Saat sinar sang raja siang mulai terik, Mas Danu mengajak makan siang. Setelah menurunkan layang-layang, kami menuju satu tempat makan yang masih ada di dalam areal Pantai Ancol. Rasa lapar memang sudah membuntuti sejak tadi, tapi saat beberapa makanan terhidang di depan mata, aku justru enggan menyentuhnya. Perut ini kembali berulah dengan rasa mual. "Ayo, makan! Kamu nggak akan kenyang dengan lihatin makanan aja," tegur Mas Danu yang sudah melahap nasi dengan ayam goreng. Aku menggeleng, lalu mendorong piring di hadapan agar menjauh. Aku lapar, tapi sungguh, perut rasanya tidak ingin diisi. "Mau disuapi?" tanya Mas Danu dan langsung mengangsurkan satu sendok nasi dengan lauk ke mulutku. "Enggak, Mas. Mas Danu aja yang makan, aku minum ini aja." Kuambil satu gelas jus alpukat di meja, lalu meneguknya pelan menggunakan sedotan. "Oke, tapi habiskan." Mas Danu lantas melanjutkan makan. Aku mulai merasa sungkan dengan Mas Danu. Meskipun dia kakakku, tidak mungkin aku merepotkannya
Hah? Aku? Merampok hati kakak sendiri? Aneh sekali Mas Danu itu. "Ogah, Mas! Mending rampok dompet Mas Danu aja, buat jajan cilok di alun-alun," jawabku. "Ambil semua! Tahu, kan, di mana dompetku?" sahut kakakku itu sambil tetap melihat ke depan. Kami berdua terus berdebat hingga sampai rumah. Seperti kebiasaan dulu, kami tidak akan berhenti saling menjawab hingga obrolan awal menguap dan menjadi candaan tak berarti. Namun, aku merasa sedikit aneh karena Ayah dan Ibu yang tiba-tiba diam. Padahal, tadi kami tertawa bersama. Aku langsung diantar Ibu masuk ke kamar dan menyuruhku beristirahat. Untuk beberapa hari ke depan, dokter masih menyarankanku untuk bedrest hingga jadwal kontrol berikutnya. Aku menurut dan mencoba untuk tidur karena memang tadi kami pulang selepas Magrib. Meskipun administrasi sudah diurus siang hari, aku masih harus menunggu hingga dokter yang menangani melakukan pemeriksaan terakhir di sore hari. Jadi, malam begini kami baru sampai rumah. Aku mendengar suar
Aku terbangun dengan perasaan yang sangat tenang. Entah kenapa, setelah salat istikharah sebelum tidur tadi, sebuah mimpi indah hadir. Aku bersama seorang laki-laki yang wajahnya tampak samar. Dia tengah menggendong bayi dan aku menggoda bayi itu hingga tertawa. Mungkinkah itu Mas Arsya? Allah ... apa ini pertanda agar aku lebih bersabar dan memperbaiki pernikahan yang baru seumur jagung? Bismillah, aku akan mencoba ikhlas dan menjalani apa yang takdir tetapkan. Aku memejam sejenak, lalu menarik napas panjang seraya beristigfar. Semangat, Manda! Kubuka mata kembali dan bersamaan dengan itu, aroma menggugah selera membuatku mengingknkan makanan itu. Namun, saat aku keluar dari kamar, hanya mendapati suasana sepi. Mata ini pun mencari keberadaan jam dinding. "Baru jam sepuluh?" Mataku membulat. Berarti, aku tadi hanya tertidur selama satu jam? Kalau begitu, pasti Ayah, Ibu, dan Mas Danu sudah tidur. Lalu, aroma martabak telur tadi itu apa? Tidak mungkin ada masalah dengan indra penc
PoV ArsyaBoleh dibilang, aku laki-laki plin-plan, tapi semua yang terjadi memang membuatku harus mementingkan keselamatan Manda. Sejak kecelakaannya dengan Arumi dan kutahu dia sedang hamil, rasa takut kehilangannya makin besar. Namun, caraku untuk menyelamatkannya adalah dengan menyakitinya. Hal seperti itu memang sering dilakukan untuk mengecoh musuh. Saat orang yang kita sayangi tidak kita pedulikan, saat itu musuh lengah untuk menyerangnya karena merasa percuma, target tidak akan berpengaruh karena yang menjadi korban bukanlah orang yang disayangi. Jujur, aku tidak tega melihat Manda tersiksa batin. Namun, aku tidak ada pilihan lain dan tidak mungkin melibatkannya dalam masalah. Bukan menjadi sok pintar dan bisa menyelesaikan masalah sendiri, tapi keselamatan Manda lebih penting. Aku selalu menuruti apa mau Jihan. Hanya saja, kepura-puraannya berhubungan dengan Adam memang membuatku terkecoh. Apalagi, Adam yang cenderung pendiam itu seperti membela Jihan. Dan rupanya, laki-lak
