Semua Bab Menantu yang Sengaja Dibuang: Bab 11 - Bab 20

48 Bab

Bos Tajir?

Saat tiba masanya, waktu yang kutunggu setelah menyiapkan beberapa hari. Tanpa disengaja sebelumnya, waktu potong pita untuk pembukaan pertama kali ruko-ku jatuh pada hari jumat. Ini benar-benar kebetulan yang insyaAllah akan membawa kebarakahan. Aamiin. Aku lekas mengabari orang-orang yang berada di jalanan, dari anak-anak hingga orang-orang lansia yang terlantar. Tak lupa pula kukabari ibu panti untuk mengajak anak-anak turut bergabung. Kupinta tiga pegawaiku untuk menyiapkan banyak makanan sebagai acara pembukaan warung makan ini sekaligus tasyakuran. "Apa ini tidak terlalu akan menghabiskan uang banyak, Buk? Sementara ibu Mutia kan baru mulai, orang jalanan itu tidak sedikit, Buk. Sekali mereka mendengar, pasti akan berduyun-duyun mendatangi tempat ini." Aku mengulas senyum, aku cukup paham arah pembicaraan pegawaiku, mereka mencemaskanku, tetapi aku yakin ini tidak akan pernah merugikanku, melainkan juga sebaliknya. "Tidak apa-a
Baca selengkapnya

Memabukkan (Pusingan)

"Kenapa bengong, dari tadi saya perhatikan kamu ngelamun. Ada apa?" tanya Ibrahim dengan nada menyelidik. Entah kenapa aku jadi merasa lebih nyaman jika panggil dia Al-Faqir. "Apa? Kamu perhatiin aku?" "Enggak, gak sengaja aja beberapa berpapas pandang, bengooong aja.""Hei, Al-Faqir. Kamu ini sebenernya siapa sih. Tiba-tiba nongol.""Ya, saya manusia. Seperti yang kamu dan orang-orang lihat.""Iya, tapi maksud aku tuh. Kenapa bisa gitu kamu mendapat amanah mengenai uang dan wasiat-wasiat itu, sebenernya orang itu siapa. Siapa yang sudah ngasih uang itu sama aku?" "Yang jelas, sekarang kamu harus bisa menggunakan itu dengan baik, kamu gunakan kesempatan ini."Pria di hadapanku sedang asik makan, ia berhenti mengunyah bahkan menyendok makanan di mangkuk setiap kali menjawab atau bertanya padaku. "Buk, terima kasih, ya," ucap tamu undangan bergantian. Mereka bersalaman, lalu pulang. Alhamdulillah, ak
Baca selengkapnya

Nyinyir? Hati-hati Tersingkir!

Setelah dari panti, waktu sudah menjelang senja. Kami sengaja berlama-lama di sana karena ada satu anak yang tidak mau ditinggal Ibrahim, dia menangis dan terus menempel di pangkuannya. "Betapa Ibrahim ini sangat penyayang, lihat saja ia seperti magnet yang mana besi-besi akan langsung menempel saat didekatinya," lirihku, sembari menyaksikan Ibrahim yang bermain riang dengan anak-anak panti, sesekali ia bercanda dan sesekali ia bercerita. "Bang Ibrahim, sering-sering ke sini, ya. Kami suka cerita-ceritanya."Pria itu mengulas senyum, maka dijadikannya sebuah bujukan agar dirinya bisa pamit pulang. Pandai juga rupanya mencari moment. "Nah, kalau pengen Bang Ibrahim sering ke sini, sekarang kalian harus bolehin abang pulang dulu, gimana?" Tampak anak berusia sekitar enam tahun itu kebingungan memutar bola manatanya mungkin tengah memahami maksud dari yang Ibrahim katakan. Tak lama berselang, ia berdiri dan mengiyakan kepergian kami.
Baca selengkapnya

Pergi, Mas!

Saat semua orang sibuk saling papas untuk berangkat bekerja, ada yang menggantung tas di pundaknya, ada pula yang memanggul karung yang entah apa isi di dalamnya. Aku turut bersama mereka hendak menyiapkan jualanku di hari pertama setelah kemarin resmi dibuka. "Bismillah, insyaAllah berkah."Sebuah mobil tiba di depan rumah, baru tadi malam aku memimpikan menaiki mobil seperti itu. Ada yang bilang, menaiki mobil itu adalah mimpi yang buruk, tetapi aku jadikan saja itu sebuah harapan, siapa tahu segera menjadi kenyataan. "Ibrahim," seruku saat keluar seorang pria berbadan semampai dengan kemeja biru. "Ini mobil, untuk kamu. Silakan kamu pakai."Aku mengernyitkan dahi, lama kelamaan orang ini agaknya suka sekali memberiku kejutan sehingga aku tidak percaya jika ini adalah wasiat ayah. "Tidak, aku tidak akan menerima apa-apa lagi sebelum aku benar-benar membaca surat wasiat itu.""Siang nanti, akan aku berikan."
Baca selengkapnya

Menyesal?

Pov AghaAku berdiri mematung terngiang-ngiang kalimat yang baru saja diucapkan mantan istriku dengan sangat sinis. Baru kali ini dia berkata kasar bahkan berani membentakku. Kurapatkan telapak tangan di dada, ini bukan hal biasa. 'Aku tidak akan pernah memaafkanmu seumur hidupku' Apa yang telah kulakukan, apa aku salah jika aku memilih meninggalkannya setelah semua yang dia perlakukan pada orangtuaku. Dia bahkan telah menghabiskan semua uang yang kukirimkan hanya untuk berfoya-foya, sementara saat aku datang ia bahkan enggan untuk berdandan. "Mutia, kenapa kamu harus melakukan hal ini padaku setelah aku memilihmu."Kupilin alis, dan duduk di kursi bekas Mutia tadi. "Siapa laki-laki yang telah bersamanya, apa benar dia selingkuhannya? Seharunya cukup aku, cukup aku yang melakukan hal ini padanya, dia yang telah berlaku buruk padaku. Seharusnya dia menyesal dan berusaha meminta maaf." "Mas Agha, ke mana sih, kok pind
Baca selengkapnya

Malu di Depan Umum?

"Apa maksud kamu permalukan aku di depan umum?!" "Loh, kenyataannya memang demikian kan, Mas? Kenapa Mas jadi nyalahin aku sih? Mas berlama-lama di cafe itu hanya untuk ketemu Mutia, kan. Dan Mas gengsi di hadapannya, pengan nampakin kalau Mas itu banyak duit, nyatanya? Mas itu pengangguran.""Karin!" Hampir saja kuayunkan tangan ke pipinya, hanya saja aku terngiang perkataan pria yang bersama Mutia tadi. Ah, siapa pria itu. "Hush, ada apa sih ini?" tanya wanita paruh baya yang itu adalah ibuku. Dia sedang bersama adikku menenteng beberapa tas belanjaan. "Ibuk datang dari mana?" "Ini lho, ibu sama Widya dari mall, ditraktir belanja sama Karin. Karin baik banget, lho. Kamu beruntung punya.""Hah, sudah. Kepalaku semakin pening ada di sini.""Loh, Gha. Jangan risau, ibuk juga beliin kamu kok.""Buk, ibuk tau kan kalau Agha sekarang itu pengangguran, kenapa ibuk belanja terus.""Ya ndak apa-a
Baca selengkapnya

Tak Akan Kembali

Kembali ke Pov Mutia"Mas Agha, sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Namun, maaf. Keluargamu sudah sangat keterlauan padaku." Kukirimkan sebuah vedio, di mana ManMer dengan Widya tiba-tiba datang bak orang kesambet, lalu mengacak-acak cafeku sehingga pengunjung berlarian. "Apa yang kalian lakukan?" "Ouh, jadi bener, ya. Ini cafe milik kamu? Jadi selama ini, kamu diam-diam sembunyikan uang Agha karena kamu tahu kamu akan diusir dari rumah kami? Keterlaluan."PlakAstaghfirullah, aku masih berusaha diam walau pipiku terasa begitu nyeri. Apa-apaan ini, mereka tau dari mana kalau ini cafeku. "Kalian tau dari mana kalau cafe ini milikku?""Tidak penting, sekarang sebaiknya kamu kembalikan semua uang yang sudah kamu ambil buat modal cafe ini. Jika perlu, kamu jual cafe ini dan serahkan semua uang itu pada kami.""Tidak," tangkasku. Kutarik napas dalam-dalam, setelah melihat langsung surat was
Baca selengkapnya

Pemerasan!

"Kamu sudah permalukan keluargaku. Dasar wanita tidak punya hati." Mas Agha ternyata belum juga bisa melihat kenyataan, padahal jika dia benar-benar mendengarkan video viral itu dengan baik, dia akan paham apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Namun, sekuat apapun tenagaku, aku bisa lepas dari tangan Mas Agha yang saat ini tengah mencengeram lenganku. "Lepas, Mas. Lepas." "Tolong hentikan, lepaskan aku, Mas." "Tidak, rasakan ini. Kamu kan seorang janda, jadi pasti merindukan sentuhan bukan.""Berhenti, aku tidak sekeji itu, Mas. Tolong, Mas. Hiks hiks. Hentikan, katakan saja apa salahku.""Kamu masih bertanya apa salahmu? Gara-gara kamu ibuku mendapat cacian sedunia maya," hardik Mas Agha dan terus saja meluncurkan cacian dengan tangan mencengkeram lenganku. "Semua itu salah ibumu, dia yang datang ke cafeku. Kenapa aku yang disalahkan." "Berhenti omong kosong, aku tidak peduli."Apa mungkin Mas
Baca selengkapnya

Rujuk?

Saat kurasa semua sudah siap, aku pun bergegas menghubungi Ibrahim. Kuhembuskan napas pelan, dan kulipat rapih kertas yang berisi sepenggal pesan dari ayah dan ibu. "Mutia janji akan mencari pria yang ayah sama ibu maksud, dan jika dia memang masih sendiri, lalu dia mengajak Mutia untuk nikah, Mutia mau, Yah. Maafin Mutia yang baru baca pesan dari ayah. Hiks."Pilu rasanya, entah apa ini masuk dalam kategori perjodohan, jika iya, semoga pria itu masih mau menerima keadaanku yang seperti ini. Tok tok tokKubuka pintu setelah menjawab seruan salam, Ibrahim, maka tidak menunggu lama, aku menemui Bu Kontrakan terlebih dahulu untuk memberikan kunci dan pamit secara baik-baik. "Duh, Mutia. Sudah mau pindah, nih. Kenapa emang? Gak enak tah ngontrak di sini? Eh, denger-denger kamu pemilik cafe yang lagi viral itu ya, selamat, ya. Boleh laa nanti kalau main ke sana di gratisin atau dapet bonus gitu."Aku mengulas senyum, tersengar suar
Baca selengkapnya

Tak Akan Pernah Kembali

"Maaf, Mas. Dulu kamu putuskan untuk pergi dan meninggalkanku. Maka, saat ini hatiku telah kututup rapat untukmu," jujurku tanpa ingin memberinya harapan. Dunia ini punya hukum kausalitas, rasa ini pudar akibat ulahnya sendiri. "Tapi, Mutia. Apa kamu tidak cinta lagi sama Mas? Sebenarnya Mas itu masih cinta sama kamu."Aku diam sejenak, sejatinya rasa tidak bisa kupungkiri bahwa masih ada, tetapi semakin hari rasa itu pudar bahkan hampir tak tersisa lagi. "Mas, aku sarankan Mas jangan tinggalkan Karin, dia satu-satunya harapan keluarga Mas bukan? Dia mampu ngasih banyak uang, sementara aku?""Kamu kan sudah kaya, Mutia. Lihat saja cafe kamu, orang tuaku pasti akan sangat menerimamu jika kita ingin kembali bersama lagi.""Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku sedang ada urusan penting, Mas. Jadi sebaiknya Mas pergi dan cari Karin sebelum terlambat. Jika memang bayi di kandungan Karin itu bukan anak Mas, tidak masalah, rawat bayi itu layaknya darah daging Mas sendiri, si
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status