Home / Rumah Tangga / DINGINNYA SUAMIKU / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of DINGINNYA SUAMIKU: Chapter 11 - Chapter 20

122 Chapters

Masih Ragu

Aku rasanya kembali hidup setelah mendengar cerita Mas Arsya tadi siang. Namun, beberapa hal masih membuatku ragu untuk percaya sepenuhnya. Dia masih belum menceritakan tentang isi pesan Whatsapp dengan Jihan yang begitu mesra. Apa iya pesan seperti itu hanya untuk mengecoh Dokter Fahira? Aneh, bukan? Jika ditilik, mana mungkin orang lain yang jarang bertemu akan mengecek pesan Whatsapp pribadi. Bahkan, aku saja jarang membuka ponselnya. Namun, aku tidak mau banyak bertanya karena pastinya jawabannya akan membela diri. Dengan hubungan yang cukup membaik ini, akan kugunakan untuk mencari tahu sendiri. Aku sekarang sendirian di apartemen yang tidak terlalu besar. Jika aku perkirakan, mungkin luasnya hanya sekitar enam kali enam meter persegi. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Bukan masalah besar kecilnya tempat ini, hanya saja, aku merasa seperti tahanan. Entah kenapa, dia juga tidak mengizinkanku kembali ke rumah saja. Satu
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Akankah Berpisah?

"Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku saat mobil memasuki areal bandara. "Katamu mau pulang? Aku akan antar kamu pulang." Mas Arsya tersenyum seraya tangannya mengusap pelan puncak kepalaku. Aku pun diam, mencoba mencerna sendiri arti kata pulang bagi Mas Arsya. Dia menggandeng tanganku menuju bagian dalam bandara. Jemari tangan kanannya menyatu dengan jemari tangan kiriku. Entah kenapa, rasanya seperti ada sengatan yang membuat tubuhku lebih rileks.Mas Arsya membeli dua tiket ke Jogja. Sekarang, aku baru tahu jika Mas Arsya ingin membawaku pulang ke tempat kelahiranku. Apa dia ingin mengembalikanku kepada Ayah dan Ibu? Pantas saja saat aku ingin makan mi ayam, dia tidak terlalu peduli. Pun saat aku bilang tidak jadi menginginkan makanan itu, dia tidak mempermasalahkan. Rupanya, Mas Arsya sedang mengejar penerbangan terakhir ke Jogja, pukul setengah sembilan malam. "Ayo, kita ke ruang tunggu," ajaknya sambil meraih tangan kiriku. Aku bergeming, menatapnya penuh tanya. Namun, laki-lak
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Babak Belur

"Cukup, Mas! Hentikan!" teriakku. Melihat laki-laki yang aku sayangi terluka, rasanya aku ikut merasakan sakitnya. Meskipun kekecewaan terhadap Mas Arsya masih begitu besar, cintaku untuknya juga tak kalah besar. "Buat apa kamu belain dia, Nda?!" teriak Mas Danu. Matanya benar-benar berkilat amarah. "Aku nggak belain siapa-siapa, Mas. Aku cuma minta berhenti pakai kekerasan. Tolong," kataku lirih, tapi harusnya orang-orang di ruangan ini masih bisa mendengar. Mas Danu tidak mendengarkanku dan justru kembali akan memberikan pukulan kepada Mas Arsya. Aku sontak menarik kausnya, tapi gagal. Mas Danu dengan beringas menyerang Mas Arsya yang sama sekali tidak melawan. Aku menangis melihat kejadian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ayah dan Ibu yang mencoba melerai pun kalah dan tidak didengar. Entah kenapa Mas Danu bisa semarah itu. "Mas Danu, cukup!" teriakku sambil berusaha menarik tangannya. "Ini untuk sakit hati yang kamu berikan untuk Manda!" ucap Mas Danu berang. Dia
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Pesan tak Terduga

"Bukannya ada Mas Adam? Kenapa harus nyusahin Mas Arsya, sih? Kan, Mas Adam yang calon suaminya," jawabku ketus. Tidak tahu kenapa, aku sangat kesal dengan pasangan itu. "Loh, Manda? Arsya mana?" Suara Adam melunak. Padahal, saat dia mengira yang mengangkat telepon adalah Mas Arsya, ucapannya seperti tidak ada etika. Langsung tembak tanpa basa-basi dan urusan Jihan seperti sangat penting. "Mas Arsya lagi sakit, kenapa?" Lagi aku menjawab tak acuh. "Ya sudah, maaf kalau mengganggu." Adam pun mengakhiri panggilan. Terserah saja. Malas sekali, saat aku dan Mas Arsya sedang ingin memperbaiki hubungan, justru ada pengganggu. Aku masih saja curiga dengan Adam dan Jihan. Apa benar mereka akan menikah? Kalau iya, kenapa semua urusan harus melibatkan Mas Arsya? Fokusku justru pada chat mesra antara Mas Arsya dan Jihan. Yang satu itu akan terus menghantuiku meskipun Adam dan Jihan sudah menikah.Ah, hampir saja aku tenggelam dalam lamunan kalau Mas Arsya tidak menyentuh lenganku. "Ayo, pul
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Membingungkan

Hari ketiga setelah Mas Arsya terluka, wajahnya sedikit membaik. Paling tidak, beberapa luka lebamnya sedikit pudar. Meskipun kami lebih banyak saling diam, setidaknya situasi di sini lebih tenang. Tidak ada Jihan, Adam, ataupun Dokter Fahira. Pagi ini, aku menemani Ibu di kebun. Aku memetik daun bayam, sedangkan Ibu memetik cabai dan tomat. Kami akan memasak sayur bayam dan membuat sambal. Untuk gorengannya, Ibu sudah membeli beberapa papan tempe dan ayam potong. "Bu, ini buah apa?" tanyaku menunjuk tanaman dalam pot yang sudah berbuah. Seperti hasil cangkok sehingga meskipun belum terlalu besar, tanamannya sudah bisa berbuah. "Itu cermai, Nak. Ayahmu yang beli sebulan lalu. Manis buahnya, cobain aja," sahut Ibu yang masih sibuk memetik cabai. Aku yang penasaran, langsung berjongkok di hadapan tanaman itu dan memetik buah mungil yang sudah berwarna kekuningan. Ibu benar, rasanya manis sekali. Aku bahkan tidak ingin berhenti memakannya. Satu buah, dua buah, tiga buah ... ah, sudah
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Tembak di Tempat

Aku meninggalkan Mas Danu yang tadi pamit ke toilet. Kemudian, menyusul Kaniya dan Adam yang sedari tadi menjadi fokusku di dalam studio bioskop. Kenapa mereka bisa jalan berdua? Bergandengan tangan, mesra pula? Aku terus membuntuti mereka sampai areal foodcourt. Tanpa pikir panjang, aku duduk di kursi yang satu meja dengan mereka. Kaniya tersenyum lebar saat melihatku, tapi tidak dengan Adam. Kaniya langsung memelukku dan berkicau layaknya burung. Pertanyaan beruntun keluar dari mulut mungilnya sampai aku kebingungan bagaimana menjawabnya. Sementara aku dan Kaniya sedang melepas rindu, terlihat Adam justru merogoh saku celana. Dia mengeluarkan ponsel. "Jangan hubungi Mas Arsya atau siapa pun!" gertakku seraya menatap tajam ke arah Adam. Kaniya menyentak, menyebut namaku sambil menepuk lenganku. Dia mungkin bingung dengan caraku berbicara dengan Adam. Sebelumnya, aku sangat menghormati pemilik daycare itu, tapi tidak sekarang. "Aku mau kalian jujur, terutama Mas Adam. Apa yang se
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Aku Menyerah

Aku terus beristigfar sepanjang perjalanan menuju rumah Mas Arsya. Mengingat foto Jihan yang dipapah Mas Arsya masuk ke rumah kami yang diperlihatkan oleh Mas Danu, rasanya sangat menyakitkan. Namun, aku harus memastikan secara langsung sekaligus meminta kepastian. Aku bahkan tidak perlu lagi penjelasan karena semua bukti bisa bicara. Saat taksi yang aku dan Mas Danu tumpangi sampai di depan rumah Mas Arsya, aku langsung turun. Aku pun mendapati mobil Mas Arsya di halaman. Malam-malam begini, pintu rumah terbuka lebar dan lampu menyala begitu benderang. Perempuan yang entah sejak kapan menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku sedang duduk di ruang tamu sambil menekuri ponsel. Dia masih belum sadar kehadiranku. "Ada tamu rupanya?" kataku sesantai mungkin. Jihan gelagapan dan langsung bangkit dari duduk. Dia menatapku dengan raut terkejut. Dari bola matanya yang terus beredar, aku tahu dia tidak tenang dan kebingungan. "Ma–Manda? Kamu—" Ucapan Jihan dipotong oleh suara dari dalam.
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Titik Balik