Ayah langsung masuk ke kamar saat aku dan Mas Arsya tiba di rumah. Beliau seperti enggan melihat kehadiran Mas Arsya. Untungnya, masih ada Ibu yang menyambut meskipun terlihat terpaksa. Suasana sangat canggung. Aku juga bingung apakah Ayah bisa luluh lagi. Namun, sepanjang perjalanan tadi, aku dan Mas Arsya sudah berbicara banyak dan kami akan berjuang bersama untuk mendapat restu orang tua, terutama restu dari Mama Mertua dan Ayah Husni. "Ajak suamimu ke kamar, Nak. Kalian istirahatlah, sudah larut malam," ucap Ibu lembut seraya tersenyum kepadaku. "Mas Danu?" Aku menoleh ke arah pintu yang akan dikunci oleh Ibu. "Nanti juga pulang, nggak usah dipikirin." Ibu lantas masuk ke kamar setelah mengunci pintu dan mengambil kuncinya. Ya, mungkin Mas Danu membawa kunci cadangan. Aku kemudian mengajak Mas Arsya masuk ke kamar dan menyuruhnya istirahat. Dia terlihat begitu lelah. Wajah tegasnya sedikit lesu.Laki-laki berkemeja putih itu duduk di tepi tempat tidur, lalu menarik tanganku h
Aku membantu Ibu memasak untuk sarapan setelah Mas Arsya beranjak untuk mandi. Kali ini Ibu menyiapkan bahan untuk membuat sayur lodeh. Makanan itu salah satu kesukaan Ayah. Biasanya akan dimakan dengan ikan tongkol goreng. Namun, kali ini Ibu justru menyiapkan ikan nila. Aku diminta merapikan meja makan sementara Ibu tinggal memastikan sayurnya matang. Tak lama, Mas Arsya datang, dia sudah terlihat tampan. Baju milik Mas Danu untungnya pas di tubuhnya. "Nak, panggil ayahmu di kebun. Kita sarapan sama-sama!" perintah Ibu. Aku langsung meninggalkan meja makan dan Mas Arsya mengikuti. Dia menahanku di pintu yang menghubungkan dapur dengan kebun saat akan menghampiri Ayah. Dia ingin mengobrol dengan Ayah, agar lebih dekat. Memang, dulu sebelum kamu menikah, Mas Arsya hanya beberapa kali bertemu Ayah. Saat melamarku, saat memberikan berkas numpang nikah, dan saat pernikahan kami. Tidak ada kata apel malam minggu ataupun sekadar membuat image baik di mata calon mertua. Semua terjadi san
Aku menatap Mas Arsya dengan pandangan yang sudah memburam. Kaca-kaca di mata ini perlahan penuh dan mengumpul menjadi kristal hangat, lalu terjun tanpa perintah membuat parit kecil di pipi. Rasanya begitu sesak mendengar kenyataan dengan cara seperti ini. Bukan masalah Mas Danu kakak kandungku atau bukan. Namun, rasa yang dia simpan untukku yang membuat hati ini justru timbul kekecewaan. Pantas saja sejak dulu, Mas Danu selalu menjaga jarak denganku ketika sudah berwudu. Rupanya, itu alasannya. Mas Arsya menggeleng sembari mengusap wajahku dengan telapak tangan. "Jaga emosi, Sayang."Aku lantas menghambur dalam pelukan Mas Arsya. Saat satu masalah selesai, kenapa ada masalah lain yang datang tanpa jeda? "Kita masuk, bicarakan baik-baik," ajak Mas Arsya beberapa saat kemudian. Dia melerai pelukan perlahan. Aku menggeleng pelan, lalu berkata, "Aku ikut Mas Arsya saja sekarang. Aku nggak mau di sini."Mas Arsya tersenyum dan kembali mengusap wajahku dengan lembut. Dia lantas menguca
Seharian aku tidak bersemangat melakukan apa pun. Tubuh ini entah kenapa malas diajak beraktivitas, bahkan hanya sekadar turun dari tempat tidur pun enggan. Ponsel juga berkali-kali berdering, tapi kuabaikan. Mata memilih terus memejam. Meskipun badan merasa sehat, aku terus saja mengantuk. Entah kenapa, baru kali ini aku merasakannya. Aku berusaha membuka mata saat mendengar suara derit pintu. Terlihat sosok Mas Danu di berjalan mendekat. "Nda, kamu dari habis sarapan, belum keluar kamar lagi. Ini sudah hampir Asar, kamu belum salat Zuhur, kan? Belum makan siang juga," ucapnya bersamaan dengan gerakan kecil di tempat tidur. Aku kembali membuka mata. Mas Danu sudah duduk di tepi tempat tidurku. Kemudian, dia mengusap lenganku dan kembali memanggil. Aku ingin sekali berkeluh kesah dengan Mas Danu, tapi rasanya sungkan sekarang. Meskipun aku tetap menganggapnya kakak, tapi rasanya sudah berbeda. Kami menjadi seolah-olah terpisah oleh sekat tak terlihat. Aku lantas bangkit karena me
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S