Setelah pesan itu terkirim dan terbaca oleh Dimas, jantungku malah berdetak tidak karuan. Aku bahkan menahan napasku saat aku lihat di aplikasi itu ada tulisan 'Dimas is typing'.Ya Allah, apa yang akan dikatakan oleh Dimas? Aku jadi takut sendiri. Pasalnya ini pertama kalinya aku memiliki inisiatif sendiri untuk mengajak bertemu Dimas. Apa nanti Dimas malah memiliki tanggapan yang buruk mengenai hal ini? Sungguh aku tak sanggup jika demikian.Namun, memang sepertinya aneh sekali jika aku yang mengajak dia duluan. Aku menepuk jidatku sendiri setelah sadar telah salah langkah."Wanita berjilbab tidak seperti ini, Zara. Apa yang sudah kamu lakukan? Kalau mau mendekatkan diri ya nggak boleh keluar bersama kan? Tapi harusnya di rumah saja. Aduh, Zara. Kamu bodoh," gumamku pada diriku sendiri.Balasan Dimas telah datang dan aku dengan takut-takut meliriknya dengan salah satu mataku aku pejamkan dengan sengaja. Dan dengan mulai memberanikan diriku aku membacanya.'Aku senang sekali, Zara. S
Pertanyaan-pertanyaan mereka semakin membuatku merasa sedang diinterogasi layaknya seorang penjahat yang berada di kantor polisi. Tetapi aku segera menyadarkan diriku sendiri. Aku ini bukan penjahatnya, aku ini kan korban. Yang selingkuh itu bukan aku, melainkan si mantan suami. Jadi, kenapa aku yang harus merasa tak nyaman? Dan aku kira aku akan sedikit merasa sedih ataupun bercampur aduk ketika mengingat masalah itu, namun nyatanya hatiku baik-baik saja.Tak ada sedikitpun rasa gelisah yang aku rasakan malah aku seperti sedang menceritakan hal yang biasa saja. Jadi, ketika mereka mulai bertanya lebih detail mengenai masalah itu, aku tak terlalu menganggapnya serius."Aku tidak tahu mengenai hal itu," ucapku jujur."Loh, Miss. Kok bisa nggak tahu sih? Terus memangnya pas cerai nggak ketemu?" tanya Tya tak percaya."Nggak. Aku terakhir ketemu dia ya pas saat dia mau ngajak aku cerai itu tapi ya sudah nggak apa-apa," ujarku."Hah!? Nggak apa-apa gimana Miss? Itu berarti Miss sudah ng
"Minum lagi, Miss," ucap Anindia tak enak kala melihatku tersedak begitu.Aku mengangguk dan minum air lagi sampai tenggorokanku terasa nyaman."Maaf ya Miss. Aku jadi nggak enak karena terus-terusan tanya sama Miss Zara," ujar Anindia yang sekarang wajahnya memerah sepertinya karena malu."Yah, kamu sih. Keterlaluan tanyanya," ujar Tya.Marlina ikut berkata, "Tanyanya kaya detektif aja kamu itu, Nin."Anindia kembali meringis.Aku hanya tersenyum tipis lalu menjawab, "Nggak apa-apa, Miss. Kalau masalah jodoh itu aku nggak tahu tapi memang aku lagi dekat dengan seseorang.""Wah, Miss. Udah move on. Alhamdulillah. Aku ikutan senang dengernya," ujar Tya."Eh, bentar lagi mau bel nih. Oh iya, Miss. Nanti habis pulang mau nggak ikutan kita nongkrong dulu di cafe sebentar? Mumpung nanti nggak terlalu malam kan pulangnya? Miss Zara lagi ada janji nggak?" tanya Marlina."Nggak ada sih, Miss. Tapi cuma sebentar aja kan? Soalnya aku takut jika anakku nyariin aku. Aku kan sudah lama banget ning
Aku menggelengkan kepalaku sebagai sebuah jawaban. Bukan, ini bukan berarti Dimas tak cocok menjadi ayahnya Fuchsia tetapi Dimas memang bukan ayah Fuchsia.Aku tak setuju jika Fuchsia menganggap Dimas sebagai ayahnya. Fuchsia itu anak perempuan. Bagaimanapun juga Dimas tak memiliki darah dengan anakku dan aku memang tak berharap dia bisa menggantikan sosok ayah di mata Fuchsia.Ayah Fuchsia tetap Gandhy. Dan jika suatu saat nanti, aku benar menikah dengan Dimas, aku tak akan meminta Fuchsia memanggil Dimas dengan sebutan 'Ayah' atau 'Bapak.' Dia tetap akan menjadi orang asing yang akan dianggap Fuchsia sebagai Paman. "Fuchsia, minta Om Dokter minum jusnya dong," ucapku pada Fuchsia.Gadis kecilku itu berhenti bermain lalu berkata pelan, "Iya, Ma.""Om Dokter, minum!" ucap Fuchsia yang terdengar seperti nada memerintah.Aku menahan senyumku. Dimas malah tertawa kecil, sebuah tawa renyah yang seolah mengganggu ketenanganku."Ah, tentu saja, anak cantik. Om minum ya jusnya. Tapi Fuchsia
