahan, Ma. Zara tahu betul jika Dimas memang tulus dan nggak pernah sedikitpun berpura-pura. Tapi Zara malah nggak yakin sama diri Zara sendiri."Mama membalas dengan cepat, "Maksud kamu, kamu minder sama
Read more

50. Belum Boleh

Setelah pesan itu terkirim dan terbaca oleh Dimas, jantungku malah berdetak tidak karuan. Aku bahkan menahan napasku saat aku lihat di aplikasi itu ada tulisan 'Dimas is typing'.Ya Allah, apa yang akan dikatakan oleh Dimas? Aku jadi takut sendiri. Pasalnya ini pertama kalinya aku memiliki inisiatif sendiri untuk mengajak bertemu Dimas. Apa nanti Dimas malah memiliki tanggapan yang buruk mengenai hal ini? Sungguh aku tak sanggup jika demikian.Namun, memang sepertinya aneh sekali jika aku yang mengajak dia duluan. Aku menepuk jidatku sendiri setelah sadar telah salah langkah."Wanita berjilbab tidak seperti ini, Zara. Apa yang sudah kamu lakukan? Kalau mau mendekatkan diri ya nggak boleh keluar bersama kan? Tapi harusnya di rumah saja. Aduh, Zara. Kamu bodoh," gumamku pada diriku sendiri.Balasan Dimas telah datang dan aku dengan takut-takut meliriknya dengan salah satu mataku aku pejamkan dengan sengaja. Dan dengan mulai memberanikan diriku aku membacanya.'Aku senang sekali, Zara. S
Read more
PREV
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status