All Chapters of Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan: Chapter 1 - Chapter 10

70 Chapters

Harta Satu-satunya

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan  "Miring dulu ya, Mas," ucapku pada suamiku yang tengah terbaring tak berdaya di ranjang. Lalu aku seka punggungnya dengan waslap dan air hangat agar tubuhnya lebih segar.  Mas Bima hanya tersenyum saat badannya kubersihkan. Tampak bibirnya ingin bergerak namun tak bisa.  "Apa Mas? Badannya segar ya?" Mas Bima tak menjawab, hanya gerakan bulu matanya yang mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan ucapanku.  Kupakaikan baju yang bersih juga harum agar ia bisa kembali tidur dengan nyaman. Setelah baju kupaikan, tak lupa kusisir rambut bagaian depan agar terlihat rapi. Meskipun ia hanya tidur di atas ranjang tanpa bisa kemanapun, aku tetap memperhatikan penampilannya.  "Bu, sudah selesai mandikan ayah?" tanya Danisa, putriku.  "Kenapa, Mbak?" tanyaku balik tanpa menghadap waj
Read more

Terpaksa Berhutang

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 2 Mataku tak jua terlelap. Pikiranku penuh sesak tentang cara bagaimana lagi agar bisa bertahan hidup setelah ini. Tak mungkin jika terus mengandalkan pemberian mertua saja sementara kami hanya berpangku tangan. Kutatap tubuh suamiku yang tengah terlelap. Seandainya kamu tak sakit begini, Mas, mungkin aku tak perlu bersusah payah memikirkan cara untuk kita bisa bertahan hidup. Kamu akan tetap giat bekerja seperti biasa sedang aku menunggumu bersama anak-anak di rumah dengan sajian lengkap di atas meja makan. "Cepat sembuh, Mas," ucapku mengusap lembut wajahnya dengan jemariku. Jika dulu kami selalu menghabiskan malam dengan bertukar pikiran sebelum terlelap, maka sudah enam bulan ini kuhabiskan malam hanya dengan menatap wajahmu. "Kita akan berjuang sama-sama, Mas," ucapku kemudian yang menimbulkan pergerakan dari bulu matanya. Tanpa aba-aba mata itu terbuka. Ia menatapku dalam
Read more

Hampir Celaka

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 3   Kirani masih tak sadarkan diri di ranjang UGD rumah sakit. Kepalanya terbalut perban yang terdapat noda merah di keningnya akibat mengalami benturan. Lengan kanannya memar juga kulit di kaki kanannya mengelupas karena gesekan dengan aspal. Ia terserempet mobil saat sedang mencariku, dan sialnya si penabrak malah melarikan diri.  "Wi kamu bisa urus administrasinya lebih dulu, aku harus pulang dan maaf aku cuma bisa antar sampai sini saja," pamit Mas Halim. Ia adalah tetangga sebelah rumah yang baiknya sudah seperti saudara sendiri.  Tanpa menjawab aku hanya mampu menunduk, bingung dengan musibah yang tengah Allah beri ini.  "Wi kamu kenapa?" tanya Mas Halim penuh selidik.  Aku bingung mau menjawab bagaimana. Hendak meminta bantuan pun tenggorokanku tercekat, tak mampu berucap. Hendak membiarkan ia p
Read more

Keputusan Berat

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 4   "Hati-hati, Mbak kalau jalan," ucap seorang bapak paruh baya yang sudah meneriakiku saat aku telah kembali berada di pinggiran jalan raya.  Seseorang hampir menabrak tubuhku manakala aku terlalu fokus dengan apa yang ada di pikiranku tanpa memperhatikan jalanan sekitar. Beruntung bapak tadi berteriak sehingga membuat kesadaranku kembali penuh.  Seorang ibu penjaga warung menghampiriku dengan segelas air putih ditangannya saat aku tengah duduk untuk menunggu ritme jantungku kembali normal.  "Diminum dulu, Mbak, pasti kaget tadi." Senyum yang terkembang dari bibirnya membuatku turut tersenyum.  "Terima kasih, Bu," jawabku sopan sambil meraih gelas di tangannya. Seketika kuteguk hingga tandas seluruh isi dalam gelas itu. Sungguh berjalan sejauh ini membuat tenggorokanku terasa kering, ditambah dengan
Read more

Air Mata Suami

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 5 "Mas yuk makan dulu," ajakku sambil mengganjal punggungnya dengan dua bantal, agar posisinya setengah duduk. Di meja dekat ranjangnya sudah tersedia segelas air putih juga terdapat beberapa obat-obatan yang harus dikonsumsi Mas Bima. Sprei yang selalu kuganti tiap bulan tak menjadikan kamar ini terlihat lusuh dan bau. Aku selalu memperhatikan kebersihan juga kerapiannya. Karena hari-hari Mas Bima ia habiskan di dalam kamar, maka aku tak mau membuatnya tersiksa dengan kamar yang bau dan kotor. Saat perjalanan pulang tadi kubelikan Mas Bima sebungkus nasi yang kubagi menjadi dua bagian. Sebagian untuk Mas Bima, sebagian lagi untuk Danisa. Biarlah aku hanya makan sisa dari Mas Bima saja, toh sudah sering aku menahan lapar dengan  banyak minum air putih untuk menekan pengeluaran harian. Saat aku selesai menyuapi Mas Bima, terdengar suara langkah kaki dari ruang tamu. Segera kuletakk
Read more

Room Delapan

Room Delapan   "Duh wajahnya kok lesu begitu, Mbak? Nanti tamunya eneg lihat wajah Mbak!" decak Arum kesal melihat wajahku yang kusut karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.  "Maaf Rum, biar saya cuci muka dulu," sahutku lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.  Ah gini amat ya mau kerja, wajah harus dijaga agar tamu tak jengah lihat wajah kusut ini. Segera kuraih air dalam gayung lalu kusiramkan ke wajah kusutku. Setelah mencuci muka, sebelum Arum menghias wajahku dengan bedaknya, kusempatkan diri untuk berpamitan pada Mas Bima lebih dulu.  Mas Bima sedang terpejam di atas ranjangnya. Kuusap lembut pipinya hingga mata itu terbuka sempurna.  "Mas, aku pergi dulu ya? Nanti akan ada Mas Halim yang datang untuk melihat keadaan Mas. Mas jangan khawatir, insya Allah aku bisa jaga diri. Doakan aku agar peke
Read more

Tuan Bram

Tuan Bram  Ragu aku melangkah ke dalam ruangan yang minim penerangan ini. Namun Arum menggandeng tanganku memaksaku masuk hingga kami berada tepat dihadapan lelaki paruh baya ini.  Ah lelaki hidung belang. Sudah tua masih saja main-main di tempat seperti ini, batinku. "Ini Tuan, barang baru." Tangan Arum menunjuk daguku. "Hemm ... oke. Cantik. Kamu boleh pergi," ucapnya sambil menelisik wajahku.  Arum hanya tersenyum mendengar jawaban lelaki di depannya. Kemudian ia berganti menatap wajahku.  "Sudah ya, Mbak. Saya pergi dulu. Jangan lupa layani Tuan Bram dengan sebaik-baiknya. Jangan buat ia kecewa." Setelah berucap demikian, tanpa ragu Arum menjawil dagu lelaki dihadapannya kemudian berlalu dari hadapan kami dengan jalan yang dibuat seolah-olah ia sedang berjalan sebagai model.  "Duduk," perintahnya. 
Read more

Terpaksa Berbohong

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   "Syaratnya apa Tuan?" tanyaku penuh harap. Tak apalah memenuhi syaratnya yang lain asal tubuhku tak sampai dijamahnya. "Saya mau lihat sendiri bagaimana kondisi anak kamu. Saya tak mau asal memberi uang, kebanyakan wanita sepertimu hanya memberikan bualan cerita demi meraih simpati yang mau menolong," ucapnya dingin. Wajahnya tampak tegas ditambah dengan rahang kokoh itu terkatup rapat setelah selesai mengucapkan permintaannya.  Aku maklum, karena hal ini biasa terjadi. Jangankan menolong orang, meminta sumbangan pun kadang disalahgunakan. "Boleh, Tuan. Saya tidak berbohong. Demi Allah. Silahkan ikut saya ke rumah sakit untuk melihat bagaimana keadaan anak saya. Sudah seharian saya meninggalkannya bersama kakak dan neneknya. Hanya demi mencari rupiah untuk membayar tagihan rumah sakit." Aku pun membalas ucapan tegasnya dengan ucapan ya
Read more

Amplop Coklat

Amplop Coklat    "Jangan pergi Ibu," ucap Rani dengan isakannya yang tak henti.  "Sebentar, Nak. Ibu harus mengantar atasan ibu keluar sebentar," ucapku memohon sambil kuusap lembut rambutnya agar ia luluh. Kutatap lebih dalam wajah Rani yang sayu. Matanya mengerjap mendapati aku yang terus memohon dengan bahasa mata.  "Maaf Tuan. Anak saya rewel," ucapku saat Rani tak kunjung mau lepas dariku.  "Iya tak apa, saya mengerti." Matanya nanar melihat Rani dengan erat memeluk tubuhku.  "Sebentar saja ya, Nak?" ucapku memohon.  "Baiklah." Seiring dengan ucapannya, Rani melepas tangannya dari tubuhku. Kemudian ia beralih duduk di atas ranjangnya sendiri.  "Mari Tuan," ajakku setelah aku turun dari ranjang Rani dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh lelaki gagah nan berkharism
Read more

Bimbang

Bimbang  "Bu dipanggil Mbak Arum itu dibelakang," ucap Danisa. Ia sesekali menoleh ke belakang, melihat betapa Arum berusaha memanggilku. Sengaja aku tak mau menoleh, aku tak ingin Arum membahas masalah apapun di depan Danisa, terlebih soal pekerjaan.  "Sudah biarkan saja. Kalau butuh sama ibu biar Mbak Arum datang ke rumah." Ku percepat langkah sambil terus menggandeng tangan Danisa hingga kami sampai di depan rumah.  "Cepat siap-siap ke sekolah, Nak. Biar nggak kesiangan," ucapku setelah membuka pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Mungkin Mas Halim baru saja melihat kondisi Mas Bima sehingga pintu rumah tak dikunci.  Tanpa menjawab lagi, Danisa segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke sekolah. Sementara aku pergi ke dapur untuk meletakkan nasi yang sudah kami beli setelah turun dari angkutan umum. Lalu menjarang air lebih dulu untuk men
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status