Aku membantu Ibu memasak untuk sarapan setelah Mas Arsya beranjak untuk mandi. Kali ini Ibu menyiapkan bahan untuk membuat sayur lodeh. Makanan itu salah satu kesukaan Ayah. Biasanya akan dimakan dengan ikan tongkol goreng. Namun, kali ini Ibu justru menyiapkan ikan nila. Aku diminta merapikan meja makan sementara Ibu tinggal memastikan sayurnya matang. Tak lama, Mas Arsya datang, dia sudah terlihat tampan. Baju milik Mas Danu untungnya pas di tubuhnya. "Nak, panggil ayahmu di kebun. Kita sarapan sama-sama!" perintah Ibu. Aku langsung meninggalkan meja makan dan Mas Arsya mengikuti. Dia menahanku di pintu yang menghubungkan dapur dengan kebun saat akan menghampiri Ayah. Dia ingin mengobrol dengan Ayah, agar lebih dekat. Memang, dulu sebelum kamu menikah, Mas Arsya hanya beberapa kali bertemu Ayah. Saat melamarku, saat memberikan berkas numpang nikah, dan saat pernikahan kami. Tidak ada kata apel malam minggu ataupun sekadar membuat image baik di mata calon mertua. Semua terjadi san
Aku menatap Mas Arsya dengan pandangan yang sudah memburam. Kaca-kaca di mata ini perlahan penuh dan mengumpul menjadi kristal hangat, lalu terjun tanpa perintah membuat parit kecil di pipi. Rasanya begitu sesak mendengar kenyataan dengan cara seperti ini. Bukan masalah Mas Danu kakak kandungku atau bukan. Namun, rasa yang dia simpan untukku yang membuat hati ini justru timbul kekecewaan. Pantas saja sejak dulu, Mas Danu selalu menjaga jarak denganku ketika sudah berwudu. Rupanya, itu alasannya. Mas Arsya menggeleng sembari mengusap wajahku dengan telapak tangan. "Jaga emosi, Sayang."Aku lantas menghambur dalam pelukan Mas Arsya. Saat satu masalah selesai, kenapa ada masalah lain yang datang tanpa jeda? "Kita masuk, bicarakan baik-baik," ajak Mas Arsya beberapa saat kemudian. Dia melerai pelukan perlahan. Aku menggeleng pelan, lalu berkata, "Aku ikut Mas Arsya saja sekarang. Aku nggak mau di sini."Mas Arsya tersenyum dan kembali mengusap wajahku dengan lembut. Dia lantas menguca
Seharian aku tidak bersemangat melakukan apa pun. Tubuh ini entah kenapa malas diajak beraktivitas, bahkan hanya sekadar turun dari tempat tidur pun enggan. Ponsel juga berkali-kali berdering, tapi kuabaikan. Mata memilih terus memejam. Meskipun badan merasa sehat, aku terus saja mengantuk. Entah kenapa, baru kali ini aku merasakannya. Aku berusaha membuka mata saat mendengar suara derit pintu. Terlihat sosok Mas Danu di berjalan mendekat. "Nda, kamu dari habis sarapan, belum keluar kamar lagi. Ini sudah hampir Asar, kamu belum salat Zuhur, kan? Belum makan siang juga," ucapnya bersamaan dengan gerakan kecil di tempat tidur. Aku kembali membuka mata. Mas Danu sudah duduk di tepi tempat tidurku. Kemudian, dia mengusap lenganku dan kembali memanggil. Aku ingin sekali berkeluh kesah dengan Mas Danu, tapi rasanya sungkan sekarang. Meskipun aku tetap menganggapnya kakak, tapi rasanya sudah berbeda. Kami menjadi seolah-olah terpisah oleh sekat tak terlihat. Aku lantas bangkit karena me
Sungguh mengejutkan saat tiba-tiba Jihan menelepon. Dia meminta Mas Arsya membatalkan laporan serta tuntutan yang ditujukan untuknya. Mas Arsya memang belum cerita tentang kelanjutan dari kasus Jihan. Rupanya, hari Jumat pagi, Mas Arsya dengan Mama dan Papa sudah melapor ke pihak berwajib. Dan hari Sabtu ini, Jihan sudah dipanggil ke kantor polisi untuk memberikan keterangan meskipun statusnya belum menjadi tersangka. Aku bisa mendengarkan percakapan mereka karena Mas Arsya menyalakan loudspeaker. Jihan terdengar mengiba dan suaranya seperti menangis. Namun, Mas Arsya teguh pendirian dan tidak akan mundur. Sebagai sesama perempuan, ada sisi diriku yang tidak tega. Namun, saat mengingat apa yang Jihan lakukan kepada keluarga kecilku, itu sulit dimaafkan. "Kamu akan menerima akibat lebih buruk jika tidak mencabut laporan itu, Mas Arsya!" ucap Jihan dan itu terdengar seperti sebuah ancaman. Mas Arsya pun tidak goyah. Dia berpikir, apa yang bisa dilakukan seseorang di dalam jeruji bes
