Semua Bab Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan: Bab 11 - Bab 20

70 Bab

Bak Petir Di Siang Hari

Bak Petir Di Siang Hari   Kupikir jika sedikit saja uang pemberian Tuan Bram kubagi pada Feni untuk membeli kursi roda, masih cukup untuk menebus biaya rumah sakit Rani. Namun aku salah. Biaya untuk observasi luka di kepalanya cukup besar untuk ukuran orang sepertiku.  Kini aku sedang duduk kursi di depan pintu kamar rawat Rani. Menatap nanar nota pembayaran yang masih kurang sedikit lagi. Berpikir kemana harus mencari tambahan biaya selain ikut kerja bersama Arum. Sudah cukup sekali saja aku masuk ke dalam tempat seperti itu. Aku tak mau lagi. "Kok nggak masuk, Nduk?" Suara ibu mengagetkanku. Segera ku masukkan nota pembayaran dalam kantong gamisku. Lalu kuusap air mata yang mengalir di pipi. Rasa ini sungguh membuatku tak bisa menghentikan air mataku untuk tak mengalir. Namun, aku tak mau ibu melihatku menangis.  "Nggak apa-apa, Bu. Lagi pengen duduk di sini sebe
Baca selengkapnya

Tanggung Jawab

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 12  Tanggung Jawab Aku berjalan dengan langkah gontai. Menyusuri jalanan dengan pandangan nanar dan perasaan berkecamuk. Sebulan itu bukan waktu yang sebentar, cukup lama untukku sanggup berada dalam lingkungan mengerikan seperti itu tiap malam. Tak terbayangkan bagaimana aku sanggup melalui hari-hari dengan bayangan mengerikan dalam gedung tersebut.  Apa yang harus kulakukan agar aku bisa keluar dari belenggu yang mengerikan ini? Pada siapa aku harus memohon untuk bisa melepaskan diri ini dari jerat dunia malam? Lagi-lagi aku harus menelan cobaan ini sendiri.  Kuhembuskan napas lebih dalam, membuang segala rasa yang menyesakkan dada. Perlahan terbit keyakinan dalam diri bahwa pasti akan ada jalan keluar untuk lepas dari kemelut masalah ini. Semoga saja.  "Mbak Dewi ...," panggil seseorang saat aku hendak masuk ke halam
Baca selengkapnya

Jangan Munafik!

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 13  Jangan Munafik Aku pasrah saat Arum menggandeng ku untuk menuju ruangan ganti. Aroma asing begitu menguar di hidungku. Kulihat di atas meja yang terletak di depan meja resepsionis terdapat beberapa pengunjung dengan botol berlogo bintang di depannya. Aku berjalan sambil menunduk, malu pada hijab yang kukenakan.  Sama seperti kemarin, aku di dandani dengan make up tebal. Baju gamis yang kukenakan terpaksa harus kulepas. Arum menggantinya dengan dress selutut berwarna hijau. Lagi-lagi aku harus menghela napas saat baju dengan bahan minim ini menempel di tubuhku. Beruntung kali ini baju yang kukenakan lebih tertutup, hanya saja lengan bajunya hanya sampai di atas siku.  "Mbak Dewi cantik juga kalau pakai baju gini," bisik Arum. Ia menatapku dengan seringai mengejek.  Tak mampu membalas ucapannya, aku hanya diam. Membia
Baca selengkapnya

Dia?

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 14 Dia?  "Mbak, nggak apa-apa?" tanya laki-laki di depanku.  Aku sedang menunduk, menahan sakit di lenganku akibat terjatuh.  Kuabaikan rasa sakit ini saat aku melihat lelaki gondrong itu keluar dari area parkir. Seketika aku berdiri, berlindung di belakang tubuh lelaki di hadapanku ini sambil mencengkeram erat bajunya. "Tolong bantu saya, Pak. Bantu saya lepas dari lelaki gondrong di depan sana," ucapku gemetar sambil menutup wajahku dengan tangan sedangkan tanganku yang lain mencengkeram erat baju lelaki di depanku ini.  Peluh membanjiri keningku. Baju yang semula kering kini basah oleh keringat. Rambut yang semula rapi, kini tak berbentuk, bahkan pengikatnya hilang entah kemana. Debar jantungku tak berirama. Ngos-ngosan, seperti habis lari dikejar satpol pp. Ah malang nian nasibku malam ini. 
Baca selengkapnya

Ingin Kupeluk Dan Tak Kulepas

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 15  Ingin Kupeluk Dan Tak Kulepas Lagi Aku berjalan menyusuri jalan raya dengan langkah gontai. Suasana malam hari yang kian pekat ditambah dengan makin sedikitnya pengendara yang lalu lalang membuat malam ini kian mencekam. Terlebih aku berjalan di kegelapan malam hanya seorang diri. Bertemankan suara semilir angin yang kian dingin menusuk kulit.  Tak ada yang menemani. Tak ada satu pun yang mengantarku hingga kaki ini lelah melangkah. Rasa takut kembali menyelimuti diri ini.  Di trotoar jalan raya, aku limbung. Menunduk meratapi nasib yang kian menyedihkan. Lelah dengan semua ini. Belum cukup beban yang kupikul soal biaya rumah sakit putriku, ditambah dengan perlakuan kasar pengunjung tempat karaoke dan ditambah lagi dengan kehadiran Mas Damar yang secara tiba-tiba.  Seharusnya aku bahagia bisa bertemu dengan Mas Dama
Baca selengkapnya

Ungkapan Hati

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 16  Ungkapan Hati Aku kembali dari loket pembayaran dengan pikiran penuh tanda tanya. Siapa yang sudah membayar sisa tagihan rumah sakit ini. Bukan untuk apa-apa, hanya ingin mengucapkan terima kasih saja, juga aku doakan yang terbaik untuk yang telah menolong. Ingin membalas pun aku tak punya apa-apa, hanya punya mulut untuk berdoa memohon kebaikan untuk siapapun orang itu.  Kususuri sepanjang lorong rumah sakit ini dengan perasaan tak menentu. Rasa syukur mendominasi perasaan yang tak menentu itu. Biarlah siapapun itu, semoga Allah balas kebaikannya seribu kali lipat dari yang sudah ia berikan untuk keluargaku.  "Bagaimana Nduk? Siapa yang sudah melunasi sisa tagihannya?" tanya ibu saat aku sudah kembali ke kamar Rani. Ibu dan Rani sudah bersiap untuk pulang. Segala barang bawaan sudah ibu rapikan, hanya tinggal menunggu surat kontrol untuk Ra
Baca selengkapnya

Sertifikat.

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 17  Sertifikat.  "Ibu-ibu ke sini mau jenguk anak saya apa mau ngrumpi?" pungkasku saat ibu-ibu itu masih berbisik-bisik di halaman rumah membahas apa yang dikatakan Arum.  "Iya, nih! Jadi jenguk nggak sih, malah ngerumpi sendiri!" sela Mbak Sari, istri Mas Halim.  "Apapun pekerjaan saya, itu urusan saya. Kalau mau jenguk anak saya silahkan masuk, tapi kalau mau ngerumpi biar saya tutup pintunya."  "Iya, iya, Mbak! Kami masuk! Sensi amat!" desis Arum yang kemudian mendahului para tetangga yang lain masuk ke ruang tamu.  "Ada tamu rupanya, mari masuk ibu-ibu," ucap Ibu yang baru saja keluar dari kamar Mas Bima menuju ruang tamu.  "Makasih, Bu." Mbak Sari mengikuti Arum masuk ke dalam rumah. Kemudian diikuti oleh ibu-ibu yang lainnya, termasuk Mbak Darmi pemilik war
Baca selengkapnya

Nasi Sudah Menjadi Bubur

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 18  Nasi Sudah Menjadi Bubur "Jangan begitu, Bu. Ibu tak adil padaku!" sergah Mas Seno. Ibu hanya diam di tempat, sama sekali tak menggubris apa yang diucapkan olehnya.  "Sebagai seorang suami, seharusnya kamu bisa menasehati istrimu! Bukan kamu yang mengikuti apa maunya seperti kerbau dicocok hidungnya! Ibu kecewa sama kamu!" ucap ibu tegas.  "Aku cinta istriku, Bu! Aku mau membahagiakannya!" racaunya lagi. Mas Seno telah dibutakan oleh cinta sehingga tiap permintaan istrinya selalu ia turuti.  "Cinta kamu bilang? Cinta sama istrimu sampai kamu mengorbankan hak saudaramu? Kamu jahat! Ibu tak pernah mendidikmu untuk menjadi lelaki seperti ini!" pekik ibu.  "Bahkan ibu tak mempermasalahkan jika ia tak bisa memberimu keturunan, tapi tidak dengan mengorbankan hak saudaramu!" sambung ibu lagi. Dada
Baca selengkapnya

Amukan Di Pagi Hari

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 19  Amukan Di Pagi Hari.  "Bu, sudah enakan badannya?" tanyaku saat ibu menghampiriku di dapur. Setelah saat subuh tadi, aku pergi ke tukang sayur, belanja beberapa menu masakan. Mumpung masih ada sedikit rejeki, aku ingin memasak untuk keluarga di rumah. Bukan makanan mewah, hanya sedikit berbeda dari biasanya yang lebih sering makan dengan mi rebus dan telur.  "Sudah sehat. Kemarin ibu hanya syok saja. Ngga habis pikir sama si Seno itu." Tangan ibu mengambil alih pisau yang kupegang saat kutinggal untuk menggoreng lauk.  "Maklum saja, Bu. Namanya cinta, ya begitulah." Aku berucap sambil tersenyum. Tak bisa dipungkiri, begitulah cinta membutakan mata manusia.  "Cinta ya cinta, tapi logika harus jalan. Kalau nggak mampu membahagiakan ya jangan memaksakan diri, apalagi sampai mengambil hak saudaranya," sungut ibu. M
Baca selengkapnya

Dua Gadis Kecil

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 20  Dua Gadis Kecil.  "Mas Bima!" teriakku saat melihat pintu kamar Mas Bima berubah posisi dari yang tadinya terbuka menjadi lebih rapat dengan kusen pintu. Segera kuletakkan Rani di atas lantai, lalu aku bergegas menuju kamar Mas Bima.  "Mas!" teriakku lagi saat melihat tubuhnya terkulai di lantai. Badannya lemas dengan air liur yang sudah mengalir dari sudut bibirnya.  Kurengkuh kepalanya dalam pelukanku. Kupeluk erat kepala yang matanya sudah terpejam itu. Air mataku pun tak kuasa kutahan. Kubiarkan ia mengalir dengan sendirinya melihat keadaan di depanku ini. Suami yang sungguh mencintaiku mengapa kini engkau menjadi seperti ini.  Ibu dan yang lainnya pun segera mengikutiku masuk ke dalam kamar. Melihat apa yang terjadi dengan Mas Bima. "Bima kenapa, Nduk?!" teriak ibu kaget melihat Mas Bi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status