Beranda / Pernikahan / Talak Aku, Mas! / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Talak Aku, Mas!: Bab 21 - Bab 30

98 Bab

21. Mulai Bangkit

"Nggak sih, sebenarnya bisa dibilang mungkin aku yang lebay aja, Ra," ucap Alea lalu dia menghapus air matanya.Aku menaikkan alisku heran. Teman baikku yang satu itu benar-benar luar biasa aneh. Beberapa detik yang lalu dia baru saja menangis tersedu-sedu sampai aku langsung cemas, tetapi sekarang ini dia kembali tersenyum konyol. "Kamu ini gimana sih?" ucapku mulai sebal.Alea tertawa kecil, "Uh, itu hanya masalah Mas Rangga yang sering banget maksain keinginan dia.""Maksain keinginan dia gimana?"tanyaku lagi.Alea mengerucutkan bibirnya, "Dia nyuruh aku buat manjangin rambutku tetapi aku nggak mau. Kesel banget aku itu. Aku mau potong rambut di salon yang baru aja buka di salah satu mall gitu, eh dia nggak mau nganterin. Kan bikin jengkel dia."Aku menatap tak percaya setelah mendengar ocehan Alea."Astaga, Ra. Kamu ini, aku kira apaan tahu nggak sih?" ucapku sambil menggelengkan kepalaku.Alea tertawa kecil."Omong-omong kamu tadi ke sini diantar sama suami kamu?" tanyaku yang sa
Baca selengkapnya

22. Ide Baru

"Mbak, Mbak. Sudah bawa persyaratannya?" tanya seorang petugas di bagian pendaftaran.Aku baru saja tersadar dari lamunanku."Oh, syarat? Saya belum membawanya, Pak. Saya ke sini mau tanya tentang persyaratan dan juga biayanya dulu, Pak," ujarku."Oh, begitu. Sebentar kalau begitu," ucap petugas yang aku taksir usianya mungkin tak jauh berbeda denganku."Ini yang mengajukan pihak Anda atau suami, Mbak?" tanya petugas itu."Saya, Pak," jawabku pelan.Aku melihat dia lalu menulis sesuatu di atas kertas itu dan tak lama kemudian, dia menyerahkannya kepadaku."Ini, Mbak. Persyaratannya sudah saya tulis di kertas itu ya beserta biayanya," ucap petugas itu."Terima kasih, Pak," ucapku lalu mulai membaca kertas itu."Kalau masih bingung, bisa ditanyakan pada saya," ucapnya.Aku mengangguk dan mengerutkan dahiku, "Pak, ini jadi harus ada surat pengantar dari desa ya?""Benar, Mbak," jawabnya.Aku kembali meneguk salivaku dalam-dalam.Astagfirullah, ini sama saja aku dengan tidak sengaja member
Baca selengkapnya

23. Tetangga Julid

Aku ingin sekali membalas ucapan orang itu tetapi aku berusaha membuat diriku sabar. Masalahnya, orang itu seusia papaku dan juga dia adalah salah satu perangkat desa. Jika aku menanggapi omongannya yang tidak enak, nantinya pasti akan canggung sekali saat aku pergi ke kantor desa lagi.Maka, dari pada aku terlibat pertengkaran tidak jelas, aku memilih untuk segera cabut dari kantor desa dan langsung menuju ke tempat rental komputer yang letaknya dekat dengan tempatku bersekolahku dulu."Mas, tolong dong ini difotocopy, masing-masing lima ya Mas," ucapku."Baik, Mbak. Kertasnya biasa ya?" tanya Mas penjaga."Biasa aja, Mas. Oh iya, komputernya ada yang kosong nggak Mas? Saya mau cetak photo," ujarku."Ada, Mbak. Yang komputer paling ujung, Mbak," sahut Mas penjaga."Oke, Mas."Aku melangkahkan kakiku menuju komputer itu dan mulai mencetak beberapa photo. Foto yang aku maksud itu adalah foto bukti perselingkuhan Mas Gandhy dan Deva. Aku mencetak semuanya tanpa aku lewatkan sedikitpun s
Baca selengkapnya

24. Persidangan

Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku memilih untuk berhenti berjualan roti. Memang benar apa yang dikatakan oleh Mama dan juga Mbah Uti, tubuhku rasanya tidak kuat jika harus berkeliling untuk menjual roti-roti itu. Selain itu, waktu yang kuhabiskan pun lebih banyak sehingga membuat anakku rasanya seperti kehilangan banyak waktu denganku. Jadi, aku sekarang lebih memfokuskan diriku untuk mengambil lebih banyak job sebagai seorang pengajar les privat. Sebenarnya, ini bukan semata-mata karena aku malu berjualan roti itu tetapi lebih pada kesehatanku serta waktuku. Namun, memang ternyata ketika aku berhenti Mama dan Mbah Uti begitu lega. "Zara, mau daftar ke pengadilan dulu, Ma," pamitku yang sudah selesai menyiapkan semua berkas gugatan cerai. Mama terlihat memandangku dengan tatapan sayunya, dia berujar pelan sambil duduk di salah satu kursi yang kosong. "Mama sebenarnya nggak pernah menyangka kalau rumah tangga kamu harus berakhir seperti ini. Perceraian itu memang
Baca selengkapnya

25. Status Baru

Namun, setelah aku berpikir panjang mengenai pernikahan kedua yang beberapa kali telah diucapkan oleh Mama dan juga Mbah Utiku itu, aku tetap belum bisa melakukannya. Sepertinya, meskipun nanti masa iddah ku selesai, aku belum bisa memikirkan hal itu. Saat ini prioritasku adalah lepas dari orang itu lalu kemudian mencoba untuk mendorong diriku lagi untuk mendapatkan apa yang sudah aku impikan sejak dulu. Aku hanya ingin membuat anakku bangga akan diriku dan menjamin kehidupannya. Saat usai sidang itu, Gandhy tetap saja tak menghubungiku untuk menanyakan anaknya. Rasanya aku semakin mulai paham jika dia memang lepas tangan sepenuhnya untuk ikut merawat anakku. Padahal awalnya aku sempat mengira jika Gandhy akan merebut hak asuh atau setidaknya akan terjadi perebutan mengenai hak asuh anakku itu. Ternyata Gandhy memang tak peduli sepenuhnya tetapi aku justru merasa sangat lega sekali karena itu artinya aku bisa mendapatkan hak asuh sepenuhnya atas anakku. "Gandhy nggak datang?" ta
Baca selengkapnya

26. Dokter Muda

Oh, tidak. Aku tidak ada waktu untuk ini. Dengan segera aku berkata, "Dok, anak saya demam tinggi. Baru tadi."Aku lihat dokter muda itu sedikit tersentak dan langsung saja menjawab, "Anak? Oh, i-iya saya periksa dulu."Aku mengangguk dan ke luar dari ruang itu, membiarkan dokter menangani anakku. Di luar ruangan, aku dan Mamaku tak henti-hentinya memanjatkan doa untuk Fuchsia. Ya, Tuhan. Aku sangat takut. Aku tak mau terjadi apa-apa dengan putriku, ucapku dalam hati.Aku bahkan tak kuasa menahan diri untuk tak berdiri mondar-mandir di depan unit gawat darurat. Sekitar lima menit kemudian, dokter itu ke luar dari sana dan langsung menuju ke arahku dengan raut wajah cemas."Demamnya cukup tinggi. Apa ada keluhan selain demam?" tanya dokter itu.Tiba-tiba Mamaku menjawab, "Ada, Dok. Tadi dia bilang saat pipis dia bilang perih."Aku tentu saja terkejut dan menoleh ke arah Mama tetapi tak mengeluarkan sepatah kata pun.Aku lalu mendengar dokter itu berkata lagi, "Kalau begitu tes urine d
Baca selengkapnya

27. Sikap Berlebihan Sang Dokter

Pada akhirnya aku tidak jadi mengatakannya pada Dimas. Menurutku, akan sangat aneh jika aku langsung mengatakan hal itu. Aku hanya takut jika dia akan salah paham. Meskipun aku yakin dia bukan orang seperti itu tetapi tetap saja aku tidak yakin untuk menjelaskan statusku."Zara, hasilnya sudah ke luar, kamu tunggu di sini ya?" ujarnya usai dia menerima sebuah panggilan."Hah!? Biar aku saja yang ambil," ucapku karena tak enak. Aku tak mau membuat rekan kerjanya jadi salah paham. Ini karena saat aku di ruang tunggu tadi, aku sudah merasa sedang diperhatikan oleh rekan-rekan kerjanya yang juga mengenakan jas putih khas dokter itu."Nggak apa-apa. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan petugas laborat, jadi sekalian saja," ucapnya yang aku yakin itu hanya alasan saja.Aku pun hanya bisa mengangguk dan membiarkan pria itu mengambil hasil laboratorium Fuchsia. Mama masih setia memangku Fuchsia. Aku lalu mengambil ponselku yang tak aku sentuh sejak aku menginjakkan kakiku di rumah sa
Baca selengkapnya

28. Akta Cerai

Aku menimbang-nimbang sesaat sebelum menjawab pertanyaan Dimas tetapi aku memutuskan untuk mengatakannya saja."Aku lagi proses cerai, Dim," jawabku pelan.Aku tak memandang wajah Dimas jadi aku tak tahu bagaimana reaksinya sekarang ini. "Mungkin kamu udah bosan mendengarnya tapi aku tetap mau bilang sabar ya, Ra?" ucapnya.Tanpa menoleh aku menjawab, "Iya.""Kalau begitu, boleh aku minta nomor telepon kamu yang baru?" tanyanya.Aku sontak menoleh ke arahnya dan dia ternyata sudah mengeluarkan ponselnya, ekspresinya terlihat bersemangat.Tunggu dulu, dia kok jadi..."Ah, maaf. Aku tahu aku mungkin terdengar egois sekali. Tapi Ra, jujur saja aku jadi berpikir mungkin nanti masih ada kesempatan buat kita. Maaf aku...""Nomor ponsel aku..."Dimas sedikit terkejut aku langsung mengatakannya tetapi dia kemudian dia tersenyum kepadaku.Ah, entahlah. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun, yang jelas, untuk saat ini aku hanya ingin mencoba untuk membalas kebaikan Dimas. Dia sudah
Baca selengkapnya

29. Alasan Basi

Pak Agung dan Bu Sri terlihat sekali tak bisa menjawab pertanyaan Mamaku. Tetapi, memang sungguh sangat keterlaluan sekali laki-laki itu. Mama berbicara lagi, "Gandhy mau lepas tanggung jawab sepenuhnya ya Pak?"Pak Agung menjawab pelan, "Ya sebenarnya bukan seperti itu. Gandhy mungkin masih belum bisa menerima semuanya jadi dia masih perlu waktu untuk membiasakan diri."Nggak nyambung, Pak. Aku membatin dengan kesal."Pak, sebenarnya saya tidak peduli jika dia itu mau menikah atau bahkan mau berpoligami sekalipun. Tapi yang saya mau itu dia sedikit saja mau peduli pada anaknya. Fuchsia itu masih sangat kecil sekali, Pak. Apa Gandhy nggak pernah berpikir sedikitpun tentang perkembangan anaknya?" tanyaku.Pak Agung sepertinya kembali kehilangan kata-katanya karena dia tidak membalas perkataanku. Bu Sri yang malah kembali berujar, "Gandhy itu pasti tetap mikirin anaknya. Ibu sering lihat kadang dia itu melamun sendirian dan sekarang ini lebih banyak diam dibandingkan dulu. Sedikit atau
Baca selengkapnya

30. Toko Dekat Rumah

"Tahu, Mbak. Sudah ramai malah. Tapi ada banyak juga sih yang bingung soalnya kan Mbak Zara sudah nggak di sini lagi jadi pada bertanya-tanya gitu. Masih ragu-ragu itu benar atau enggak gitu," jawab Mas Yoga dengan ekspresi penuh tanda tanya.Aku tersenyum samar, "Ya surat itu dibuat dengan penuh pertimbangan, Mas. Kan di surat itu juga ada penjelasan-penjelasan tentang kenapa aku sampai juga dia. Ada buktinya kok, Mas. Masa kalau nggak ada buktinya, aku berani gugat dia sih Mas?"Mas Yoga terlihat terkejut tetapi sepertinya dia juga sudah menduga, "Ya Allah, Mbak. Yang sabar ya Mbak. Sudah biarin aja orang yang kayak gitu. Mbak kan berpendidikan nanti pasti banyak yang mau sama Mbak Zara. Saya aja mau, Mbak."Aku tertawa kecil mendengarnya tentu saja dia hanya bercanda."Ya sudah, Mas. Saya pamit dulu ya? Nanti keburu siang soalnya," ucapku lagi."Iya, Mbak. Hati-hati ya!" ucap Mas Yoga.Saat aku mulai menyalakan mesin motorku, aku cukup sebal karena bensinku ternyata hampir habis. Na
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status