"Di sana, Buk."
Aku menunjuk di mana tempat bumbu di dapur, lalu aku pamit untuk pergi ke suatu tempat. Ingin sekali melihat apa sebenarnya di balik datangnya ManMer ke sini."Buk, Mutia masih ada urusan sebentar, ya.""Ouh, iya, Mutia. Silakan, duh pasti orang seperti kamu sibuk, kan. Gak apa-apa, ibuk akan jagain rumah ini."Aku membalas dengan mengulas senyum.Setelah beberapa menit di taman belakang, aku pun kembali, dan ManMer sudah tidak ada di dapur.DeghKe mana ManMer, aku tidak memanggilnya. Pertama, aku melangkah ke ruang tamu, lalu ruang keluarga.Kudongakkan pandangan, apa mungkin ManMer ke ruang atas. Namun, apa mungkin selancang itu?"Ibuk!"Betapa terkejutnya aku, ManMer sibuk memasukkan beberapa kotak perhiasan. Ya, ruanganku tidak kukunci, dan aku baru saja melihat beberapa emas peninggalan ibuku."Mutia, ka-kamu.""Ouh, jadi ini motif ibuk ke sini?" <Tok tok tok"Neng Mutia, ada tamu di luar.""Iya, Bik. Sebentar." Kuusap bekas gumpalan air mata, lalu sedikit mengoles cilak di mata agar tak kelihatan sembab. "Mbak Mutiaaa." Hambur anak-anak panti, melihat mereka semringah seperti ini adalah kebahagiaan tersendiri dalam hati ini. Dengan sangat sigap aku langsung rentangkan tangah untuk meraih tangan-tangan kecil mereka ke dalam pelukan. "Kalian sama siapa ke sini? Duh, comelnya.""Sama Umma, Mbak. Sama seseorang juga, katanya gak boleh bilang-bilang dulu."Aku mengernyitkan dahi, siapa emang sehingga mereka saja dilarang untuk bilang-bilang. Anak kecil memang suka ada-ada saja.""Kawan-kawan, kita tarik tangan Mbak Mutia, yuk. Mbak, sini kita tutup dulu mata Mbak Mutia."Aku pun menurut saja apa yang hendak mereka lakukan, bersama anak kecil kita hanya perlu ikut sejenak pada dunia mereka. "Baik, nih. Terserah kalian mau bawa M
"Mbak, aku hamil. Hiks."Astaghfirullah, dia hamil? Hamil dengan siapa? "Kamu serius kan, Wid? Jangan bercanda deh," selidikku. Mana mungkin dia hamil, dia belum menikah. Ya Allah, na'udzubillahi min dzalik. Air mata Widya tumpah seiring sesenggukan yang mengiringi. Ia menunduk, hingga punggungny terlihat bergetar dengan sangat jelas. Aku mendekatinya, berusaha menenangkannya. "Wid, coba kamu ceritakan, gimana kronologinya, gimana kamu bisa hamil?"Diiringi napas yang tersenggal-senggal, Widya menukas dengan sangat parau, "Pacarku, Mbak. Dia ... dia sudah ngerampas keperawananku."Kepalaku mendidih, bagaimana ini semua bisa terjadi. "Kamu sudah bilang sama dia?""Sudah, Mbak. Tapi, dia malah tidak mau bertanggung jawab. Dia malah menghinaku di depan semua temanku. Aku malu, Mbak. Aku sudah menerima karmanya saat ini karena sudah sering melukai hati Mbak Mutia."Aku menggeleng pelan. "Tidak, Wid. Kamu saat ini
"Ada apa, Mutia?" tanya Ibrahim. Ia memutar badan, lalu kembali ke arahku. Kuputar otak mencari cara bagaimana agar bisa menyampaikan pada Ibrahim, aku berniat untuk meminta saran dari dia yang merupakan seorang ustadz juga pendiri kajian muslimah. Background ilmu agama dia pasti sangat kuat. "Kamu setelah ini, sibuk enggak?""Enggak, santai aja."Tampak ada yang berbeda dari nada bicara seorang ustadz A Im ini di hadapanku, tetapi biar saja, mungkin karena hal tadi akhirnya semua menjadi kaku. "Jadi gini, emmm ... gak jadi deh.""Apa, Mutia? Aku sudah penasaran, dan menjadikan orang lain penasaran berlebih itu tidak baik.""Ya, tinggal jangan dilebihkan, kan," sergahku, masih ada sedikit niatan untuk bercanda bersamanya. Namun, agaknya mood Ibrahim tengah menurun. Sehingga berpengaruh pada selera humornya. "Kamu tengah mencari pendamping, kan?" tanyaku memulai arah topik yang hendak aku sampaikan.
"Jangan BuCin, Mutia! Kamu sudah dicampakkan oleh mereka, tegar dan harus terus semangat berjuang agar tak pernah diremehkan oleh siapapun lagi." Aku mendesah pelan, menarik napas, lalu mendongakkan pandangan. "Mas Agha, apa kabar?" tanyaku basa-basi. Sejatinya muak untuk memulai pembicaraan yang tak kuinginkan. "Mutia, silakan masuk. Aku baik. Emm."Mas Agha memindai penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku pun merasa risih dan jengah. "Kamu semakin cantik aja, Mutia. Jadi nyesel aku ngelepas kamu." Aku mengernyitkan dahi, sebuah percakapan yang tidak berbobot, gombalan yang justru mengaduk-aduk lambungku. "Maaf, Mas. Widya ada di sini?" "Widya? Ada di dalam. Masuk." "Oke, makasih."Beberapa saat, wanita yang kucari keluar, dengan ekspresi yang tak bisa kutangkap sebelumnya. Antara kaget dan merasa tak nyaman, demikian yang kurasakan. Ia langsung menyembunyikan tangan kanannya.
"Merebut Mas Agha? Sorry, ya. Aku sudah bahagia tanpa dia." Wanita itu mengerling, tampak jika ia sedang mengerutkan dahi hilang sudah kecantikannya. Jadi seperti ini wanita yang Mas Agha pilih. Aku mendesah kesal. "Buktikan jika memang benar kamu sudah bahagia, dan satu lagi, bahwa kamu tidak akan pernah mengganggu mengambil Mas Agha dariku."Aku terbahak mendengar kalimatnya, apa tidak ada kalimat lebih indah yang menunjukkan bahwa dirinya tak mampu bersaing denganku. Jika memang ia merasa dirinya menang, maka tak akan ada terbesit sedikit pun kalau aku akan mengambil kembali apa yang dia rebut. Aku mendekatkan bibir ke telinganya seraya berbisik, "Makanya, kalau takut suamimu diambil orang, jaga tuh baik-baik, cuci betul-betul otaknya agar tak selalu ingat mantan." "Ups, yang pinter juga, ya ngelacak apa yang dia sembunyikan, khawatir masih nyimpen barang mantan." Warna merah di wajah Karin tak bisa ia sembunyikan lagi, gerat giginya yang diadu semakin terdengar geli di penden
"Akan kah sudah ada nama pria lain di hatimu, Mutia?" "Itu tak penting lagi untuk kita bahas, Mas. Perihal tentangmu adalah urusanmu, dan begitu juga sebaliknya," tegasku agar tak ada lagi kata berharap di antara kita. 'Dulu, aku menganggap kau adalah satu-satunya pria yang akan menerimaku walau aku adalah seorang wanita yatim piatu yang tidak punya apa-apa. Kaubilang, aku adalah walita lucu dan lugu. Dulu, aku telah menganggap apapun masalah dalam biduk rumah tanggaku, kauakan selalu ada di pihakku.' 'Sayang seribu sayang, kaucampakkan semuanya. Ya, karena keluargamu enggan menerima menantu yang miskin sepertiku, dulu. Lantas, sekarang kau akan kembali? Maaf, Mas. Hati ini telah lebih keras dari batu akan penerimaan atas ungkapan cintamu.' 'Jika saja dulu, hatiku terbuat dari kaca, mungkin bukan hanya retak yang kualami, tetapi hancur tiada berkeping lagi.' 'Jika saja hati ini terbuat dari kertas, mungkin bukan hanya hangus, tetapi lenyap termakan api yang melahap tiada henti.'
Tak lama berselang, dua pria itu pun keluar dengan tatapan kebingungan. Jika diperhatikan, Mas Agha itu memang memiliki paras tampan. Namun, wajah Ibrahim tak membosankan untuk dipandang. 'Astaghfirullah, Mutia. Keduanya itu tidak halal untuk kaupandang dengan sangat lekat seperti itu.' Aku mengerjapkan pandangan dan bersiap untuk menanggapi mereka jika nanti mengajukan protes. Beberapa detik, menit, aku tunggu. Semua berjalan bagaimana biasanya, layak tidak terjadi apa-apa. Mas Agha mulai mengendarai motornya, begitu juga dengan Ibrahim yang mulai mengijak pedal gas. Kupilin kening, apa semua memang baik-baik saja. "E-em, Him. Ini-" "Iya, aku tau. Belanjaanku ada di kamu. Dan kamu biarkan aku malu di dalam hingga kuputuskan untuk berbelanja ulang."Kututup mulutku demi menahan tawa yang hampir pecah, berarti Ibrahim belanja dua kali hari ini. "Kalau Mas Agha, dia beli-beli juga enggak?" Ibrahim menggeleng, sembari pandangan tetap fokus ke depan. Surban yang terpasang di leher
"Mutia! Keluar! Awas kamu kalau gak keluar! Sampai ke lubang semut pun aku akan mencarimu! Mutia!" Aku terkekeh mendengar pekikan itu, ada-ada saja. Jaman sudah seperti ini, sikap dan sifat orang malah bermacam tiada terperi. "Iya sebentar," lirihku. Keluar dari kamar mandi aku langsung bergegas menemui entah siapa yang berteriak-teriak memekik. Agaknya sudah tidak sabar ingin berjumpa. Aku sedikit heran, hatiku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Aku juga merasa ada perbedaan dari sikap dalam keseharianku. Akan kah benar jika dikatakan bahwa luka itu bisa membantu orang untuk berproses menjadi lebih dewasa. "Siapa, Bi?" tanyaku santai. Sementara sepasang mata yang kutemui tampak tersulut api, ia menatap melotot ke arahku. Kuberi isyarat agar Bi Munah ke belakang saja. Dari sorot mata beliau tampak resah dan gusar. "Tapi, Neng. Gimana kalau-" "Gak apa-apa, Bi. Jangan lupa, di rumah ini sudah ada CCTV sekarang, jadi, dia tidak akan bisa macam-macam.""Baik, Neng." Kulipat tang