"Mm ... Mutia, ibuk juga ingin menyampaikan niat baik Ustadz A Im."
"Niat baik apa, Buk?""Beliau ingin mengkhitbahmu, Nak. Ya, beliau sebenernya takut untuk menyampaikan ini. Khawatir kamu akan tersinggung."Degh.Dag dig dugAku harus jawab bagaimana ini."Sebenernya ... sebenernya Mutia-"Aku menelan saliva yang terasa sangat berat dalam kegugupan. Keremas telapak tangan satu sama lain. Bagaimana ini.'Ya Allah, netralkan degup jantung ini.'"Kamu tidak perlu lansung menjawabnya, Nak. Namun, menurut ibuk, Ustadz A Im itu orangnya baik, sholih, terutama dia penyayang. Ibuk merasa, kamu akan bahagia hidup bersamanya."Aku masih diam, bingung mau menjawab apa. Apapun jawabanku, tentu akan bisa secepat kilat sampai pada ustadz yang dipanggil "Ustadz A Im" itu.Kupandangi pria tinggi semampai, berkulit putih, juga berambut ikal itu. Dia tengah asyik bermain bersama lima orang an"Mutia, kamu bener-bener cantik malam ini," seru Mas Agha. Aku masih berdiri di depan pintu menunggu ia mempersilakan aku masuk yang entah itu mobil siapa yang dia bawa. "Makasih, Mas," jawabku singkat. Kenapa, Mas? Engkau merasa menyesal hingga ke ubun-ubun sekarang? Kenapa tidak dari dulu. Ke mana engkau dulu, ke mana penglihatanmu. "Eh, kenapa aku biarkan bidadari kedinginan di luar seperti ini, silakan masuk."Aku bergeming, lalu melangkah mengikuti arah Mas Agha yang membukakan pintu. Tak lama berselang, Mas Agha menginjak pedal gas, mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Sedari tadi, tak luput kutemui Mas Agha memandang ke arahku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. "Mutia, kamu cantik." Kalimat pujian kedua yang meluncur dari lisannya. Entah akan ada berapa pujian lagi yang hendak dia luncurkan. "Emm, kamu ingin makan di tempat mana?" "Aku terserah kamu aja, Mas." "Gimana kalau
*Wanita murahan, sudah tau dibuang masih saja godain mantan lakinya. Sudah dibuang woy @MutiaZDegh Siapa yang sudah berani nge-tag aku dengan caption seperti ini. Apa aku ada masalah dengan orang ini? Sebentar, apa ini akun Karin? Ah, bukan. Akun mantan adik iparku? Juga bukan. Namun, ini pasti orang yang julid pada diriku. *Kaya modal ngejarah uang mantan suaminya, ngerampas uang mantan mertuanya. Huhu, kasihan banget jadi sang mertua. Aku seakan sakit untuk menelan saliva ini, siapa yang sudah berani buat onar seperti ini. Tentu, karena tercantum namaku. Banyak sekali mengundang komentar pro dan kontra. Astaghfirullah. ***"Mutia! Mutia!" Siapa yang berkoar-koar di depan rumah, apa aku pernah bentrok dengan orang? Bukankah aku tidak merespon setiap akun-akun julid itu? "Iya, sebentar." "Roman-romannya itu suara Mas Agha, ngapain dia ke sini?"Dor dor dor"Mutia!"
"Di sana, Buk."Aku menunjuk di mana tempat bumbu di dapur, lalu aku pamit untuk pergi ke suatu tempat. Ingin sekali melihat apa sebenarnya di balik datangnya ManMer ke sini. "Buk, Mutia masih ada urusan sebentar, ya.""Ouh, iya, Mutia. Silakan, duh pasti orang seperti kamu sibuk, kan. Gak apa-apa, ibuk akan jagain rumah ini."Aku membalas dengan mengulas senyum. Setelah beberapa menit di taman belakang, aku pun kembali, dan ManMer sudah tidak ada di dapur. DeghKe mana ManMer, aku tidak memanggilnya. Pertama, aku melangkah ke ruang tamu, lalu ruang keluarga. Kudongakkan pandangan, apa mungkin ManMer ke ruang atas. Namun, apa mungkin selancang itu? "Ibuk!" Betapa terkejutnya aku, ManMer sibuk memasukkan beberapa kotak perhiasan. Ya, ruanganku tidak kukunci, dan aku baru saja melihat beberapa emas peninggalan ibuku. "Mutia, ka-kamu.""Ouh, jadi ini motif ibuk ke sini?"
Tok tok tok"Neng Mutia, ada tamu di luar.""Iya, Bik. Sebentar." Kuusap bekas gumpalan air mata, lalu sedikit mengoles cilak di mata agar tak kelihatan sembab. "Mbak Mutiaaa." Hambur anak-anak panti, melihat mereka semringah seperti ini adalah kebahagiaan tersendiri dalam hati ini. Dengan sangat sigap aku langsung rentangkan tangah untuk meraih tangan-tangan kecil mereka ke dalam pelukan. "Kalian sama siapa ke sini? Duh, comelnya.""Sama Umma, Mbak. Sama seseorang juga, katanya gak boleh bilang-bilang dulu."Aku mengernyitkan dahi, siapa emang sehingga mereka saja dilarang untuk bilang-bilang. Anak kecil memang suka ada-ada saja.""Kawan-kawan, kita tarik tangan Mbak Mutia, yuk. Mbak, sini kita tutup dulu mata Mbak Mutia."Aku pun menurut saja apa yang hendak mereka lakukan, bersama anak kecil kita hanya perlu ikut sejenak pada dunia mereka. "Baik, nih. Terserah kalian mau bawa M
"Mbak, aku hamil. Hiks."Astaghfirullah, dia hamil? Hamil dengan siapa? "Kamu serius kan, Wid? Jangan bercanda deh," selidikku. Mana mungkin dia hamil, dia belum menikah. Ya Allah, na'udzubillahi min dzalik. Air mata Widya tumpah seiring sesenggukan yang mengiringi. Ia menunduk, hingga punggungny terlihat bergetar dengan sangat jelas. Aku mendekatinya, berusaha menenangkannya. "Wid, coba kamu ceritakan, gimana kronologinya, gimana kamu bisa hamil?"Diiringi napas yang tersenggal-senggal, Widya menukas dengan sangat parau, "Pacarku, Mbak. Dia ... dia sudah ngerampas keperawananku."Kepalaku mendidih, bagaimana ini semua bisa terjadi. "Kamu sudah bilang sama dia?""Sudah, Mbak. Tapi, dia malah tidak mau bertanggung jawab. Dia malah menghinaku di depan semua temanku. Aku malu, Mbak. Aku sudah menerima karmanya saat ini karena sudah sering melukai hati Mbak Mutia."Aku menggeleng pelan. "Tidak, Wid. Kamu saat ini
"Ada apa, Mutia?" tanya Ibrahim. Ia memutar badan, lalu kembali ke arahku. Kuputar otak mencari cara bagaimana agar bisa menyampaikan pada Ibrahim, aku berniat untuk meminta saran dari dia yang merupakan seorang ustadz juga pendiri kajian muslimah. Background ilmu agama dia pasti sangat kuat. "Kamu setelah ini, sibuk enggak?""Enggak, santai aja."Tampak ada yang berbeda dari nada bicara seorang ustadz A Im ini di hadapanku, tetapi biar saja, mungkin karena hal tadi akhirnya semua menjadi kaku. "Jadi gini, emmm ... gak jadi deh.""Apa, Mutia? Aku sudah penasaran, dan menjadikan orang lain penasaran berlebih itu tidak baik.""Ya, tinggal jangan dilebihkan, kan," sergahku, masih ada sedikit niatan untuk bercanda bersamanya. Namun, agaknya mood Ibrahim tengah menurun. Sehingga berpengaruh pada selera humornya. "Kamu tengah mencari pendamping, kan?" tanyaku memulai arah topik yang hendak aku sampaikan.
"Jangan BuCin, Mutia! Kamu sudah dicampakkan oleh mereka, tegar dan harus terus semangat berjuang agar tak pernah diremehkan oleh siapapun lagi." Aku mendesah pelan, menarik napas, lalu mendongakkan pandangan. "Mas Agha, apa kabar?" tanyaku basa-basi. Sejatinya muak untuk memulai pembicaraan yang tak kuinginkan. "Mutia, silakan masuk. Aku baik. Emm."Mas Agha memindai penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku pun merasa risih dan jengah. "Kamu semakin cantik aja, Mutia. Jadi nyesel aku ngelepas kamu." Aku mengernyitkan dahi, sebuah percakapan yang tidak berbobot, gombalan yang justru mengaduk-aduk lambungku. "Maaf, Mas. Widya ada di sini?" "Widya? Ada di dalam. Masuk." "Oke, makasih."Beberapa saat, wanita yang kucari keluar, dengan ekspresi yang tak bisa kutangkap sebelumnya. Antara kaget dan merasa tak nyaman, demikian yang kurasakan. Ia langsung menyembunyikan tangan kanannya.
"Merebut Mas Agha? Sorry, ya. Aku sudah bahagia tanpa dia." Wanita itu mengerling, tampak jika ia sedang mengerutkan dahi hilang sudah kecantikannya. Jadi seperti ini wanita yang Mas Agha pilih. Aku mendesah kesal. "Buktikan jika memang benar kamu sudah bahagia, dan satu lagi, bahwa kamu tidak akan pernah mengganggu mengambil Mas Agha dariku."Aku terbahak mendengar kalimatnya, apa tidak ada kalimat lebih indah yang menunjukkan bahwa dirinya tak mampu bersaing denganku. Jika memang ia merasa dirinya menang, maka tak akan ada terbesit sedikit pun kalau aku akan mengambil kembali apa yang dia rebut. Aku mendekatkan bibir ke telinganya seraya berbisik, "Makanya, kalau takut suamimu diambil orang, jaga tuh baik-baik, cuci betul-betul otaknya agar tak selalu ingat mantan." "Ups, yang pinter juga, ya ngelacak apa yang dia sembunyikan, khawatir masih nyimpen barang mantan." Warna merah di wajah Karin tak bisa ia sembunyikan lagi, gerat giginya yang diadu semakin terdengar geli di penden