All Chapters of Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan: Chapter 41 - Chapter 50

70 Chapters

Keputusan Danisa

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 41  Keputusan Danisa  "Ada apa ini?" Suara bapak membuatku mendongak memandang sumber suara.  "Tidak ada apa-apa, Pak." "Maafkan saya, Pak. Maafkan saya yang telah menyembunyikan fakta ini dari semuanya. Maafkan saya," ucap Ibu mertua seraya mengusap air matanya. Isak tangisnya sungguh pilu. Ia masih tetap berdiri di depan pintu di sebelah Mas Damar. Aku pun tak bisa mempersilahkannya masuk karena di dalam kamar penuh dengan kardus tempatku mengemasi baju-baju Mas Bima.  "Maaf kenapa, Bu?" Wajah bapak tampak bingung. Maklum karena bapak belum mengetahui soal ini.  Ibu kembali menceritakan apa yang baru saja terjadi. Bapak pun tampak merasa bersalah karena dulu telah menerima pinangan Mas Bima tanpa tahu alasannya lebih dulu.  "Maafkan Bapak, Nduk. Bapak pun tak
Read more

Selamat Tinggal Kenangan

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 42  Selamat Tinggal Kenangan Setelah beberes semua peralatan bekas acara pengajian selesai aku merasakan ada hal yang berbeda dari diriku. Sesuatu yang rasanya tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Aku hanya mampu menikmati rasa ini dalam sunyi di dalam kamar yang pernah menjadi saksi kehidupan rumah tangga kami berdua. Tubuhku letih, pikiranku kacau dan hatiku kalut.  Foto pernikahan yang terpasang di dinding kamar nyatanya malah membuat dadaku semakin sesak. Melihat itu membuat hatiku kembali mengenang kejadian saat itu yang sungguh tak pernah terbayangkan olehku.  Aku duduk di atas pelaminan dengan orang yang sama sekali tak kucintai. Dengan memasang senyum terpaksa kepada setiap tamu yang datang untuk mengucapkan doanya pada kami.  "Terima kasih ya, kamu sudah mau menjadi pendamping hidupku," ucapnya kala itu. Aku h
Read more

Keputusan Bapak

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 43  Keputusan Bapak  Setelah semua pakaian Mas Bima dibawa pergi, aku lalu masuk ke kamar. Mengurung diri menata hati. Kubiarkan kedua orangtuaku juga Ibu mertua mengurus sisa pekerjaan rumah juga menjaga Kirani. Sedangkan aku, sibuk mengemasi luka yang tak kunjung mendapatkan penawarnya. Ternyata meskipun seluruh barang milik mas Bima kuberikan pada orang lain, bayang-bayang kesalahan Mas Bima tak lantas hilang begitu saja.  Aku mengurung diri di dalam kamar. Menikmati rasa ini sendiri tanpa ingin orang lain melihat keadaanku yang menyedihkan ini. Beberapa kali Ibu memintaku untuk turut sarapan bersama mereka namun aku tak menjawab. Aku hanya ingin sendiri.  Yang kuinginkan saat aku keluar dari kamar ini adalah hati dan pikiranku sudah lebih baik. Tak ada lagi bayangan Mas Bima dan segala rahasianya yang membuat dadaku sesak. 
Read more

Sungguhkah Ini Nyata?

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 44  Sungguhkah Ini Nyata?  Seorang perias datang pagi-pagi setelah kemarin dipesan khusus oleh Mas Damar untuk meriasku. Beliau membawa sekotak peralatan rias yang siap digunakan merubah wajahku. Tak lupa juga aku membersihkan diri sebelum wajahku diolesi dengan berbagai krim untuk menunjang penampilanku.  "Jangan terlalu menor ya, Bu? Saya tak mau terlihat mencolok. Yang natural saja." Aku meminta pada Ibu perias agar tidak meriasku seperti pengantin pada umumnya. Karena ini hanya pernikahan siri dan Mas Damar memintaku untuk terlihat berbeda makanya beliau memaksa untuk memakai jasa perias.  Sebenarnya aku tak ingin dirias begini, tetapi biarlah aku terima untuk menghargai keputusan Mas Damar. Juga karena aku ingin membuat Mas Damar bahagia di hari pernikahan kami ini. Ya meskipun hanya secara siri, tapi ini yang pertama untuknya. 
Read more

Jangan Keluar!

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 45  Jangan Keluar!  "Bagaimana bisa kamu dengan cepat menebus sertifikat ini?" tanya Ibu mertua penuh selidik. Sebab beliau tak percaya dengan Mas Seno yang hanya dalam waktu beberapa bulan saja sudah bisa menebus kembali sertifikat rumah yang telah digadaikan.  "Saya gadaikan ini di teman saya, Bu. Jadi setelah punya uang bisa langsung diambil kembali. Beda lagi kalau digadaikan di koperasi atau di bank, ngga bisa ditebus dengan cepat." Wajah Mas Seno masih saja terlihat lesu. Entah apa yang sedang beliau pikirkan padahal sertifikat sudah berhasil ia kembalikan dan kini Ibu mertua pun mengembalikan sertifikat rumah yang ditempati Mas Seno.  "Bagus kalau begitu. Itu berarti kamu berhasil mendidik istrimu untuk tidak boros sehingga uangmu bisa dipakai untuk menebus kembali sertifikat ini." "Ibu salah." Wajah Mas Seno kia
Read more

Malam Ini Milik Kita

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 46  Malam Ini Milik Kita "Nggak mau, Pak. Malu katanya." Mas Damar tiba-tiba menyahut.  "Izin keluar ya, Pak." Lagi-lagi suamiku itu bersuara. Mendengar itu wajahku rasanya menghangat. Bibirku tiba-tiba saja menyunggingkan senyum. Senyum merekah yang keluar dengan sendirinya.  "Nggak usah minta izin, ya sudah buruan berangkat. Jangan khawatirin anak-anak mumpung masih ada Bapak dan Ibu di sini, puas-puasin berduaan dulu. Kalau Bapak dan Ibu sudah pulang beda lagi ceritanya," ucap Bapak sambil terkekeh. Beliau yang kebetulan lewat depan kamar langsung berhenti saat melihatku berada di luar kamar.  Bapak pun kembali berlalu meninggalkan aku dan Mas Damar yang masih berdiri di depan pintu. Tatapan mata Mas Damar seakan mengejekku karena tak percaya dengan ucapannya tadi.  "Ya sudah buruan ganti ba
Read more

Dua Hati Bersatu

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 47  Dua Hati Bersatu Sebuah kamar tipe superior menjadi pilihan Mas Damar untuk kami menikmati indahnya malam. Kamar dengan singlebed berukuran besar yang berada persis di tengah ruangan. Di sisi kiri kasur itu terdapat sebuah kursi besar menghadap dinding kaca yang menampakkan pemandangan kota Surabaya malam ini.  Dari dinding kaca itu dapat kunikmati kilatan cahaya lampu dari berbagai gedung yang menjulang. Cahaya bintang pun tak kalah berkilaunya, membuat mataku enggan beranjak dari sisi dinding ini.  Sebuah kursi besar nan empuk menjadi tempatku meletakkan bobot tubuh untuk menikmati indahnya malam ini. Sungguh aku tak pernah melihat pemandangan segemerlap ini selama hidupku. Juga baru kali ini kuinjakkan kaki dalam sebuah gedung dengan banyak kamar di dalamnya. Bahkan saat dengan Mas Bima pun aku tak pernah diajaknya.  
Read more

Amarah Yang Mereda

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 48  Amarah Yang Mereda "Tolong, Mas. Beri aku kesempatan sekali lagi!" Suara perempuan itu terdengar pilu. Air matanya tampak mengalir membasahi pipi mulusnya. Kata-katanya terbata karena isakan yang ditimbulkan oleh tangisannya. Aku menarik tangan Mas Damar untuk berhenti sejenak. Memberikan ruang pada dua orang di depan mataku untuk menyelesaikan pembicaraannya. Bukan menguping. Aku hanya tak ingin membuyarkan perasaan kedua orang tersebut yang sepertinya terlanjur hanyut oleh perasaan mereka masing-masing.  "Aku sudah memberimu waktu untuk berubah. Tapi ternyata kamu mengabaikan peringatanku. Aku cinta padamu tapi sikapmu membuatku tersiksa." Lelaki itu menundukkan kepalanya. Tampak kesedihan tergambar jelas dari raut wajahnya yang menunduk. Serpihan kaca memenuhi kedua kelopak matanya, namun kepala itu buru-buru mendongak aga
Read more

Adaptasi

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 49  Adaptasi "Saya balik dulu ya, Bu?" pamitku pada Ibu mertua. Wajah Ibu masih lemas, beliau hanya bisa pasrah saat aku pamit undur diri dari hadapannya.  "Iya, hati-hati ya?" jawabnya lemah.  Mas Seno kemudian masuk bergabung bersama Ibu di kamar. Ia kemudian berdiri di sebelah ranjang tempat Ibu berbaring. Mas Seno yang sekarang tampak lebih tegas dari pada Mas Seno yang dulu. Dia yang dulu tampak tunduk pada kemauan istrinya. Sedangkan dia yang sekarang lebih terlihat tegas dan keras. Mungkin ini karena ujian dalam hidupnya yang telah membuatnya terpuruk dalam lembah hutang hingga kini ia mampu bangkit dan berbenah diri.  Bagus begitu. Karena hanya dia satu-satunya harapan Ibu mertua sebagai tumpuan hidup. Meskipun Ibu sudah memiliki uang pensiunan tetapi harta saja tak cukup untuk menemani hari tuanya. Ibu masih bu
Read more

Bunuh Diri

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 50  Bunuh DiriPoV Damar Ar Rasyid  "Pak, ada masalah di kantor." Sebuah pesan kubaca dari orang kepercayaanku di kantor. Dia Randi. Dia adalah teman baik sekaligus orang kepercayaanku di perusahaan yang Papa pasrahkan padaku.  "Tunggu, aku akan datang." Send. Setelah membalas pesan dari Randi aku mengajak Dewi balik dari rumah sakit tempat orang tua Mas Bima di rawat.  Tiba-tiba saja aku kepikiran untuk mengantar orangtua Dewi pulang ke kampung. Aku rindu suasana kampung Dewi.  Dulu saat pertama kali bertemu Dewi di masjid dekat rumahnya, aku langsung terpesona oleh kecantikannya. Aku yang hanya sedang menunggu temanku untuk salat, hanya bisa terpaku melihat wajahnya yang cantik alami lewat depan mobil yang kutumpangi. Rambutnya yang ia
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status