Dimas tersenyum manja, "Oh, baiklah. Kau tak perlu bertanya tapi akan langsung aku beritahu jawabannya. Zara Adinda, sekarang ini aku, Dimas Arundaya benar-benar semakin jatuh cinta sama kamu dan aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Bolehkah aku segera melamarmu dalam waktu dekat?"Aku tentu saja melongo kaget ketika mendengar perkataan pria muda itu. Aku sampai tak tahu harus berkata apa dan seolah aku sedang tersesat di sebuah jalan dan tak bisa menemukan jalan yang terbaik."Tak perlu kamu jawab sekarang. Nanti saja jawabnya. Kamu boleh memikirkannya sampai kamu benar-benar telah siap memberiku sebuah jawaban. Ah, iya, besok kamu mau nggak makan siang sama aku di dekat cafe rumah sakit? Besok sibuk nggak?"Aku yang masih sedikit syok atas perkataan Dimas itu berusaha menjawab dengan tenang lagi, "Nggak sibuk, kok. Besok aku hanya ada satu jadwal les di siang hari. Ya, nanti aku akan ke sana."Dimas kembali tersenyum lebar, "Oke. Aku balik dulu ya, Zara. Assalamualaikum.""Wa'
Aku sangat berharap jika Dimas akan menjawab jika dia tidak akan melanjutkan hubungan kami namun alih-alih berkata seperti itu, aku malah mendengar Dimas berkata, "Tentu saja serius, Ma. Dimas bahkan sudah mengenalkannya sama Mama dan Papa. Mana mungkin Dimas tidak serius dengan hubungan kami?" Aku semakin tidak enak berada di sekitar mereka apalagi sekarang mereka sedang membahas hubunganku dengan Dimas. Jujur saja aku ingin sekali menghilang dari tempat itu sekarang juga."Terus kamu benar-benar mau nekat menikah sama Zara, Dim? Kamu mau menikah dengan Zara yang sudah janda? Iya?" tanya Mama Dimas tajam."Iya. Memangnya apa yang salah dengan status Zara kalau dia sudah pernah menikah? Yang terpenting kan kami bisa saling menerima keadaan kami masing-masing. Bukankah itu sudah cukup sebagai landasan sebuah hubungan yang akan bergerak ke jenjang yang lebih serius?" jawab Dimas yang membuatku tak percaya.Mama Dimas menggelengkan kepalanya dan bingung menatap anaknya itu, "Dimas, itu
Hatiku sakit ketika mendengar percakapan mereka dan segera saja aku dengan cepat mengambil motorku lalu kemudian pergi dari tempat itu.Aku takut jika aku tetap di sana, Dimas malah akan bertengkar dengan kedua orang tuanya. Karena, akan lebih baik jika aku segera menghilang.Aku melihat Dimas yang mengejarku di belakang tetapi aku tak peduli dan tetap saja mengemudikan motorku dengan kencang. "Zara. Berhenti. Zara!" Batinku menangis ketika mendengar teriakan Dimas yang memanggil-manggil namaku. Ketika sudah berada cukup jauh dari tempat itu, berbelok ke sebuah taman yang cukup sepi dan kemudian memarkir motorku tak jauh dari sebuah bangku.Aku beruntung sekali karena tak ada orang yang ada di sekitar tempat itu sehingga aku pun bisa menumpahkan apa yang sedang bergejolak di dalam hatiku sekarang ini."Maafin aku, Dim. Aku juga sakit tapi sepertinya ini yang terbaik untuk kita berdua. Semoga kamu bahagia dengan pilihan orang tua kamu," gumamku sedih.Air mataku turun begitu derasnya
Anindia berkata beberapa detik lamanya tak ada yang mengeluarkan suara, "Sebenarnya Miss Zara nggak salah kok kalau memang Miss mau menjauhi pria itu. Tapi apa Miss sudah yakin dengan keputusan ini?"Aku terdiam, hatiku sendiri sebenarnya juga ragu walaupun berkali-kali aku telah meyakinkan diriku jika itu memanglah keputusan yang terbaik namun masih saja aku tak bisa tenang."Apa nggak lebih baik jika Miss bertemu lagi dengan pria itu dan kemudian membicarakan masalah ini baik-baik?" ucap Tya.Marlina menyela, "Kalau dipikir-pikir ini pasti itu sangat berat. Kalian tahu kan tadi Miss Zara itu bilang orang tuanya pria itu tak mengizinkan mereka berdua ini bersama karena status Miss Zara. Nah, bukannya kalau tetap nekat dilanjutkan pun pasti akan bermasalah nantinya. Takutku, masalah ini akan diungkit-ungkit ketika mereka sudah menikah. Bagaimana menurut kalian?"Tya menggelengkan kepalanya, "Tapi kalau dilihat dari ceritanya Miss Zara tadi juga orang tua pria itu baru tahu masalah ini
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "
"Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant
"Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut
"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin