Home / Urban / Menantu yang Sengaja Dibuang / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Menantu yang Sengaja Dibuang: Chapter 21 - Chapter 30

48 Chapters

Kan Kubuat Menyesal

"Buk, lagi apa?" sapaku pada wanita yang kupanggil ManMer dalam hati itu. Tentu kalau secara langsung aku tak berani memanggil demikian. Wanita itu tampak gelagapan, ia memicing ke arah seorang wanita di sampingnya. Dia Widya. "Loh, kenapa kamu ada di sini?" "Ini rumah aku.""Apa? Jangan ngarang deh, ini tuh rumah Karin, Karin kan punya banyak rumah gak kayak kamu yang hanya berasal dari panti dan mampunya cuma ngontrak aja. Ya, walaupun sudah punya hasil dari cafe si, gak akan seberapa." "Buk, ini bener rumahku," ujarku meyakinkan. Wanita paruh baya yang telah mengenakan baju yang sangat berbeda dari biasanya ini tergelak dengan posisi tangan memegang ponsel yang kulirik posisi kamera terbuka. "Ibuk mau Mutia fotoin?" "E-em, eng-enggak. Siapa juga yang mau foto-foto di sini." "Wid, kamu ngapain di sini?" "Mau ketemu pemilik rumah ini, tapi saat kutelfon Mbak Karin, ternyata dia lagi d
Read more

Nyinyir? Tidak Bisu Lagi

Sudah beberapa hari rasanya aku diteror oleh perkataan ManMer yang masih saja membuat status yang mengundang ocehan ibu-ibu kompleks yang tidak-tidak. *Mentang-mentang sudah kaya, sudah punya usaha. Ya, paling usahanya bentar lagi juga collapes, secara gitu kan. *Eh, seriusan, Jeng? Mutia sudah kaya sekarang? Keren ya dia. Seakan semua orang sudah tau kalau yang dikutip dalam status ManMer itu adalah aku. Baik, aku masih berusaha diam, tetapi semakin aku diam mereka semakin saja ngelunjak. *Jangan deh makan di cafe Mutia, khawatir ikan yang dipakai bukan ikan yang semestinya. Coba deh kalian bayangkan, dari mana coba uang sehingga bisa langsung kaya gitu. Dulu, dia itu hanya seorang pengemis yang nyamar jadi menantu rumahku ini. *Dih, iya juga, ya. Jadi bergidik. Jangan-jangan yang dipakai itu daging yang udah busuk, sehingga dapat harga murah, dijualnya mahal. *Enggak, Jeng. Aku pernah makan di sana, tapi gak mahal kok. Ba
Read more

Menyesal? Sudah Terlambat

"Buk, apa ibuk selama ini bohong sama Agha? Ibuk bilang rumah ini aman? Agha minta ibuk tabung uang buat beli rumah baru, malah ibuk hambur-hamburkan. Apa benar selama ini itu Mutia hanya ibuk buat kambing hitam? Apa benar semua yang dikatakan Mutia, Buk?" ManMer mati kutu, dia diam dan terus saja bungkam. "Sekarang Agha tanya, apa semua uang yang Agha minta ibu buat tabung, ludes?" Masih saja bungkam, hanya Mas Agha yang yang terus saja bicara. Ia tampak memilin alisnya, lalu menggelengkan kepala. Tatapannya nanar, aku pun mejadi salah tingkah mau beradu pandang dengannya. "Jadi gini, Mas. Ternyata, selain rumah yang aku tempati saat ini, ada beberapa tempat yang juga merupakan tanah warisan ayahku. Rumah ini termasuk salah satu dari semua itu. Aku hanya mau menyampaikan itu." "Terima kasih aku ucapkan untuk mantan mertuaku dan mantan adik iparku yang selama ini sudah memperlakukanku melebihi babu. Setahuku, babu masih diberi makan
Read more

Dag Dig Dug

Dag dig dugEntah Ibrahim mendengar degupan ini ataukah tidak, kenapa semakin lama dan semakin kudengar suara Ibrahim, seakan detak ini semakin tak bisa kukendalikan. "Boleh?" tanya Ibrahim yang membuatku kesal, dia memaksaku untuk menjawab di saat aku sibuk mengendalikan deru napas yang mulai tak beraturan. "Si-silakan," jawabku terbata-bata. Kututup mulutku dengan telapak, kenapa jadi mendadak gagu seperti ini. Duh, Mutia. Kamu bukan anak remaja lagi. Sejenak menjadi hening, ini Ibrahim kenapa harus mempermainkan degup jantungku seperti ini. "Aku ingin ... em ... kita beli ice krim itu, gimana?" Aku tepuk jidat ini, lalu beranjak dan berjalan lebih awal. Akan tetapi kudapati Ibrahim tetap diam. 'Malu, Mutia. Degup jantungmu udah kayak mau copot gara-gara kamu ke-PD-an, lho.' "Mutia, aku malam ini ke rumahmu." "Tidak udah, Him. Kamu kan tau aku ada janji sama Mas Agha.""Jadi kamu mau
Read more

Terbalaskan

"Mm ... Mutia, ibuk juga ingin menyampaikan niat baik Ustadz A Im.""Niat baik apa, Buk?" "Beliau ingin mengkhitbahmu, Nak. Ya, beliau sebenernya takut untuk menyampaikan ini. Khawatir kamu akan tersinggung." Degh. Dag dig dugAku harus jawab bagaimana ini. "Sebenernya ... sebenernya Mutia-" Aku menelan saliva yang terasa sangat berat dalam kegugupan. Keremas telapak tangan satu sama lain. Bagaimana ini. 'Ya Allah, netralkan degup jantung ini.' "Kamu tidak perlu lansung menjawabnya, Nak. Namun, menurut ibuk, Ustadz A Im itu orangnya baik, sholih, terutama dia penyayang. Ibuk merasa, kamu akan bahagia hidup bersamanya." Aku masih diam, bingung mau menjawab apa. Apapun jawabanku, tentu akan bisa secepat kilat sampai pada ustadz yang dipanggil "Ustadz A Im" itu. Kupandangi pria tinggi semampai, berkulit putih, juga berambut ikal itu. Dia tengah asyik bermain bersama lima orang an
Read more

Pernikahan Kedua

"Mutia, kamu bener-bener cantik malam ini," seru Mas Agha. Aku masih berdiri di depan pintu menunggu ia mempersilakan aku masuk yang entah itu mobil siapa yang dia bawa. "Makasih, Mas," jawabku singkat. Kenapa, Mas? Engkau merasa menyesal hingga ke ubun-ubun sekarang? Kenapa tidak dari dulu. Ke mana engkau dulu, ke mana penglihatanmu. "Eh, kenapa aku biarkan bidadari kedinginan di luar seperti ini, silakan masuk."Aku bergeming, lalu melangkah mengikuti arah Mas Agha yang membukakan pintu. Tak lama berselang, Mas Agha menginjak pedal gas, mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Sedari tadi, tak luput kutemui Mas Agha memandang ke arahku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. "Mutia, kamu cantik." Kalimat pujian kedua yang meluncur dari lisannya. Entah akan ada berapa pujian lagi yang hendak dia luncurkan. "Emm, kamu ingin makan di tempat mana?" "Aku terserah kamu aja, Mas." "Gimana kalau
Read more

Aku Tidak Bodoh!

*Wanita murahan, sudah tau dibuang masih saja godain mantan lakinya. Sudah dibuang woy @MutiaZDegh Siapa yang sudah berani nge-tag aku dengan caption seperti ini. Apa aku ada masalah dengan orang ini? Sebentar, apa ini akun Karin? Ah, bukan. Akun mantan adik iparku? Juga bukan. Namun, ini pasti orang yang julid pada diriku. *Kaya modal ngejarah uang mantan suaminya, ngerampas uang mantan mertuanya. Huhu, kasihan banget jadi sang mertua. Aku seakan sakit untuk menelan saliva ini, siapa yang sudah berani buat onar seperti ini. Tentu, karena tercantum namaku. Banyak sekali mengundang komentar pro dan kontra. Astaghfirullah. ***"Mutia! Mutia!" Siapa yang berkoar-koar di depan rumah, apa aku pernah bentrok dengan orang? Bukankah aku tidak merespon setiap akun-akun julid itu? "Iya, sebentar." "Roman-romannya itu suara Mas Agha, ngapain dia ke sini?"Dor dor dor"Mutia!"
Read more

