"Akan kah sudah ada nama pria lain di hatimu, Mutia?" "Itu tak penting lagi untuk kita bahas, Mas. Perihal tentangmu adalah urusanmu, dan begitu juga sebaliknya," tegasku agar tak ada lagi kata berharap di antara kita. 'Dulu, aku menganggap kau adalah satu-satunya pria yang akan menerimaku walau aku adalah seorang wanita yatim piatu yang tidak punya apa-apa. Kaubilang, aku adalah walita lucu dan lugu. Dulu, aku telah menganggap apapun masalah dalam biduk rumah tanggaku, kauakan selalu ada di pihakku.' 'Sayang seribu sayang, kaucampakkan semuanya. Ya, karena keluargamu enggan menerima menantu yang miskin sepertiku, dulu. Lantas, sekarang kau akan kembali? Maaf, Mas. Hati ini telah lebih keras dari batu akan penerimaan atas ungkapan cintamu.' 'Jika saja dulu, hatiku terbuat dari kaca, mungkin bukan hanya retak yang kualami, tetapi hancur tiada berkeping lagi.' 'Jika saja hati ini terbuat dari kertas, mungkin bukan hanya hangus, tetapi lenyap termakan api yang melahap tiada henti.'
Tak lama berselang, dua pria itu pun keluar dengan tatapan kebingungan. Jika diperhatikan, Mas Agha itu memang memiliki paras tampan. Namun, wajah Ibrahim tak membosankan untuk dipandang. 'Astaghfirullah, Mutia. Keduanya itu tidak halal untuk kaupandang dengan sangat lekat seperti itu.' Aku mengerjapkan pandangan dan bersiap untuk menanggapi mereka jika nanti mengajukan protes. Beberapa detik, menit, aku tunggu. Semua berjalan bagaimana biasanya, layak tidak terjadi apa-apa. Mas Agha mulai mengendarai motornya, begitu juga dengan Ibrahim yang mulai mengijak pedal gas. Kupilin kening, apa semua memang baik-baik saja. "E-em, Him. Ini-" "Iya, aku tau. Belanjaanku ada di kamu. Dan kamu biarkan aku malu di dalam hingga kuputuskan untuk berbelanja ulang."Kututup mulutku demi menahan tawa yang hampir pecah, berarti Ibrahim belanja dua kali hari ini. "Kalau Mas Agha, dia beli-beli juga enggak?" Ibrahim menggeleng, sembari pandangan tetap fokus ke depan. Surban yang terpasang di leher
"Mutia! Keluar! Awas kamu kalau gak keluar! Sampai ke lubang semut pun aku akan mencarimu! Mutia!" Aku terkekeh mendengar pekikan itu, ada-ada saja. Jaman sudah seperti ini, sikap dan sifat orang malah bermacam tiada terperi. "Iya sebentar," lirihku. Keluar dari kamar mandi aku langsung bergegas menemui entah siapa yang berteriak-teriak memekik. Agaknya sudah tidak sabar ingin berjumpa. Aku sedikit heran, hatiku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Aku juga merasa ada perbedaan dari sikap dalam keseharianku. Akan kah benar jika dikatakan bahwa luka itu bisa membantu orang untuk berproses menjadi lebih dewasa. "Siapa, Bi?" tanyaku santai. Sementara sepasang mata yang kutemui tampak tersulut api, ia menatap melotot ke arahku. Kuberi isyarat agar Bi Munah ke belakang saja. Dari sorot mata beliau tampak resah dan gusar. "Tapi, Neng. Gimana kalau-" "Gak apa-apa, Bi. Jangan lupa, di rumah ini sudah ada CCTV sekarang, jadi, dia tidak akan bisa macam-macam.""Baik, Neng." Kulipat tang
Bersyukur sekali rasanya tadi tidak gegabah saat ditelfon Mas Agha, jadi aku bisa tahu kalau Karin pasti tak akan diam saat mengetahui suaminya diam-diam masih menghubungiku. Jika aku boleh memilih. Hatiku lebih condong tidak ingin merasakan kembali apa itu cinta yang bertalian dengan pria. Namun, aku tidak bisa mengelak, bahwa suatu saat aku pasti akan membutuhkannya. Orang-orang bilang, hidup tanpa cinta itu bagai taman tak berbunga. Sementara aku, tak ingin tamanku gersang. Ya, aku butuh akan cinta itu. "Yah, Bu. Kenapa kalian tidak ajak Mutia saja saat kalian hendak pergi? Jika demikian, maka Mutia yakin tidak akan pernah merasakan apa itu kesepian, benar kan, Bu?" Tak terasa air mata ini luruh, dada sesak. Dulu, aku tidak punya rumah, dan saat rumah ini sudah ada, ternyata tetap saja semua dalam keadaan tidak lengkap. Aku tidak pernah tau bagaimana rasanya dimarahi ayah dan ibu. "Aku benar-benar rindu mereka, Ya Allah." Beberapa saat, aku habiskan waktuku hanya dengan menat
