Perkataan Aaron seakan menyadarkan diriku akan sesuatu, yakni tindakan jauh lebih penting dibandingkan ucapan.Tentu hal ini juga berdasarkan pengalaman yang telah aku dapatkan sebelumnya. Bukan berarti aku berniat membandingkan Aaron dengan Gandhy, tapi aku hanya bisa memikirkan dua orang itu.Dulunya, saat aku belum menikah dengan Gandhy, pria itu hampir setiap hari mengucapkan cinta kepadaku. Namun, tak ada perbuatannya yang memperlihatkan rasa cintanya itu.Setelah menikah pun, malah kata-kata cinta itu tak pernah keluar lagi dari mulutnya. Dan semakin lama semakin perasaannya itu aku ragukan. Pada akhirnya semua terbukti dengan dirinya yang kemudian tak bisa menjaga kesetiaannya kepadaku.Berbeda dengan Aaron, pria itu sama sekali tak pernah berucap cinta tapi tindakannya selalu menujukkan demikian."Kamu tersenyum," ucap Aaron tiba-tiba."Eh, iya. Aaron, hati-hati dan sampai ketemu lagi," ucapku.Aaron mengangguk, "Secepatnya kita akan bertemu lagi."Melepas kepergiannya untuk k
"Kalau kamu lupa, oke. Aku akan katakan sekali lagi. Gandhy, denger ya. Aku nggak pernah menyesali keputusanku bercerai sama kamu, jelas aku malah sangat bersyukur sekali. Aku tidak perlu hidup dengan orang yang hanya bisa membuatku sakit hati. Jadi, jangan pernah sekalipun berpikir jika aku masih suka sama kamu," putusku yang sudah tak bisa lagi menahan rasa jengkel.Gandhy mengangguk, terlihat menyerah, "Kalau gitu bisa aku ketemu Fuchsia sekarang?""Bisa. Tunggu aja. Sebentar lagi dia pasti pulang, mau Magrib," jelasku.Gandhy kemudian terlihat mau masuk ke dalam rumah dan langsung saja aku cegah dengan cepat, "Mau ke mana kamu?""Masuk. Masa kamu tega biarin aku di luar?"Aku sontak berkacak pinggang sambil menatap nyalang ke arah laki-laki yang tidak tahu malu itu, "Kamu itu tadi nggak dengar apa gimana sih? Kamu itu udah bukan siapa-siapaku lagi. Terus kamu pikir, aku akan biarin kamu masuk ke dalam rumah?"Matanya melebar, terlihat kaget saat mendengarku berkata demikian, dia l
"Demi anak kita?" ulangku sambil menatap jengkel ke arah Gandhy.Gandhy menyahut, "Iya, Ra. Kamu nggak mau kan kalau Fuchsia sampai kebingungan?"Ya Rabb, bolehkah aku meminta laki-laki di depanku ini dilenyapkan saja? Aku berdoa dalam hati.Namun, setelah sadar aku telah mendoakan hal buruk untuk seseorang, aku segera beristighfar. Aku teringat jika doa yang buruk itu akan kembali pada orang yang meminta, sedangkan doa baik akan diijabah oleh Sang Pencipta.Tentu saja aku tak mau hal buruk terjadi kepadaku. Harus kuingat jika aku ini bukan orang buruk yang akan senang jika nasib orang lain tidak baik. Sehingga aku yang mulai sadar ini berkata dengan tenang, "Itu tugasmu sendiri. Kamu sendiri yang harus cari cara untuk mendapatkan hati Fuchsia lagi. Aku hanya bisa mencoba untuk membuatnya kembali ingat. Masalah dia bisa menerima kamu atau nggak, itu bukan urusanku. Aku nggak akan ikut campur.""Lho, Ra. Kok gitu? Kamu nggak mau Fuchsia bahagia?""Ngomong apa kamu? Justru aku yang pal