Perkara Kecil jadi Besar

"Di sana, Buk."Aku menunjuk di mana tempat bumbu di dapur, lalu aku pamit untuk pergi ke suatu tempat. Ingin sekali melihat apa sebenarnya di balik datangnya ManMer ke sini. "Buk, Mutia masih ada urusan sebentar, ya.""Ouh, iya, Mutia. Silakan, duh pasti orang seperti kamu sibuk, kan. Gak apa-apa, ibuk akan jagain rumah ini."Aku membalas dengan mengulas senyum. Setelah beberapa menit di taman belakang, aku pun kembali, dan ManMer sudah tidak ada di dapur. DeghKe mana ManMer, aku tidak memanggilnya. Pertama, aku melangkah ke ruang tamu, lalu ruang keluarga. Kudongakkan pandangan, apa mungkin ManMer ke ruang atas. Namun, apa mungkin selancang itu? "Ibuk!" Betapa terkejutnya aku, ManMer sibuk memasukkan beberapa kotak perhiasan. Ya, ruanganku tidak kukunci, dan aku baru saja melihat beberapa emas peninggalan ibuku. "Mutia, ka-kamu.""Ouh, jadi ini motif ibuk ke sini?"
Read more

Balasan Setimpal

Tok tok tok"Neng Mutia, ada tamu di luar.""Iya, Bik. Sebentar." Kuusap bekas gumpalan air mata, lalu sedikit mengoles cilak di mata agar tak kelihatan sembab. "Mbak Mutiaaa." Hambur anak-anak panti, melihat mereka semringah seperti ini adalah kebahagiaan tersendiri dalam hati ini. Dengan sangat sigap aku langsung rentangkan tangah untuk meraih tangan-tangan kecil mereka ke dalam pelukan. "Kalian sama siapa ke sini? Duh, comelnya.""Sama Umma, Mbak. Sama seseorang juga, katanya gak boleh bilang-bilang dulu."Aku mengernyitkan dahi, siapa emang sehingga mereka saja dilarang untuk bilang-bilang. Anak kecil memang suka ada-ada saja.""Kawan-kawan, kita tarik tangan Mbak Mutia, yuk. Mbak, sini kita tutup dulu mata Mbak Mutia."Aku pun menurut saja apa yang hendak mereka lakukan, bersama anak kecil kita hanya perlu ikut sejenak pada dunia mereka. "Baik, nih. Terserah kalian mau bawa M
Read more

Hamil?

"Mbak, aku hamil. Hiks."Astaghfirullah, dia hamil? Hamil dengan siapa? "Kamu serius kan, Wid? Jangan bercanda deh," selidikku. Mana mungkin dia hamil, dia belum menikah. Ya Allah, na'udzubillahi min dzalik. Air mata Widya tumpah seiring sesenggukan yang mengiringi. Ia menunduk, hingga punggungny terlihat bergetar dengan sangat jelas. Aku mendekatinya, berusaha menenangkannya. "Wid, coba kamu ceritakan, gimana kronologinya, gimana kamu bisa hamil?"Diiringi napas yang tersenggal-senggal, Widya menukas dengan sangat parau, "Pacarku, Mbak. Dia ... dia sudah ngerampas keperawananku."Kepalaku mendidih, bagaimana ini semua bisa terjadi. "Kamu sudah bilang sama dia?""Sudah, Mbak. Tapi, dia malah tidak mau bertanggung jawab. Dia malah menghinaku di depan semua temanku. Aku malu, Mbak. Aku sudah menerima karmanya saat ini karena sudah sering melukai hati Mbak Mutia."Aku menggeleng pelan. "Tidak, Wid. Kamu saat ini
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status