PoV DanuAku bukan laki-laki seperti kebanyakan yang suka mempermainkan wanita. Amanda, dia gadis polos yang membuatku ingin selalu menjaganya. Sikap manjanya sama sekali tidak membuatku marah, tapi justru aku nantikan setiap saat. Kalau dia tidak bermanja, bisa dipastikan ada dua hal penyebabnya. Satu, ketika dia sakit, lalu yang kedua, ketika dia sedang marah. Saat aku akan lulus SMA, rasa terpendamku untuk gadis mungil itu tanpa sengaja ketahuan oleh Ibu. Beliau plllmelihat tulisan ungkapan cintaku untuk Amanda dalam salah satu buku milikku. Saat itu, Ibu tengah menata kamarku dan buku itu masih berada di bawah bantal, tempat yang sama saat malam harinya setelah kuisi lagi dengan kata hati. Ibu marah bukan main karena beliau memang menganggapku anak kandung sendiri, meskipun kenyataannya bukan. Beliau menghardik dan menegaskan jika rasaku itu salah. Hingga tiba saat kelulusan, aku memutuskan ikut dengan Surya, teman sekelas, bekerja di Kalimantan. Tujuan utama adalah untuk mengh
Waktu yang tidak kusuka akhirnya datang. Mas Arsya kembali ke Jakarta bersama orang tuanya. Padahal, masih ada jadwal penerbangan sore dan malam, tapi laki-laki itu menurut saat Papa dan Mama mengajaknya pergi siang hari. Berat? Pasti. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak karena kandungan ini yang paling penting. Aku tidak ingin mengorbankan anak hanya untuk ego sendiri. Sebelum kondisi benar-benar pulih, aku harus terima dengan hubungan jarak jauh. Lagi pula, Mas Arsya berjanji selalu menghubungi saat senggang dan menengokku setiap akhir pekan. "Jaga hati, jaga diri, dan jaga baby," ucap Mas Arsya sebelum pergi. Dia juga memberiku ciuman di kening cukup lama. Aku yang tidak suka perpisahan, hanya diam sambil menahan genangan air di pelupuk mata. LDR itu sangat menyiksa. Hanya bisa berkabar lewat tulisan, suara, dan terkadang video. Namun, itu semua hanya sesaat menghilangkan rindu. Aku terus melihat taksi yang kian menjauh membawa Mas Arsya hingga menghilang di ujung jalan. Aku k
Letupan dari butiran jagung yang dibakar itu menambah suasana ramai malam ini. Selepas Isya, Mas Danu mengundang para remaja masjid dan beberapa teman seusia kami di desa ini ke rumah. Halaman rumah Ayah penuh dengan anak muda. Ada yang bermain gitar sambil berdendang, ada yang sibuk mengipasi arang agar baranya tidak mati, ada pula yang asyik mengobrol. Drink jar ukuran besar yang tadi penuh terisi teh panas, kini tinggal setengah. Semuanya larut dalam suasana malam yang bertabur bintang dan jagung bakar. "Seneng, kan?" tanya Mas Danu. Dia menghampiriku yang duduk sendiri di atas gelaran tikar. Aku yang sedang mengunyah jagung bakar, hanya menanggapi dengan anggukan. Aku sudah mengabiskan dua buah jagung bakar dan sekarang yang ketiga. Rasanya mulut ini tidak mau berhenti mengunyah. Lagi pula, aku sengaja belum makan malam tadi. "Nda," panggil laki-laki yang sudah duduk di samping. "Apa?" sahutku tanpa menoleh. Aku masih asyik melihat anak-anak remaja yang bersenda gurau sambil
Aku beringsut, berdiri, lalu melangkah mundur. Hati ini begitu sakit mendengar pengakuan Mas Danu meskipun dalam igauan. Aku seperti adik tidak tahu diri yang membiarkan kakaknya terluka tanpa memberikan obat. Namun, bagaimana cara untuk menyembuhkan lara Mas Danu pun aku tidak tahu. Mulut laki-laki yang masih terpejam itu terus bergumam dengan gerak kepala seperti orang gelisah. Namun, aku bingung harus berbuat apa. Aku juga seperti ikut merasakan sakit yang Mas Danu alami. "Nak, kenapa?"Aku terkesiap saat Ibu bertanya seraya menepuk bahuku. Aku menggeleng kasar sambil menahan air yang hampir tumpah dari pelupuk mata. Dada ini pun kembang-kempis menahan sesak yang tiba-tiba datang. Ibu tanpa bertanya lagi, langsung memelukku. Mungkin beliau paham dengan apa yang kurasakan. Aku pun tergugu dalam hangatnya dekapan Ibu tanpa peduli jika dikatakan cengeng. Inilah rasaku yang sebenarnya ingin tumpah setiap melihat Mas Danu. Laki-laki berstatus kakak untukku itu memang setiap hari sel
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S