Setelah memikirkannya sesaat, aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku, membuang segala gengsi serta keraguan yang ada."Ya, Aaron. Kamu sudah menjadi salah satu bagian yang penting di dalam hidup saya."Lewat layar ponsel itu, aku bisa melihat sudut bibirnya terangkat sedikit membentuk sebuah senyum manis yang ditujukan kepadaku."Senang sekali mendengar hal itu. Zara, semoga segalanya berjalan dengan lancar ya."Aku mengangguk, "Saya juga berharap begitu.""Ya sudah, istirahatlah dulu. Besok kamu kan harus kerja. Sampaikan salam saya pada Fuchsia ya?""Iya, nanti saya sampaikan. Selamat istirahat juga, Aaron.""Assalamualaikum, Zara.""Waalaikumsalam, Aaron."Usai panggilan video call itu terputus, kupenjamkan mataku dan masuk ke dalam alam mimpi.Di pagi hari setelah malam itu, papa yang baru saja pulang dari luar kota bertanya kepadaku, "Gandhy kemarin ke sini ya kata mama?""Iya, Pa."Papa yang sedang menyesap kopinya itu membalas, "Kamu nggak apa-apa, Nduk?"Aku menoleh, "Kena
"Aku memang bukan siapa-siapa kamu, Ra. Tapi aku berhak kasih saran ke kamu soal siapa yang akan jadi suami kamu," ujar Gandhy yang langsung membuatku ingin mengusirnya dari rumahku sekarang juga.Aku tertawa miris mendengarnya, masih tak aku percaya bagaimana bisa dia berbicara dengan tidak tahu malu seperti itu. Apa urat malunya sudah benar-benar putus?"Kasih saran? Gandhy, kamu itu udah nggak waras atau bagaimana? Kamu sama sekali nggak berhak ikut campur masalahku, dalam hal apapun.""Aku berhak. Karena ini tetap menyangkut Fuchsia
"Ya nggak lah, Nin. Kenapa aku harus cerita ini sama dia? Kan dia nggak ada hubungannya sama masalah aku. Ini menyangkut Fuchsia dan kami saja," jawabku cepat.Anindia mendesah, dia menepuk punggungku pelan, "Ra, sebentar lagi kan kamu akan segera menikah kan sama Aaron. Aku rasa dia tetap berhak tahu dong. Kan nantinya jika telah menikah, saat Gandhy ingin menemui Fuchsia kan tetap ada Aaron. Menurutku kamu harus tetap bilang sama dia."Aku hanya mengangguk. Namun, di dalam hatiku aku tetap merasa masalah persoalan anakku bukanlah menjadi urusan Aaron untuk saat ini. Dia masih orang luar sehingga tak perlu aku dia tahu terlebihd dahulu. Akan tetapi, ketika nantinya kami telah bersama, tentu dia memang harus tahu.Beberapa hari setelahnya, aku merasa cukup bisa mengontrol diriku. Meskipun Gandhy memang datang lebih sering, aku tak sering harus berpapasan dengannya karena memang secara sengaja aku menghindarinya.Di samping itu, memang dia hanya memiliki urusan dengan Fuchsia dan mama
"Apa-apaan sih kamu, Ra. Maksud kamu apa coba?" ujar Deva, menatapku tak suka.Dengan malas dan kuharap ini untuk yang terakhir kalinya aku berkata, "Deva, kamu ini sebenarnya orang macam apa sih? Kamu itu udah masuk ke dalam rumah tangga orang lain lalu dengan percaya diri banget, kamu datang ke sini. Kamu nggak tahu malu banget sih, Dev."Kulihat wajah Deva memerah, entah karena malu atau kenapa."Ka-kamu... ""Kamu itu harusnya sadar diri, Dev. Kalau memang kamu itu nggak bisa pertahanin hubungan asmara kamu, kamu nggak berhak menuduhku seperti tadi. Aku bukan kamu, aku bukan perusak rumah tangga orang lain. Ngerti kamu, Dev?""Dan sekali lagi, jangan pernah kamu sangkut pautin aku lagi sama masalah kamu yang nggak penting itu."Setelah mengatakannya dengan berapi-api, aku pun buru-buru pergi. Bukannya aku takut menghadapi wanita itu, namun aku hanya malas dan muak saja berbicara dengannya. Waktuku terlalu berharga untuk urusan sepele seperti itu.Saat aku buka pintu kantor, Anindi
"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "
"Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant
"Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut
"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin