Home / Urban / Menantu yang Sengaja Dibuang / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Menantu yang Sengaja Dibuang: Chapter 31 - Chapter 40

48 Chapters

Belenggu Genggaman Erat

"Ada apa, Mutia?" tanya Ibrahim. Ia memutar badan, lalu kembali ke arahku. Kuputar otak mencari cara bagaimana agar bisa menyampaikan pada Ibrahim, aku berniat untuk meminta saran dari dia yang merupakan seorang ustadz juga pendiri kajian muslimah. Background ilmu agama dia pasti sangat kuat. "Kamu setelah ini, sibuk enggak?""Enggak, santai aja."Tampak ada yang berbeda dari nada bicara seorang ustadz A Im ini di hadapanku, tetapi biar saja, mungkin karena hal tadi akhirnya semua menjadi kaku. "Jadi gini, emmm ... gak jadi deh.""Apa, Mutia? Aku sudah penasaran, dan menjadikan orang lain penasaran berlebih itu tidak baik.""Ya, tinggal jangan dilebihkan, kan," sergahku, masih ada sedikit niatan untuk bercanda bersamanya. Namun, agaknya mood Ibrahim tengah menurun. Sehingga berpengaruh pada selera humornya. "Kamu tengah mencari pendamping, kan?" tanyaku memulai arah topik yang hendak aku sampaikan.
Read more

Cari Perhatian Lagi?

"Jangan BuCin, Mutia! Kamu sudah dicampakkan oleh mereka, tegar dan harus terus semangat berjuang agar tak pernah diremehkan oleh siapapun lagi." Aku mendesah pelan, menarik napas, lalu mendongakkan pandangan. "Mas Agha, apa kabar?" tanyaku basa-basi. Sejatinya muak untuk memulai pembicaraan yang tak kuinginkan. "Mutia, silakan masuk. Aku baik. Emm."Mas Agha memindai penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku pun merasa risih dan jengah. "Kamu semakin cantik aja, Mutia. Jadi nyesel aku ngelepas kamu." Aku mengernyitkan dahi, sebuah percakapan yang tidak berbobot, gombalan yang justru mengaduk-aduk lambungku. "Maaf, Mas. Widya ada di sini?" "Widya? Ada di dalam. Masuk." "Oke, makasih."Beberapa saat, wanita yang kucari keluar, dengan ekspresi yang tak bisa kutangkap sebelumnya. Antara kaget dan merasa tak nyaman, demikian yang kurasakan. Ia langsung menyembunyikan tangan kanannya.
Read more

Nasi Sudah Menjadi Bubur

"Merebut Mas Agha? Sorry, ya. Aku sudah bahagia tanpa dia." Wanita itu mengerling, tampak jika ia sedang mengerutkan dahi hilang sudah kecantikannya. Jadi seperti ini wanita yang Mas Agha pilih. Aku mendesah kesal. "Buktikan jika memang benar kamu sudah bahagia, dan satu lagi, bahwa kamu tidak akan pernah mengganggu mengambil Mas Agha dariku."Aku terbahak mendengar kalimatnya, apa tidak ada kalimat lebih indah yang menunjukkan bahwa dirinya tak mampu bersaing denganku. Jika memang ia merasa dirinya menang, maka tak akan ada terbesit sedikit pun kalau aku akan mengambil kembali apa yang dia rebut. Aku mendekatkan bibir ke telinganya seraya berbisik, "Makanya, kalau takut suamimu diambil orang, jaga tuh baik-baik, cuci betul-betul otaknya agar tak selalu ingat mantan." "Ups, yang pinter juga, ya ngelacak apa yang dia sembunyikan, khawatir masih nyimpen barang mantan." Warna merah di wajah Karin tak bisa ia sembunyikan lagi, gerat giginya yang diadu semakin terdengar geli di penden
Read more

Perdebatan Dua Pria

"Akan kah sudah ada nama pria lain di hatimu, Mutia?" "Itu tak penting lagi untuk kita bahas, Mas. Perihal tentangmu adalah urusanmu, dan begitu juga sebaliknya," tegasku agar tak ada lagi kata berharap di antara kita. 'Dulu, aku menganggap kau adalah satu-satunya pria yang akan menerimaku walau aku adalah seorang wanita yatim piatu yang tidak punya apa-apa. Kaubilang, aku adalah walita lucu dan lugu. Dulu, aku telah menganggap apapun masalah dalam biduk rumah tanggaku, kauakan selalu ada di pihakku.' 'Sayang seribu sayang, kaucampakkan semuanya. Ya, karena keluargamu enggan menerima menantu yang miskin sepertiku, dulu. Lantas, sekarang kau akan kembali? Maaf, Mas. Hati ini telah lebih keras dari batu akan penerimaan atas ungkapan cintamu.' 'Jika saja dulu, hatiku terbuat dari kaca, mungkin bukan hanya retak yang kualami, tetapi hancur tiada berkeping lagi.' 'Jika saja hati ini terbuat dari kertas, mungkin bukan hanya hangus, tetapi lenyap termakan api yang melahap tiada henti.'
Read more

Tak Terduga

Tak lama berselang, dua pria itu pun keluar dengan tatapan kebingungan. Jika diperhatikan, Mas Agha itu memang memiliki paras tampan. Namun, wajah Ibrahim tak membosankan untuk dipandang. 'Astaghfirullah, Mutia. Keduanya itu tidak halal untuk kaupandang dengan sangat lekat seperti itu.' Aku mengerjapkan pandangan dan bersiap untuk menanggapi mereka jika nanti mengajukan protes. Beberapa detik, menit, aku tunggu. Semua berjalan bagaimana biasanya, layak tidak terjadi apa-apa. Mas Agha mulai mengendarai motornya, begitu juga dengan Ibrahim yang mulai mengijak pedal gas. Kupilin kening, apa semua memang baik-baik saja. "E-em, Him. Ini-" "Iya, aku tau. Belanjaanku ada di kamu. Dan kamu biarkan aku malu di dalam hingga kuputuskan untuk berbelanja ulang."Kututup mulutku demi menahan tawa yang hampir pecah, berarti Ibrahim belanja dua kali hari ini. "Kalau Mas Agha, dia beli-beli juga enggak?" Ibrahim menggeleng, sembari pandangan tetap fokus ke depan. Surban yang terpasang di leher
Read more

Saksi Bisu

"Mutia! Keluar! Awas kamu kalau gak keluar! Sampai ke lubang semut pun aku akan mencarimu! Mutia!" Aku terkekeh mendengar pekikan itu, ada-ada saja. Jaman sudah seperti ini, sikap dan sifat orang malah bermacam tiada terperi. "Iya sebentar," lirihku. Keluar dari kamar mandi aku langsung bergegas menemui entah siapa yang berteriak-teriak memekik. Agaknya sudah tidak sabar ingin berjumpa. Aku sedikit heran, hatiku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Aku juga merasa ada perbedaan dari sikap dalam keseharianku. Akan kah benar jika dikatakan bahwa luka itu bisa membantu orang untuk berproses menjadi lebih dewasa. "Siapa, Bi?" tanyaku santai. Sementara sepasang mata yang kutemui tampak tersulut api, ia menatap melotot ke arahku. Kuberi isyarat agar Bi Munah ke belakang saja. Dari sorot mata beliau tampak resah dan gusar. "Tapi, Neng. Gimana kalau-" "Gak apa-apa, Bi. Jangan lupa, di rumah ini sudah ada CCTV sekarang, jadi, dia tidak akan bisa macam-macam.""Baik, Neng." Kulipat tang
Read more

Jatuh dari Tangga apa Jatuh Cinta?

Bersyukur sekali rasanya tadi tidak gegabah saat ditelfon Mas Agha, jadi aku bisa tahu kalau Karin pasti tak akan diam saat mengetahui suaminya diam-diam masih menghubungiku. Jika aku boleh memilih. Hatiku lebih condong tidak ingin merasakan kembali apa itu cinta yang bertalian dengan pria. Namun, aku tidak bisa mengelak, bahwa suatu saat aku pasti akan membutuhkannya. Orang-orang bilang, hidup tanpa cinta itu bagai taman tak berbunga. Sementara aku, tak ingin tamanku gersang. Ya, aku butuh akan cinta itu. "Yah, Bu. Kenapa kalian tidak ajak Mutia saja saat kalian hendak pergi? Jika demikian, maka Mutia yakin tidak akan pernah merasakan apa itu kesepian, benar kan, Bu?" Tak terasa air mata ini luruh, dada sesak. Dulu, aku tidak punya rumah, dan saat rumah ini sudah ada, ternyata tetap saja semua dalam keadaan tidak lengkap. Aku tidak pernah tau bagaimana rasanya dimarahi ayah dan ibu. "Aku benar-benar rindu mereka, Ya Allah." Beberapa saat, aku habiskan waktuku hanya dengan menat
Read more

Dilabrak

"Siapa pria ini?" tanya seseorang dengan tatapan sinis. Ia menunjuk ke arah Ibrahim, sembari mengepalkan tangan kirinya. Aku sontak berdiri, lalu menukas dengan ramah, "Silakan duduk, Mas. Gabung makan bareng sama kita." Mas Agha pun melangkah ke arah kami, tatapannya masih tetap tertuju pada pria yang saat ini tengah duduk berhadapan denganku. Sesaat suasana menjadi hening, tetapi agar tidak kikuk aku pun menyidukkan nasi di atas piring yang kuletakkan di depan Mas Agha. "Silakan, Mas. Dipilih sendiri mau lauk apa?" "Ambilin dong, aku mau yang ini." Mas Agha menunjuk ke arah opor ayam dan sate. Sementara dua menu itu ada dekat dengan Ibrahim. Saat aku hendak meraih sayur tersebut, tetiba Ibrahim mendahului gerakanku. "Mau yang ini?" Dengan sangat cekatan pria yang selalu saja tampak keberatan saat aku disakiti ini menuang opor dengan dua paha ayam di piring Mas Agha. Tak lupa pula dengan sate, ia pindahkan semua sisa sate yang ada. Aku hanya melongo sembari menahan tawa yang k
Read more

Datar

Beberapa hari kemudian, setelah aku hanya menyibukkan diri di rumah tersebab kaki yang terkilir itu. Setiap hari Ibrahim datang ke rumah untuk mengecek keperluanku dari obat hingga keperluan lainnya. Kini, sudah hampir satu minggu aku diam di rumah. Jenuh, ingin sekali menghirup udara segar. Namun, entah apa yang terjadi. Sedari bangun tidur, aku merasakan hal yang aneh. "Kenapa, ya. Tiba-tiba hatiku merasa senang. Padahal, aku tidak sedang menerima kabar apapun." Mendadak ingin sekali senyum, memanjakan mata dengan pemandangan di luar rumah. "Mutia, huft. Stop, kamu sebenernya kenapa coba." Akhirnya, aku mencoba mengalihkan ke-anehan perasaan ini pada hal lain. Tetap saja, hingga akhirnya fokus ini dapat beralih saat kudapati notif pesan masuk dari seseorang. "Apaan sih," celetukku malas. Pesan ini mengganggu. Kubuka dengan malas, paling juga mau nanya apa sudah makan. Gimana kakinya. Gimana kondisi hadi ini. Aku mendesah pelan, pertanyaan yang biasa diajukan Ibrahim. Padahal
Read more

Kencan

Aku sudah lelah untuk bertanya, biar saja Ibrahim mau membawaku ke mana. Pasrah saja. Aku memilih untuk menatap ke arah luar jendela. Baru kusadari semakin ke sini, pemandangannya semakin indah, sejuk, dan menyiratkan ketentraman. "MasyaAllah, sungguh indah pemandangan ini. Nikmat yang mana lagi yang aku dustakan." Aku pun melupakan pemikiran buruk mengenai pria di hadapanku yang tengah sibuk mengemudi. Memang sih, sikapnya berubah yang membuat pikiranku jadi traveling. Tetumbuhan hijau, gunung-gunung menjulang, langit yang sangat biru. Jalan beraspal, tak terlalu rikuh dengan kemacetan. Jalan hendak ke mana sih ini? Kenapa asing banget. Gimana gak asing, dulu hanya diam di panti, setelah menikah dikekang mertua. Dijual mertua dan ipar dengan diceritakan ke mana-mana. Bodohnya aku, aku selama ini hanya diam saja. Kepalaku jadi terputar pada masa lalu yang menyesakkan dada. "Huh, menantuku memang tak ada gunanya. Coba saja dulu aku menikahkan putraku dengan anakmu, Jeng," seru m
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status