"Siapa pria ini?" tanya seseorang dengan tatapan sinis. Ia menunjuk ke arah Ibrahim, sembari mengepalkan tangan kirinya. Aku sontak berdiri, lalu menukas dengan ramah, "Silakan duduk, Mas. Gabung makan bareng sama kita." Mas Agha pun melangkah ke arah kami, tatapannya masih tetap tertuju pada pria yang saat ini tengah duduk berhadapan denganku. Sesaat suasana menjadi hening, tetapi agar tidak kikuk aku pun menyidukkan nasi di atas piring yang kuletakkan di depan Mas Agha. "Silakan, Mas. Dipilih sendiri mau lauk apa?" "Ambilin dong, aku mau yang ini." Mas Agha menunjuk ke arah opor ayam dan sate. Sementara dua menu itu ada dekat dengan Ibrahim. Saat aku hendak meraih sayur tersebut, tetiba Ibrahim mendahului gerakanku. "Mau yang ini?" Dengan sangat cekatan pria yang selalu saja tampak keberatan saat aku disakiti ini menuang opor dengan dua paha ayam di piring Mas Agha. Tak lupa pula dengan sate, ia pindahkan semua sisa sate yang ada. Aku hanya melongo sembari menahan tawa yang k
Beberapa hari kemudian, setelah aku hanya menyibukkan diri di rumah tersebab kaki yang terkilir itu. Setiap hari Ibrahim datang ke rumah untuk mengecek keperluanku dari obat hingga keperluan lainnya. Kini, sudah hampir satu minggu aku diam di rumah. Jenuh, ingin sekali menghirup udara segar. Namun, entah apa yang terjadi. Sedari bangun tidur, aku merasakan hal yang aneh. "Kenapa, ya. Tiba-tiba hatiku merasa senang. Padahal, aku tidak sedang menerima kabar apapun." Mendadak ingin sekali senyum, memanjakan mata dengan pemandangan di luar rumah. "Mutia, huft. Stop, kamu sebenernya kenapa coba." Akhirnya, aku mencoba mengalihkan ke-anehan perasaan ini pada hal lain. Tetap saja, hingga akhirnya fokus ini dapat beralih saat kudapati notif pesan masuk dari seseorang. "Apaan sih," celetukku malas. Pesan ini mengganggu. Kubuka dengan malas, paling juga mau nanya apa sudah makan. Gimana kakinya. Gimana kondisi hadi ini. Aku mendesah pelan, pertanyaan yang biasa diajukan Ibrahim. Padahal
Aku sudah lelah untuk bertanya, biar saja Ibrahim mau membawaku ke mana. Pasrah saja. Aku memilih untuk menatap ke arah luar jendela. Baru kusadari semakin ke sini, pemandangannya semakin indah, sejuk, dan menyiratkan ketentraman. "MasyaAllah, sungguh indah pemandangan ini. Nikmat yang mana lagi yang aku dustakan." Aku pun melupakan pemikiran buruk mengenai pria di hadapanku yang tengah sibuk mengemudi. Memang sih, sikapnya berubah yang membuat pikiranku jadi traveling. Tetumbuhan hijau, gunung-gunung menjulang, langit yang sangat biru. Jalan beraspal, tak terlalu rikuh dengan kemacetan. Jalan hendak ke mana sih ini? Kenapa asing banget. Gimana gak asing, dulu hanya diam di panti, setelah menikah dikekang mertua. Dijual mertua dan ipar dengan diceritakan ke mana-mana. Bodohnya aku, aku selama ini hanya diam saja. Kepalaku jadi terputar pada masa lalu yang menyesakkan dada. "Huh, menantuku memang tak ada gunanya. Coba saja dulu aku menikahkan putraku dengan anakmu, Jeng," seru m
"Kenapa kamu ada di sini, Mas? Kamu ikutin aku, ya?" sergahku saat melihat Mas Agha dengan santainya memindah kursi ke meja kami. Awalnya, hanya ada dua kursi untuk aku dan Ibrahim saja, akhirnya sekarang pun kami bertiga. Terlihat sorot mata Ibrahim yang tidak menyukai ini. Aku mendengus pelan. "Mas, jawab."Mas Agha justru membalikkan badannya ke arahku, aku mengernyitkan dahi saat mendapati hampir terkikis habis jarak di antara kami. "Salahkah jika aku ingin mengejar kembali cintaku? Hahaha, ya cinta setelah cinta. Apa sudah istilahnya, CLBK, cinta lama bersemi kembali." Tak lama berselang, Ibrahim berdiri. Aku khawatir dia akan marah. Namun, ternyata tidak. Dia justru memindahkan kursi yang tengah kududuki. Kuat juga nyalinya. Saat ini, tak bisa dipungkiri jarak pun kembali terbentuk di antara kami, khususnya aku dan Mas Agha. "Maaf, Agha. Jika kiranya kamu tak memiliki kepentingan pada Mutia, tolong pergi dari tempat ini. Aku ingin berbicara hal penting dengannya," pinta Ibr