Aku tidak tahu kapan kembali ke hotel. Yang kutahu, ini sudah masuk waktu Subuh dan aku bangun di atas kasur empuk. Pandangan ini menelisik sekitar yang cahayanya tidak terlalu terang, Mas Danu tengah terlelap di sofa dengan kedua tangan terlipat di dada. Ah iya, aku ingat ini di mana. Ini kamar hotel tempat kami menginap. Mungkinkah aku tertidur saat di taman? Memalukan, Manda!Aku begitu beruntung punya kakak seperti Mas Danu. Namun, saat teringat apa yang terjadi semalam, kembali dada ini terasa sesak. Apakah keputusanku sudah benar? Atau ini hanya tipu daya syetan yang suka akan perceraian? Entahlah. Aku segera bangkit untuk mengambil wudu. Saat keluar dari kamar mandi, kudapati suara dering ponsel yang tidak begitu nyaring. Itu suara alarm yang biasa kusetel setiap hari. Kucari dalam tas, tapi tidak ada. Kutajamkan pendengaran dan mengikuti arah suara. Ponselku ada di balik bantal Mas Danu. Gegas kuraih ponsel itu dan mematikan alarmnya. Saat baru saja kumatikan alarm, notifik
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Layang-layang

Aku terus menunduk dan memakai tudung jaket saat keluar dari kamar hotel. Malu pastinya harus jalan berdua dengan perempuan jadi-jadian. Meskipun begitu, mata ini sesekali melirik ke sekitar, setiap orang yang kami lewati menatap aneh dan banyak juga yang menertawakan. Akan tetapi, Mas Danu dengan percaya diri justru berjalan melenggak-lenggok seperti layaknya perempuan. Bahkan, dia tidak segan menyapa orang-orang dengan gaya lemah gemulai. Sampai di lobi, taksi yang kami pesan pun sudah menunggu. Tak perlu basa-basi, kami langsung masuk dan sama-sama menghela napas lega. Kemudian, kami tertawa puas tanpa peduli si sopir yang kulihat mencuri-curi pandang dari kaca spion di atasnya. "Pantes nggak, Nda?" tanya Mas Danu di sela derai tawa. "Banget, Mas. Tapi, malunya juga kebangetan. Nggak lagi-lagi, deh!" sahutku sambil sesekali tertawa juga, lalu membuka tudung jaket dari kepala. Hanya beberapa menit berselang, taksi pun berhenti di depan sebuah toko pakaian. Aku pun langsung turu
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more

Sakit

Saat sinar sang raja siang mulai terik, Mas Danu mengajak makan siang. Setelah menurunkan layang-layang, kami menuju satu tempat makan yang masih ada di dalam areal Pantai Ancol. Rasa lapar memang sudah membuntuti sejak tadi, tapi saat beberapa makanan terhidang di depan mata, aku justru enggan menyentuhnya. Perut ini kembali berulah dengan rasa mual. "Ayo, makan! Kamu nggak akan kenyang dengan lihatin makanan aja," tegur Mas Danu yang sudah melahap nasi dengan ayam goreng. Aku menggeleng, lalu mendorong piring di hadapan agar menjauh. Aku lapar, tapi sungguh, perut rasanya tidak ingin diisi. "Mau disuapi?" tanya Mas Danu dan langsung mengangsurkan satu sendok nasi dengan lauk ke mulutku. "Enggak, Mas. Mas Danu aja yang makan, aku minum ini aja." Kuambil satu gelas jus alpukat di meja, lalu meneguknya pelan menggunakan sedotan. "Oke, tapi habiskan." Mas Danu lantas melanjutkan makan. Aku mulai merasa sungkan dengan Mas Danu. Meskipun dia kakakku, tidak mungkin aku merepotkannya
last updateLast Updated : 2022-06-08
Read more
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status