Anindia berkata beberapa detik lamanya tak ada yang mengeluarkan suara, "Sebenarnya Miss Zara nggak salah kok kalau memang Miss mau menjauhi pria itu. Tapi apa Miss sudah yakin dengan keputusan ini?"Aku terdiam, hatiku sendiri sebenarnya juga ragu walaupun berkali-kali aku telah meyakinkan diriku jika itu memanglah keputusan yang terbaik namun masih saja aku tak bisa tenang."Apa nggak lebih baik jika Miss bertemu lagi dengan pria itu dan kemudian membicarakan masalah ini baik-baik?" ucap Tya.Marlina menyela, "Kalau dipikir-pikir ini pasti itu sangat berat. Kalian tahu kan tadi Miss Zara itu bilang orang tuanya pria itu tak mengizinkan mereka berdua ini bersama karena status Miss Zara. Nah, bukannya kalau tetap nekat dilanjutkan pun pasti akan bermasalah nantinya. Takutku, masalah ini akan diungkit-ungkit ketika mereka sudah menikah. Bagaimana menurut kalian?"Tya menggelengkan kepalanya, "Tapi kalau dilihat dari ceritanya Miss Zara tadi juga orang tua pria itu baru tahu masalah ini
Dengan tegas aku langsung menolak tawaran Tya. Oh, tidak sekarang. Di saat semuanya masih serba abu-abu dan aku pun masih memerlukan waktu yang cukup banyak untuk memulihkan hatiku.Selain itu, masalah dengan Dimas pun belum berakhir dan aku baru bisa bernapas dengan lega ketika Dimas sudah tak lagi menghubungiku dan mungkin menikah. Di malam harinya, sekitar pukul delapan malam, sebuah panggilan yang tak aku kenal nomornya masuk ke dalam ponselku.Aku sedikit ragu-ragu untuk menjawab panggilan itu tetapi karena takut jika memang ada sesuatu yang penting maka aku segera mengangkatnya, "Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam." Jantungku langsung saja berdegup kencang ketika mendengar suara seorang wanita yang sepertinya aku kenal."Ini Mamanya Dimas, Zara."Aku gugup seketika, "Ya Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Hening. Selama beberapa detik aku menunggu masih juga belum terdengar suara dari Mama Dimas lagi tetapi aku tak membiarkan hal itu berlangsung lama karena ini pun juga sudah malam
"Iya, saya Zara," jawabku dengan kebingungan karena jujur saja aku benar-benar tak mengenal wanita yang berdiri di depanku saat ini.Begitu aku menjawab pertanyaannya, aku melihat dia mengayunkan tangannya ke udara dan kemudian menamparku dengan cukup keras. Sontak saja aku menoleh kaget ke arah wanita itu.Aku yang sangat terkejut itu kemudian kembali melihat wanita itu melayangkan tangannya kembali tetapi dengan cepat aku tepis tangannya dan ku dorong wanita itu hingga tak bisa menamparku lagi."Anda ini siapa? Apa maksud Anda menampar saya?" ucapku tak terima.Pasalnya saat ini kami sedang berada di dekat front desk dan di sana banyak sekali terdapat orang tua murid yang sedang menunggu putra-putri mereka sedang belajar di dalam kelas. Selain itu, ada beberapa rekan kerjaku dan juga dua staff front desk yang ada di sana."Janda sialan. Kau pasti masih mengganggu Dimas sampai Dimas tak menanggapiku sama sekali," ucap wanita itu dengan mata yang membara karena marah.Aku terbelalak k
Kami berempat tak berani menatap ke arah manajer kami yang duduk di depan kami. Aku sendiri duduk di kursi paling depan dan sedang menunggu Miss Ratih berbicara.Aku bahkan tak berani melirik ke arah ketiga temanku yang lain karena mereka pun juga pasti sedang kebingungan juga."Miss Zara, apa yang tadi terjadi, Miss? Bisa tolong jelaskan?" ucap Miss Ratih.Aku mengangguk, "Maaf, Miss. Saya sebenarnya tidak mengenal wanita tadi tapi saya tahu saya tidak bersalah karena membuat keributan di bimbingan belajar ini."Miss Ratih mengangguk, "Saya tidak bermaksud untuk ikut campur dengan masalah Miss dengan wanita tadi tetapi alangkah baiknya jika tadi Miss mengajak wanita tadi itu untuk berbicara di tempat lain atau setidaknya di luar gedung ini.""Saya tahu, Miss," jawabku pelan."Kalau Miss Zara tahu harusnya Miss tidak menanggapi omongan wanita tadi itu dan malah membuat keributan di dalam bimbingan belajar ini. Miss, tadi itu di sana banyak sekali orang tua murid yang sedang menunggu p
Tya mengulas sebuah senyum manis kepadaku yang justru malah semakin membuatku kebingungan."Benar? Kalian dipecat? Kok bisa? Memangnya kalian salah apa? Apa jangan-jangan kalian dipecat juga karena membelaku tadi?"Ketiga temanku itu malah terlihat begitu santai sampai aku semakin tak mengerti sebenarnya apa yang sedang terjadi pada mereka.Karena mereka malah tetap diam saja jadi aku langsung saja berkata lagi, "Enggak boleh. Kalian nggak boleh dipecat karena bukan kalian yang salah. Kalian tidak salah. Aku yang salah. Aku akan bilang ke Miss Ratih biar kalian nggak jadi dipecat."Aku langsung saja turun dari motorku tetapi kemudian cepat-cepat Marlina mencegahku, "Tenang dulu dong, Miss. Kami nggak dipecat kok."Aku menatap bingung pada Marlina, "Loh tadi katanya kalian sudah nggak kerja lagi di sini? Apa kalian cuman bercanda tadi? Tell me!"Aku mulai sedikit kesal karena mengira jika mereka telah mempermainkanku."Nggak, Miss. Kami nggak bercanda sama sekali. Kami memang sudah ber
Namun, rupanya mereka tak jadi ke tempat bimbingan belajar itu lagi karena merasa mereka bisa menagihnya melewati pesan singkat.Tak disangka-sangka, Miss Ratih mengirimkan permintaan mereka dalam waktu singkat dan bahkan aku yang baru saja bekerja selama dua bulan lamanya di tempat itu juga ikut mendapatkan uang ganti rugi yang jumlahnya cukup lumayan setara dengan setengah gajiku. Sehingga untuk sementara waktu aku bisa tenang karena masih memiliki tabungan untuk beberapa bulan ke depan. Aku pun juga masih memiliki murid les privat yang juga pendapatannya sangat-sangat lumayan."Kamu kok nggak berangkat kerja, Ra?" tanya mama.Aku yang baru saja mengambil air minum dari kulkas itu pun sontak menoleh ke arah mama. Aku memang belum mengatakan jika aku dipecat. Aku hanya belum bisa menjelaskan alasan kenapa aku bisa dipecat dari bimbingan belajar tersebut. Hal ini juga karena ini menyangkut masalah Dimas dan pasti pembahasannya juga tidak akan terlalu mudah."Zara sudah dipecat, Ma,"
Pesanku dibalas oleh mamanya Dimas dan tanpa kusangka-sangka beliau malah meminta maaf kepadaku dan berkata jika beliau tak tahu menahu mengenai masalah calon menantunya itu yang ternyata menemuiku.Aku juga sedikit lebih lega rasanya karena itu berarti mamanya Dimas masih memiliki hati. Namun, aku tak membalas pesan mamanya Dimas. Intinya aku sudah mencoba untuk ikhlas dan tak memikirkan masalah itu lagi. Aku ingin fokus ke depan dan bangkit menjadi orang yang lebih kuat dan tahan banting.Sekitar satu minggu kemudian, aku mencoba untuk mencari-cari kerja kembali karena aku tak mungkin mengandalkan uang tabunganku terus menerus. Aku mulai memasukkan satu persatu lamaran kerja ke berbagai sekolah dengan harapan aku akan mendapatkan pekerjaan yang baru. Tak ada alasan bagiku untuk menunda-nunda sebab waktu itu terus berjalan.Sedangkan ketiga temanku yang lain juga ikut mencari pekerjaan baru. Walaupun belum bertemu kembali, tetapi masih hampir setiap hari berkomunikasi melalui aplikas
Tes tersebut berlangsung cukup lama tetapi aku bersyukur karena bisa melewatinya meskipun tak yakin dengan hasilnya. Kami harus menunggu selama kurang lebih satu minggu lamanya untuk mengetahui apakah kami akan diterima atau tidak.Aku yang mendapatkan giliran awal saat tes itu lalu pergi terlebih dulu karena aku juga harus segera mengajar di tempat lain. Aku masih memiliki beberapa murid privat sehingga aku masih harus tetap membagi waktu dengan baik."Good afternoon, Nadine," sapaku pada muridku yang masih berusia enam tahun."Good afternoon, Miss Zara," balasnya dengan senyum yang luar biasa manis."Let's go upstair!" ajak Nadine kepadaku.Aku mengangguk. Gadis kecil itu telah terbiasa menggunakan bahasa Inggris di rumah sebagai bahasa berkomunikasi lantaran orang tuanya yang memang menginginkan anaknya itu lebih menggunakan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Orang tuanya orang Indonesia asli tetapi memang salah satu dari mereka sering sekali ke luar negeri untuk keperluan bi
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "
"Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant
"Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut
"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin