"Buk, lagi apa?" sapaku pada wanita yang kupanggil ManMer dalam hati itu. Tentu kalau secara langsung aku tak berani memanggil demikian.
Wanita itu tampak gelagapan, ia memicing ke arah seorang wanita di sampingnya. Dia Widya."Loh, kenapa kamu ada di sini?""Ini rumah aku.""Apa? Jangan ngarang deh, ini tuh rumah Karin, Karin kan punya banyak rumah gak kayak kamu yang hanya berasal dari panti dan mampunya cuma ngontrak aja. Ya, walaupun sudah punya hasil dari cafe si, gak akan seberapa.""Buk, ini bener rumahku," ujarku meyakinkan.Wanita paruh baya yang telah mengenakan baju yang sangat berbeda dari biasanya ini tergelak dengan posisi tangan memegang ponsel yang kulirik posisi kamera terbuka."Ibuk mau Mutia fotoin?""E-em, eng-enggak. Siapa juga yang mau foto-foto di sini.""Wid, kamu ngapain di sini?""Mau ketemu pemilik rumah ini, tapi saat kutelfon Mbak Karin, ternyata dia lagi dSudah beberapa hari rasanya aku diteror oleh perkataan ManMer yang masih saja membuat status yang mengundang ocehan ibu-ibu kompleks yang tidak-tidak. *Mentang-mentang sudah kaya, sudah punya usaha. Ya, paling usahanya bentar lagi juga collapes, secara gitu kan. *Eh, seriusan, Jeng? Mutia sudah kaya sekarang? Keren ya dia. Seakan semua orang sudah tau kalau yang dikutip dalam status ManMer itu adalah aku. Baik, aku masih berusaha diam, tetapi semakin aku diam mereka semakin saja ngelunjak. *Jangan deh makan di cafe Mutia, khawatir ikan yang dipakai bukan ikan yang semestinya. Coba deh kalian bayangkan, dari mana coba uang sehingga bisa langsung kaya gitu. Dulu, dia itu hanya seorang pengemis yang nyamar jadi menantu rumahku ini. *Dih, iya juga, ya. Jadi bergidik. Jangan-jangan yang dipakai itu daging yang udah busuk, sehingga dapat harga murah, dijualnya mahal. *Enggak, Jeng. Aku pernah makan di sana, tapi gak mahal kok. Ba
"Buk, apa ibuk selama ini bohong sama Agha? Ibuk bilang rumah ini aman? Agha minta ibuk tabung uang buat beli rumah baru, malah ibuk hambur-hamburkan. Apa benar selama ini itu Mutia hanya ibuk buat kambing hitam? Apa benar semua yang dikatakan Mutia, Buk?" ManMer mati kutu, dia diam dan terus saja bungkam. "Sekarang Agha tanya, apa semua uang yang Agha minta ibu buat tabung, ludes?" Masih saja bungkam, hanya Mas Agha yang yang terus saja bicara. Ia tampak memilin alisnya, lalu menggelengkan kepala. Tatapannya nanar, aku pun mejadi salah tingkah mau beradu pandang dengannya. "Jadi gini, Mas. Ternyata, selain rumah yang aku tempati saat ini, ada beberapa tempat yang juga merupakan tanah warisan ayahku. Rumah ini termasuk salah satu dari semua itu. Aku hanya mau menyampaikan itu." "Terima kasih aku ucapkan untuk mantan mertuaku dan mantan adik iparku yang selama ini sudah memperlakukanku melebihi babu. Setahuku, babu masih diberi makan
Dag dig dugEntah Ibrahim mendengar degupan ini ataukah tidak, kenapa semakin lama dan semakin kudengar suara Ibrahim, seakan detak ini semakin tak bisa kukendalikan. "Boleh?" tanya Ibrahim yang membuatku kesal, dia memaksaku untuk menjawab di saat aku sibuk mengendalikan deru napas yang mulai tak beraturan. "Si-silakan," jawabku terbata-bata. Kututup mulutku dengan telapak, kenapa jadi mendadak gagu seperti ini. Duh, Mutia. Kamu bukan anak remaja lagi. Sejenak menjadi hening, ini Ibrahim kenapa harus mempermainkan degup jantungku seperti ini. "Aku ingin ... em ... kita beli ice krim itu, gimana?" Aku tepuk jidat ini, lalu beranjak dan berjalan lebih awal. Akan tetapi kudapati Ibrahim tetap diam. 'Malu, Mutia. Degup jantungmu udah kayak mau copot gara-gara kamu ke-PD-an, lho.' "Mutia, aku malam ini ke rumahmu." "Tidak udah, Him. Kamu kan tau aku ada janji sama Mas Agha.""Jadi kamu mau
"Mm ... Mutia, ibuk juga ingin menyampaikan niat baik Ustadz A Im.""Niat baik apa, Buk?" "Beliau ingin mengkhitbahmu, Nak. Ya, beliau sebenernya takut untuk menyampaikan ini. Khawatir kamu akan tersinggung." Degh. Dag dig dugAku harus jawab bagaimana ini. "Sebenernya ... sebenernya Mutia-" Aku menelan saliva yang terasa sangat berat dalam kegugupan. Keremas telapak tangan satu sama lain. Bagaimana ini. 'Ya Allah, netralkan degup jantung ini.' "Kamu tidak perlu lansung menjawabnya, Nak. Namun, menurut ibuk, Ustadz A Im itu orangnya baik, sholih, terutama dia penyayang. Ibuk merasa, kamu akan bahagia hidup bersamanya." Aku masih diam, bingung mau menjawab apa. Apapun jawabanku, tentu akan bisa secepat kilat sampai pada ustadz yang dipanggil "Ustadz A Im" itu. Kupandangi pria tinggi semampai, berkulit putih, juga berambut ikal itu. Dia tengah asyik bermain bersama lima orang an
"Mutia, kamu bener-bener cantik malam ini," seru Mas Agha. Aku masih berdiri di depan pintu menunggu ia mempersilakan aku masuk yang entah itu mobil siapa yang dia bawa. "Makasih, Mas," jawabku singkat. Kenapa, Mas? Engkau merasa menyesal hingga ke ubun-ubun sekarang? Kenapa tidak dari dulu. Ke mana engkau dulu, ke mana penglihatanmu. "Eh, kenapa aku biarkan bidadari kedinginan di luar seperti ini, silakan masuk."Aku bergeming, lalu melangkah mengikuti arah Mas Agha yang membukakan pintu. Tak lama berselang, Mas Agha menginjak pedal gas, mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Sedari tadi, tak luput kutemui Mas Agha memandang ke arahku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. "Mutia, kamu cantik." Kalimat pujian kedua yang meluncur dari lisannya. Entah akan ada berapa pujian lagi yang hendak dia luncurkan. "Emm, kamu ingin makan di tempat mana?" "Aku terserah kamu aja, Mas." "Gimana kalau
*Wanita murahan, sudah tau dibuang masih saja godain mantan lakinya. Sudah dibuang woy @MutiaZDegh Siapa yang sudah berani nge-tag aku dengan caption seperti ini. Apa aku ada masalah dengan orang ini? Sebentar, apa ini akun Karin? Ah, bukan. Akun mantan adik iparku? Juga bukan. Namun, ini pasti orang yang julid pada diriku. *Kaya modal ngejarah uang mantan suaminya, ngerampas uang mantan mertuanya. Huhu, kasihan banget jadi sang mertua. Aku seakan sakit untuk menelan saliva ini, siapa yang sudah berani buat onar seperti ini. Tentu, karena tercantum namaku. Banyak sekali mengundang komentar pro dan kontra. Astaghfirullah. ***"Mutia! Mutia!" Siapa yang berkoar-koar di depan rumah, apa aku pernah bentrok dengan orang? Bukankah aku tidak merespon setiap akun-akun julid itu? "Iya, sebentar." "Roman-romannya itu suara Mas Agha, ngapain dia ke sini?"Dor dor dor"Mutia!"
"Di sana, Buk."Aku menunjuk di mana tempat bumbu di dapur, lalu aku pamit untuk pergi ke suatu tempat. Ingin sekali melihat apa sebenarnya di balik datangnya ManMer ke sini. "Buk, Mutia masih ada urusan sebentar, ya.""Ouh, iya, Mutia. Silakan, duh pasti orang seperti kamu sibuk, kan. Gak apa-apa, ibuk akan jagain rumah ini."Aku membalas dengan mengulas senyum. Setelah beberapa menit di taman belakang, aku pun kembali, dan ManMer sudah tidak ada di dapur. DeghKe mana ManMer, aku tidak memanggilnya. Pertama, aku melangkah ke ruang tamu, lalu ruang keluarga. Kudongakkan pandangan, apa mungkin ManMer ke ruang atas. Namun, apa mungkin selancang itu? "Ibuk!" Betapa terkejutnya aku, ManMer sibuk memasukkan beberapa kotak perhiasan. Ya, ruanganku tidak kukunci, dan aku baru saja melihat beberapa emas peninggalan ibuku. "Mutia, ka-kamu.""Ouh, jadi ini motif ibuk ke sini?"
Tok tok tok"Neng Mutia, ada tamu di luar.""Iya, Bik. Sebentar." Kuusap bekas gumpalan air mata, lalu sedikit mengoles cilak di mata agar tak kelihatan sembab. "Mbak Mutiaaa." Hambur anak-anak panti, melihat mereka semringah seperti ini adalah kebahagiaan tersendiri dalam hati ini. Dengan sangat sigap aku langsung rentangkan tangah untuk meraih tangan-tangan kecil mereka ke dalam pelukan. "Kalian sama siapa ke sini? Duh, comelnya.""Sama Umma, Mbak. Sama seseorang juga, katanya gak boleh bilang-bilang dulu."Aku mengernyitkan dahi, siapa emang sehingga mereka saja dilarang untuk bilang-bilang. Anak kecil memang suka ada-ada saja.""Kawan-kawan, kita tarik tangan Mbak Mutia, yuk. Mbak, sini kita tutup dulu mata Mbak Mutia."Aku pun menurut saja apa yang hendak mereka lakukan, bersama anak kecil kita hanya perlu ikut sejenak pada dunia mereka. "Baik, nih. Terserah kalian mau bawa M
"Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti
"Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena
"Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,
"Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang
"Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke
"Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba
"Mutia, kamu gak mau gubris aku sama sekali? Ha?" ketus Mas Agha. Aku pun mendongak, lalu berhenti mengunyah. Ibrahim terkekeh, lalu melanjutkan makan kembali. "Ya ... siapa suruh Mas Agha gak mau pesen makanan juga. Coba aja Mas Agha tadi ikut makan. Atau, mau Mutia pesenin?" Saat aku hendak berdiri, Mas Agha mencekal lenganku. "Gak usah, Mutia. Cukup kamu di sini, anggap aku ada." Aku mendengus pelan, kuseka tangan Mas Agha. "Maaf, Mas. Kita bukan mahram." "Apa gak bisa jika kita menjadikan di antara kita boleh saling mendekat? Bahkan hingga jarak itu tidak ada. Aku ingin kita seperti dulu, Mutia. Aku sangat mencintaimu." Kalimat Mas Agha seperti hambar terdengar telinga. Terlebih untuk hatiku. "Tidak kah kita rujuk kembali, Mutia?" Mas Agha menggeser kursi yang tadi ia duduki, lalu membungkuk di hadapanku. "Mas, ngapain sih?" Aku berusaha melarang dan menyarankan Mas Agha untuk tidak melakukan itu. "Mas, plis jangan gini." "Tidak, Mutia. Aku mohon, tolong terima aku lagi.
"Kenapa kamu ada di sini, Mas? Kamu ikutin aku, ya?" sergahku saat melihat Mas Agha dengan santainya memindah kursi ke meja kami. Awalnya, hanya ada dua kursi untuk aku dan Ibrahim saja, akhirnya sekarang pun kami bertiga. Terlihat sorot mata Ibrahim yang tidak menyukai ini. Aku mendengus pelan. "Mas, jawab."Mas Agha justru membalikkan badannya ke arahku, aku mengernyitkan dahi saat mendapati hampir terkikis habis jarak di antara kami. "Salahkah jika aku ingin mengejar kembali cintaku? Hahaha, ya cinta setelah cinta. Apa sudah istilahnya, CLBK, cinta lama bersemi kembali." Tak lama berselang, Ibrahim berdiri. Aku khawatir dia akan marah. Namun, ternyata tidak. Dia justru memindahkan kursi yang tengah kududuki. Kuat juga nyalinya. Saat ini, tak bisa dipungkiri jarak pun kembali terbentuk di antara kami, khususnya aku dan Mas Agha. "Maaf, Agha. Jika kiranya kamu tak memiliki kepentingan pada Mutia, tolong pergi dari tempat ini. Aku ingin berbicara hal penting dengannya," pinta Ibr
Aku sudah lelah untuk bertanya, biar saja Ibrahim mau membawaku ke mana. Pasrah saja. Aku memilih untuk menatap ke arah luar jendela. Baru kusadari semakin ke sini, pemandangannya semakin indah, sejuk, dan menyiratkan ketentraman. "MasyaAllah, sungguh indah pemandangan ini. Nikmat yang mana lagi yang aku dustakan." Aku pun melupakan pemikiran buruk mengenai pria di hadapanku yang tengah sibuk mengemudi. Memang sih, sikapnya berubah yang membuat pikiranku jadi traveling. Tetumbuhan hijau, gunung-gunung menjulang, langit yang sangat biru. Jalan beraspal, tak terlalu rikuh dengan kemacetan. Jalan hendak ke mana sih ini? Kenapa asing banget. Gimana gak asing, dulu hanya diam di panti, setelah menikah dikekang mertua. Dijual mertua dan ipar dengan diceritakan ke mana-mana. Bodohnya aku, aku selama ini hanya diam saja. Kepalaku jadi terputar pada masa lalu yang menyesakkan dada. "Huh, menantuku memang tak ada gunanya. Coba saja dulu aku menikahkan putraku dengan anakmu, Jeng," seru m