Saat semua orang sibuk saling papas untuk berangkat bekerja, ada yang menggantung tas di pundaknya, ada pula yang memanggul karung yang entah apa isi di dalamnya. Aku turut bersama mereka hendak menyiapkan jualanku di hari pertama setelah kemarin resmi dibuka.
"Bismillah, insyaAllah berkah."Sebuah mobil tiba di depan rumah, baru tadi malam aku memimpikan menaiki mobil seperti itu. Ada yang bilang, menaiki mobil itu adalah mimpi yang buruk, tetapi aku jadikan saja itu sebuah harapan, siapa tahu segera menjadi kenyataan."Ibrahim," seruku saat keluar seorang pria berbadan semampai dengan kemeja biru."Ini mobil, untuk kamu. Silakan kamu pakai."Aku mengernyitkan dahi, lama kelamaan orang ini agaknya suka sekali memberiku kejutan sehingga aku tidak percaya jika ini adalah wasiat ayah."Tidak, aku tidak akan menerima apa-apa lagi sebelum aku benar-benar membaca surat wasiat itu.""Siang nanti, akan aku berikan."Pov AghaAku berdiri mematung terngiang-ngiang kalimat yang baru saja diucapkan mantan istriku dengan sangat sinis. Baru kali ini dia berkata kasar bahkan berani membentakku. Kurapatkan telapak tangan di dada, ini bukan hal biasa. 'Aku tidak akan pernah memaafkanmu seumur hidupku' Apa yang telah kulakukan, apa aku salah jika aku memilih meninggalkannya setelah semua yang dia perlakukan pada orangtuaku. Dia bahkan telah menghabiskan semua uang yang kukirimkan hanya untuk berfoya-foya, sementara saat aku datang ia bahkan enggan untuk berdandan. "Mutia, kenapa kamu harus melakukan hal ini padaku setelah aku memilihmu."Kupilin alis, dan duduk di kursi bekas Mutia tadi. "Siapa laki-laki yang telah bersamanya, apa benar dia selingkuhannya? Seharunya cukup aku, cukup aku yang melakukan hal ini padanya, dia yang telah berlaku buruk padaku. Seharusnya dia menyesal dan berusaha meminta maaf." "Mas Agha, ke mana sih, kok pind
"Apa maksud kamu permalukan aku di depan umum?!" "Loh, kenyataannya memang demikian kan, Mas? Kenapa Mas jadi nyalahin aku sih? Mas berlama-lama di cafe itu hanya untuk ketemu Mutia, kan. Dan Mas gengsi di hadapannya, pengan nampakin kalau Mas itu banyak duit, nyatanya? Mas itu pengangguran.""Karin!" Hampir saja kuayunkan tangan ke pipinya, hanya saja aku terngiang perkataan pria yang bersama Mutia tadi. Ah, siapa pria itu. "Hush, ada apa sih ini?" tanya wanita paruh baya yang itu adalah ibuku. Dia sedang bersama adikku menenteng beberapa tas belanjaan. "Ibuk datang dari mana?" "Ini lho, ibu sama Widya dari mall, ditraktir belanja sama Karin. Karin baik banget, lho. Kamu beruntung punya.""Hah, sudah. Kepalaku semakin pening ada di sini.""Loh, Gha. Jangan risau, ibuk juga beliin kamu kok.""Buk, ibuk tau kan kalau Agha sekarang itu pengangguran, kenapa ibuk belanja terus.""Ya ndak apa-a
Kembali ke Pov Mutia"Mas Agha, sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Namun, maaf. Keluargamu sudah sangat keterlauan padaku." Kukirimkan sebuah vedio, di mana ManMer dengan Widya tiba-tiba datang bak orang kesambet, lalu mengacak-acak cafeku sehingga pengunjung berlarian. "Apa yang kalian lakukan?" "Ouh, jadi bener, ya. Ini cafe milik kamu? Jadi selama ini, kamu diam-diam sembunyikan uang Agha karena kamu tahu kamu akan diusir dari rumah kami? Keterlaluan."PlakAstaghfirullah, aku masih berusaha diam walau pipiku terasa begitu nyeri. Apa-apaan ini, mereka tau dari mana kalau ini cafeku. "Kalian tau dari mana kalau cafe ini milikku?""Tidak penting, sekarang sebaiknya kamu kembalikan semua uang yang sudah kamu ambil buat modal cafe ini. Jika perlu, kamu jual cafe ini dan serahkan semua uang itu pada kami.""Tidak," tangkasku. Kutarik napas dalam-dalam, setelah melihat langsung surat was
"Kamu sudah permalukan keluargaku. Dasar wanita tidak punya hati." Mas Agha ternyata belum juga bisa melihat kenyataan, padahal jika dia benar-benar mendengarkan video viral itu dengan baik, dia akan paham apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Namun, sekuat apapun tenagaku, aku bisa lepas dari tangan Mas Agha yang saat ini tengah mencengeram lenganku. "Lepas, Mas. Lepas." "Tolong hentikan, lepaskan aku, Mas." "Tidak, rasakan ini. Kamu kan seorang janda, jadi pasti merindukan sentuhan bukan.""Berhenti, aku tidak sekeji itu, Mas. Tolong, Mas. Hiks hiks. Hentikan, katakan saja apa salahku.""Kamu masih bertanya apa salahmu? Gara-gara kamu ibuku mendapat cacian sedunia maya," hardik Mas Agha dan terus saja meluncurkan cacian dengan tangan mencengkeram lenganku. "Semua itu salah ibumu, dia yang datang ke cafeku. Kenapa aku yang disalahkan." "Berhenti omong kosong, aku tidak peduli."Apa mungkin Mas
Saat kurasa semua sudah siap, aku pun bergegas menghubungi Ibrahim. Kuhembuskan napas pelan, dan kulipat rapih kertas yang berisi sepenggal pesan dari ayah dan ibu. "Mutia janji akan mencari pria yang ayah sama ibu maksud, dan jika dia memang masih sendiri, lalu dia mengajak Mutia untuk nikah, Mutia mau, Yah. Maafin Mutia yang baru baca pesan dari ayah. Hiks."Pilu rasanya, entah apa ini masuk dalam kategori perjodohan, jika iya, semoga pria itu masih mau menerima keadaanku yang seperti ini. Tok tok tokKubuka pintu setelah menjawab seruan salam, Ibrahim, maka tidak menunggu lama, aku menemui Bu Kontrakan terlebih dahulu untuk memberikan kunci dan pamit secara baik-baik. "Duh, Mutia. Sudah mau pindah, nih. Kenapa emang? Gak enak tah ngontrak di sini? Eh, denger-denger kamu pemilik cafe yang lagi viral itu ya, selamat, ya. Boleh laa nanti kalau main ke sana di gratisin atau dapet bonus gitu."Aku mengulas senyum, tersengar suar
"Maaf, Mas. Dulu kamu putuskan untuk pergi dan meninggalkanku. Maka, saat ini hatiku telah kututup rapat untukmu," jujurku tanpa ingin memberinya harapan. Dunia ini punya hukum kausalitas, rasa ini pudar akibat ulahnya sendiri. "Tapi, Mutia. Apa kamu tidak cinta lagi sama Mas? Sebenarnya Mas itu masih cinta sama kamu."Aku diam sejenak, sejatinya rasa tidak bisa kupungkiri bahwa masih ada, tetapi semakin hari rasa itu pudar bahkan hampir tak tersisa lagi. "Mas, aku sarankan Mas jangan tinggalkan Karin, dia satu-satunya harapan keluarga Mas bukan? Dia mampu ngasih banyak uang, sementara aku?""Kamu kan sudah kaya, Mutia. Lihat saja cafe kamu, orang tuaku pasti akan sangat menerimamu jika kita ingin kembali bersama lagi.""Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku sedang ada urusan penting, Mas. Jadi sebaiknya Mas pergi dan cari Karin sebelum terlambat. Jika memang bayi di kandungan Karin itu bukan anak Mas, tidak masalah, rawat bayi itu layaknya darah daging Mas sendiri, si
"Buk, lagi apa?" sapaku pada wanita yang kupanggil ManMer dalam hati itu. Tentu kalau secara langsung aku tak berani memanggil demikian. Wanita itu tampak gelagapan, ia memicing ke arah seorang wanita di sampingnya. Dia Widya. "Loh, kenapa kamu ada di sini?" "Ini rumah aku.""Apa? Jangan ngarang deh, ini tuh rumah Karin, Karin kan punya banyak rumah gak kayak kamu yang hanya berasal dari panti dan mampunya cuma ngontrak aja. Ya, walaupun sudah punya hasil dari cafe si, gak akan seberapa." "Buk, ini bener rumahku," ujarku meyakinkan. Wanita paruh baya yang telah mengenakan baju yang sangat berbeda dari biasanya ini tergelak dengan posisi tangan memegang ponsel yang kulirik posisi kamera terbuka. "Ibuk mau Mutia fotoin?" "E-em, eng-enggak. Siapa juga yang mau foto-foto di sini." "Wid, kamu ngapain di sini?" "Mau ketemu pemilik rumah ini, tapi saat kutelfon Mbak Karin, ternyata dia lagi d
Sudah beberapa hari rasanya aku diteror oleh perkataan ManMer yang masih saja membuat status yang mengundang ocehan ibu-ibu kompleks yang tidak-tidak. *Mentang-mentang sudah kaya, sudah punya usaha. Ya, paling usahanya bentar lagi juga collapes, secara gitu kan. *Eh, seriusan, Jeng? Mutia sudah kaya sekarang? Keren ya dia. Seakan semua orang sudah tau kalau yang dikutip dalam status ManMer itu adalah aku. Baik, aku masih berusaha diam, tetapi semakin aku diam mereka semakin saja ngelunjak. *Jangan deh makan di cafe Mutia, khawatir ikan yang dipakai bukan ikan yang semestinya. Coba deh kalian bayangkan, dari mana coba uang sehingga bisa langsung kaya gitu. Dulu, dia itu hanya seorang pengemis yang nyamar jadi menantu rumahku ini. *Dih, iya juga, ya. Jadi bergidik. Jangan-jangan yang dipakai itu daging yang udah busuk, sehingga dapat harga murah, dijualnya mahal. *Enggak, Jeng. Aku pernah makan di sana, tapi gak mahal kok. Ba
"Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti
"Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena
"Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,
"Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang
"Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke
"Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba
"Mutia, kamu gak mau gubris aku sama sekali? Ha?" ketus Mas Agha. Aku pun mendongak, lalu berhenti mengunyah. Ibrahim terkekeh, lalu melanjutkan makan kembali. "Ya ... siapa suruh Mas Agha gak mau pesen makanan juga. Coba aja Mas Agha tadi ikut makan. Atau, mau Mutia pesenin?" Saat aku hendak berdiri, Mas Agha mencekal lenganku. "Gak usah, Mutia. Cukup kamu di sini, anggap aku ada." Aku mendengus pelan, kuseka tangan Mas Agha. "Maaf, Mas. Kita bukan mahram." "Apa gak bisa jika kita menjadikan di antara kita boleh saling mendekat? Bahkan hingga jarak itu tidak ada. Aku ingin kita seperti dulu, Mutia. Aku sangat mencintaimu." Kalimat Mas Agha seperti hambar terdengar telinga. Terlebih untuk hatiku. "Tidak kah kita rujuk kembali, Mutia?" Mas Agha menggeser kursi yang tadi ia duduki, lalu membungkuk di hadapanku. "Mas, ngapain sih?" Aku berusaha melarang dan menyarankan Mas Agha untuk tidak melakukan itu. "Mas, plis jangan gini." "Tidak, Mutia. Aku mohon, tolong terima aku lagi.
"Kenapa kamu ada di sini, Mas? Kamu ikutin aku, ya?" sergahku saat melihat Mas Agha dengan santainya memindah kursi ke meja kami. Awalnya, hanya ada dua kursi untuk aku dan Ibrahim saja, akhirnya sekarang pun kami bertiga. Terlihat sorot mata Ibrahim yang tidak menyukai ini. Aku mendengus pelan. "Mas, jawab."Mas Agha justru membalikkan badannya ke arahku, aku mengernyitkan dahi saat mendapati hampir terkikis habis jarak di antara kami. "Salahkah jika aku ingin mengejar kembali cintaku? Hahaha, ya cinta setelah cinta. Apa sudah istilahnya, CLBK, cinta lama bersemi kembali." Tak lama berselang, Ibrahim berdiri. Aku khawatir dia akan marah. Namun, ternyata tidak. Dia justru memindahkan kursi yang tengah kududuki. Kuat juga nyalinya. Saat ini, tak bisa dipungkiri jarak pun kembali terbentuk di antara kami, khususnya aku dan Mas Agha. "Maaf, Agha. Jika kiranya kamu tak memiliki kepentingan pada Mutia, tolong pergi dari tempat ini. Aku ingin berbicara hal penting dengannya," pinta Ibr
Aku sudah lelah untuk bertanya, biar saja Ibrahim mau membawaku ke mana. Pasrah saja. Aku memilih untuk menatap ke arah luar jendela. Baru kusadari semakin ke sini, pemandangannya semakin indah, sejuk, dan menyiratkan ketentraman. "MasyaAllah, sungguh indah pemandangan ini. Nikmat yang mana lagi yang aku dustakan." Aku pun melupakan pemikiran buruk mengenai pria di hadapanku yang tengah sibuk mengemudi. Memang sih, sikapnya berubah yang membuat pikiranku jadi traveling. Tetumbuhan hijau, gunung-gunung menjulang, langit yang sangat biru. Jalan beraspal, tak terlalu rikuh dengan kemacetan. Jalan hendak ke mana sih ini? Kenapa asing banget. Gimana gak asing, dulu hanya diam di panti, setelah menikah dikekang mertua. Dijual mertua dan ipar dengan diceritakan ke mana-mana. Bodohnya aku, aku selama ini hanya diam saja. Kepalaku jadi terputar pada masa lalu yang menyesakkan dada. "Huh, menantuku memang tak ada gunanya. Coba saja dulu aku menikahkan putraku dengan anakmu, Jeng," seru m