Share

Air Mata Suami

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 5

"Mas yuk makan dulu," ajakku sambil mengganjal punggungnya dengan dua bantal, agar posisinya setengah duduk. 

Di meja dekat ranjangnya sudah tersedia segelas air putih juga terdapat beberapa obat-obatan yang harus dikonsumsi Mas Bima. Sprei yang selalu kuganti tiap bulan tak menjadikan kamar ini terlihat lusuh dan bau. Aku selalu memperhatikan kebersihan juga kerapiannya. Karena hari-hari Mas Bima ia habiskan di dalam kamar, maka aku tak mau membuatnya tersiksa dengan kamar yang bau dan kotor. 

Saat perjalanan pulang tadi kubelikan Mas Bima sebungkus nasi yang kubagi menjadi dua bagian. Sebagian untuk Mas Bima, sebagian lagi untuk Danisa. Biarlah aku hanya makan sisa dari Mas Bima saja, toh sudah sering aku menahan lapar dengan  banyak minum air putih untuk menekan pengeluaran harian. 

Saat aku selesai menyuapi Mas Bima, terdengar suara langkah kaki dari ruang tamu. Segera kuletakkan piring nasi di atas meja dan segera melihat siapa gerangan yang datang. 

"Wi, gimana kabar anakmu?" Ibu mertua datang dengan tergesa. Mungkin Mas Seno memberi tahunya mengenai keadaan Rani. Ibu lantas duduk di kursi ruang tamu, dan kuikuti apa yang dilakukannya. Aku duduk tepat di sebelah ibu. 

"Sudah sadar, Bu. Tadi dia tidur lalu saya tinggal pulang sebentar."

Belum selesai obrolan kami, terdengar suara salam Danisa dari arah luar. Ia baru pulang dari sekolahnya. Keringatnya bercucuran dari kening dan kerudungnya. Gegas ia raih tanganku juga tangan ibu secara bergantian untuk bersalaman. Lalu kusodorkan segelas air putih untuk melepas dahaganya. Layaknya yang dilakukan ibu penjaga warung tadi padaku. 

"Adek kemana, Bu? Kok sepi rumahnya?" tanyanya dengan kepala celingukan. 

"Adek di rumah sakit," jelasku pelan. 

"Ngapain, Bu?"

"Jatuh tadi," ucapku pelan. 

"Kamu nggak balik lagi ke sana, Wi?"

"Seharusnya balik ke sana, Bu. Tapi nanti habis isya saya harus kerja," jawabku sendu. 

"Kamu kerja? Terus anakmu gimana?"

"Saya mau minta tolong sama Danisa, toh malamnya saya pasti pulang."

"Aku jaga sendirian, Bu?" sahut Danisa. 

"Nggak sendirian, Nak. Disebelah ranjang adikmu ada ibu-ibu yang juga merawat suaminya. Kamu tak sendiri," sergahku. Berharap ia dengan senang hati menerima permintaanku. 

"Biar sama ibu saja," pungkas ibu. 

"Tidak, Ibu. Ibu biar disini saja, jaga Mas Bima. Kasihan kalau di rumah sendirian," selaku. 

"Ibu di sini juga suamimu nggak akan lari kemanapun, lebih butuh Rani untuk didampingi. Apa kamu nggak kasihan anak seusia Danisa harus menjaga adiknya seorang diri," sungut ibu. 

Benar juga apa yang ibu ucapkan. Entah apa yang sedang kupikirkan ini, sungguh berat sekali rasanya kepala juga badan ini. 

"Yowis Nduk kamu buruan ganti baju, terus sholat juga makan, habis ini kita berangkat ke rumah sakit, biar ibumu di rumah siap-siap buat kerja nanti malam," pinta ibu pada Danisa. 

Tanpa banyak bertanya lagi, Danisa segera beranjak dari hadapan kami. Sedang ibu memusatkan pandangannya ke arahku. Tajam. 

"Kerja apa kamu, Wi?"

"Saya kerja di kafe, Bu. Kebetulan sedang butuh karyawan secepatnya. Tak ada pilihan lain, biaya rumah sakit Rani harus segera dibayar secepatnya." Kristal bening jatuh dari pelupuk mataku, terpaksa aku berbohong pada ibu. Sejurus kemudian bayangan Rani yang tengah tertidur di atas ranjang hadir dipelupuk mata. Entah bagaimana keadaannya sekarang. Sudah bangun ataukah masih terlelap, yang pasti sudah ada suster jaga yang senantiasa membantuku menjaganya. 

Tak butuh waktu lama, ibu dan Danisa pergi menuju rumah sakit. Kuberi sedikit uang untuk pegangan, namun ibu menolak. 

"Ibu masih ada pegangan, kamu lebih butuh uang itu." 

Jawaban ibu tadi tak henti membuatku bersyukur memiliki mertua seperti beliau. Sejak musibah menimpa kami, beliau tak henti membagi uang pensiunannya padaku. Ibu merasa turut bertanggung jawab untuk menafkahi kami, karena anaknya sedang terbaring tak berdaya. 

Akupun terpaksa menerima bantuan dari ibu untuk bertahan hidup. Tak ada pilihan lain, hanya sesekali tetangga memimtaku untuk membantu saat mereka sedang ada hajatan atau nikahan dan setelahnya aku mendapatkan upah. Tak banyak, namun bisa untuk membeli sedikit kebutuhan disaat ibu telat memberikan sebagian uang pensiunannya pada kami. 

Kurebahkan diri sejenak, merasai tubuh yang lelah dan letih. Menikmati setiap nyeri yang menjalar menuju daging kecil dalam dada. Tak pernah terbersit dalam pikiranku akan menjadi seorang pekerja malam. Sungguh ... sungguh ini bukan mauku. 

Adzan magrib baru saja berkumandang. Bergegas aku mensucikan diri, lalu menghadap dan memohon ampunan kepada Allah. Bagaimanapun aku tahu ini salah, tapi keadaan tak memungkinkan untukku mencari jalan lain. Aku sudah berusaha untuk meminta pertolongan pada Mas Seno, namun ia tak menghendaki menolongku meminjami uang sedikit saja. Sementara aku tak pernah sekalipun meminjam uang padanya. Lebih sering ibu mertua yang datang untuk berbagi rejeki tanpa aku memintanya lebih dulu. 

Puas berdoa kuhampiri suamiku di dalam kamar. Kurebahkan tubuhku disisinya agar posisi kami sejajar. Seperti biasa kupeluk ia dari samping. Mencium sejenak aroma tubuhnya yang selalu menjadi candu bagiku. 

"Mas, maafkan aku, tak ada jalan lain yang bisa kutempuh. Hanya ini satu-satunya cara untukku mencari uang agar biaya rumah sakit Rani bisa terbayar." Kuusap lembut perut rata Mas Bima, iramanya teratur meskipun sorot matanya tajam menusuk mataku. Seakan menuntut penjelasan atas apa yang kuucapkan barusan. 

"Terpaksa aku ikut bekerja bersama Arum, Mas. Biaya rumah sakit Rani lebih penting dari segalanya. Benturan dikepalnya membutuhkan penanganan lebih lanjut dan itu membutuhkan biaya yang tak sedikit bagiku yang hanya seorang ibu rumah tangga."

Setetes air bening merosot dari kelopak matanya. Aku tahu ini berat untuk Mas Bima. Dia yang selama sehatnya tak menghendaki seorang laki-laki yang bukan muhrim untuk menyentuhku, namun kali ini aku sendiri yang menceburkan diri dalam jurang nista. 

"Maafkan aku, Mas." Kuraih tangannya, kucium lembut dengan air mata yang terus membanjiri pipi tirusku. Aku tak bisa memilih jalan yang lain, hanya ini pilihan sementara. Pun aku tak mau membebani ibu mertua dengan menanggung biaya rumah sakit Rani. Biarlah aku berusaha semampuku untuk menyelamatkan nyawa putriku. 

"Maafkan aku, Mas. Aku janji ini hanya sementara. Setelah biaya untuk Rani terpenuhi, aku akan berhenti. Aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. Aku janji Mas." Tangisku kian deras. Isakanku membuat tubuhku bergetar hebat. Sungguh ini beban terberat di tahun ke sepuluh pernikahan kami. 

Mata Mas Bima pun turut mengeluarkan air mata. Segera kuarahkan tanganku ke sudut matanya untuk menghapus jejak air bening itu. Aku tak mau melihatnya menangis dalam keadaan seperti ini. Sebagai seorang suami, ia pasti terluka atas keputusan yang kuambil. 

"Jangan menangis, Mas. Maafkan aku. Sungguh aku pun berat mengambil keputusan ini."

"Keselamatan Rani lebih penting dari apapun, dokter meminta untuk segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan kepala Rani, dan aku tak mungkin diam saja, Mas." Terisak aku mendapati pemandangan di depanku ini. Sungguh, ini kali pertama kulihat wajah Mas Bima seperti ini. 

"Mbak Dewi ...!"

Bersambung🥀🥀🥀

Related chapters

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Room Delapan

    Room Delapan"Duh wajahnya kok lesu begitu, Mbak? Nanti tamunya eneg lihat wajah Mbak!" decak Arum kesal melihat wajahku yang kusut karena terlalu banyak mengeluarkan air mata."Maaf Rum, biar saya cuci muka dulu," sahutku lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ah gini amat ya mau kerja, wajah harus dijaga agar tamu tak jengah lihat wajah kusut ini. Segera kuraih air dalam gayung lalu kusiramkan ke wajah kusutku.Setelah mencuci muka, sebelum Arum menghias wajahku dengan bedaknya, kusempatkan diri untuk berpamitan pada Mas Bima lebih dulu.Mas Bima sedang terpejam di atas ranjangnya. Kuusap lembut pipinya hingga mata itu terbuka sempurna."Mas, aku pergi dulu ya? Nanti akan ada Mas Halim yang datang untuk melihat keadaan Mas. Mas jangan khawatir, insya Allah aku bisa jaga diri. Doakan aku agar peke

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Tuan Bram

    Tuan BramRagu aku melangkah ke dalam ruangan yang minim penerangan ini. Namun Arum menggandeng tanganku memaksaku masuk hingga kami berada tepat dihadapan lelaki paruh baya ini.Ah lelaki hidung belang. Sudah tua masih saja main-main di tempat seperti ini, batinku."Ini Tuan, barang baru." Tangan Arum menunjuk daguku."Hemm ... oke. Cantik. Kamu boleh pergi," ucapnya sambil menelisik wajahku.Arum hanya tersenyum mendengar jawaban lelaki di depannya. Kemudian ia berganti menatap wajahku."Sudah ya, Mbak. Saya pergi dulu. Jangan lupa layani Tuan Bram dengan sebaik-baiknya. Jangan buat ia kecewa." Setelah berucap demikian, tanpa ragu Arum menjawil dagu lelaki dihadapannya kemudian berlalu dari hadapan kami dengan jalan yang dibuat seolah-olah ia sedang berjalan sebagai model."Duduk," perintahnya. 

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Terpaksa Berbohong

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan"Syaratnya apa Tuan?" tanyaku penuh harap. Tak apalah memenuhi syaratnya yang lain asal tubuhku tak sampai dijamahnya."Saya mau lihat sendiri bagaimana kondisi anak kamu. Saya tak mau asal memberi uang, kebanyakan wanita sepertimu hanya memberikan bualan cerita demi meraih simpati yang mau menolong," ucapnya dingin. Wajahnya tampak tegas ditambah dengan rahang kokoh itu terkatup rapat setelah selesai mengucapkan permintaannya.Aku maklum, karena hal ini biasa terjadi. Jangankan menolong orang, meminta sumbangan pun kadang disalahgunakan."Boleh, Tuan. Saya tidak berbohong. Demi Allah. Silahkan ikut saya ke rumah sakit untuk melihat bagaimana keadaan anak saya. Sudah seharian saya meninggalkannya bersama kakak dan neneknya. Hanya demi mencari rupiah untuk membayar tagihan rumah sakit." Aku pun membalas ucapan tegasnya dengan ucapan ya

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Amplop Coklat

    Amplop Coklat"Jangan pergi Ibu," ucap Rani dengan isakannya yang tak henti."Sebentar, Nak. Ibu harus mengantar atasan ibu keluar sebentar," ucapku memohon sambil kuusap lembut rambutnya agar ia luluh. Kutatap lebih dalam wajah Rani yang sayu. Matanya mengerjap mendapati aku yang terus memohon dengan bahasa mata."Maaf Tuan. Anak saya rewel," ucapku saat Rani tak kunjung mau lepas dariku."Iya tak apa, saya mengerti." Matanya nanar melihat Rani dengan erat memeluk tubuhku."Sebentar saja ya, Nak?" ucapku memohon."Baiklah." Seiring dengan ucapannya, Rani melepas tangannya dari tubuhku. Kemudian ia beralih duduk di atas ranjangnya sendiri."Mari Tuan," ajakku setelah aku turun dari ranjang Rani dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh lelaki gagah nan berkharism

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Bimbang

    Bimbang"Bu dipanggil Mbak Arum itu dibelakang," ucap Danisa. Ia sesekali menoleh ke belakang, melihat betapa Arum berusaha memanggilku. Sengaja aku tak mau menoleh, aku tak ingin Arum membahas masalah apapun di depan Danisa, terlebih soal pekerjaan."Sudah biarkan saja. Kalau butuh sama ibu biar Mbak Arum datang ke rumah." Ku percepat langkah sambil terus menggandeng tangan Danisa hingga kami sampai di depan rumah."Cepat siap-siap ke sekolah, Nak. Biar nggak kesiangan," ucapku setelah membuka pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Mungkin Mas Halim baru saja melihat kondisi Mas Bima sehingga pintu rumah tak dikunci.Tanpa menjawab lagi, Danisa segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke sekolah. Sementara aku pergi ke dapur untuk meletakkan nasi yang sudah kami beli setelah turun dari angkutan umum. Lalu menjarang air lebih dulu untuk men

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Bak Petir Di Siang Hari

    Bak Petir Di Siang HariKupikir jika sedikit saja uang pemberian Tuan Bram kubagi pada Feni untuk membeli kursi roda, masih cukup untuk menebus biaya rumah sakit Rani. Namun aku salah. Biaya untuk observasi luka di kepalanya cukup besar untuk ukuran orang sepertiku.Kini aku sedang duduk kursi di depan pintu kamar rawat Rani. Menatap nanar nota pembayaran yang masih kurang sedikit lagi. Berpikir kemana harus mencari tambahan biaya selain ikut kerja bersama Arum. Sudah cukup sekali saja aku masuk ke dalam tempat seperti itu. Aku tak mau lagi."Kok nggak masuk, Nduk?" Suara ibu mengagetkanku. Segera ku masukkan nota pembayaran dalam kantong gamisku. Lalu kuusap air mata yang mengalir di pipi. Rasa ini sungguh membuatku tak bisa menghentikan air mataku untuk tak mengalir. Namun, aku tak mau ibu melihatku menangis."Nggak apa-apa, Bu. Lagi pengen duduk di sini sebe

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Tanggung Jawab

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 12Tanggung JawabAku berjalan dengan langkah gontai. Menyusuri jalanan dengan pandangan nanar dan perasaan berkecamuk. Sebulan itu bukan waktu yang sebentar, cukup lama untukku sanggup berada dalam lingkungan mengerikan seperti itu tiap malam. Tak terbayangkan bagaimana aku sanggup melalui hari-hari dengan bayangan mengerikan dalam gedung tersebut.Apa yang harus kulakukan agar aku bisa keluar dari belenggu yang mengerikan ini? Pada siapa aku harus memohon untuk bisa melepaskan diri ini dari jerat dunia malam? Lagi-lagi aku harus menelan cobaan ini sendiri.Kuhembuskan napas lebih dalam, membuang segala rasa yang menyesakkan dada. Perlahan terbit keyakinan dalam diri bahwa pasti akan ada jalan keluar untuk lepas dari kemelut masalah ini. Semoga saja."Mbak Dewi ...," panggil seseorang saat aku hendak masuk ke halam

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Jangan Munafik!

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 13Jangan MunafikAku pasrah saat Arum menggandeng ku untuk menuju ruangan ganti. Aroma asing begitu menguar di hidungku. Kulihat di atas meja yang terletak di depan meja resepsionis terdapat beberapa pengunjung dengan botol berlogo bintang di depannya. Aku berjalan sambil menunduk, malu pada hijab yang kukenakan.Sama seperti kemarin, aku di dandani dengan make up tebal. Baju gamis yang kukenakan terpaksa harus kulepas. Arum menggantinya dengan dress selutut berwarna hijau. Lagi-lagi aku harus menghela napas saat baju dengan bahan minim ini menempel di tubuhku. Beruntung kali ini baju yang kukenakan lebih tertutup, hanya saja lengan bajunya hanya sampai di atas siku."Mbak Dewi cantik juga kalau pakai baju gini," bisik Arum. Ia menatapku dengan seringai mengejek.Tak mampu membalas ucapannya, aku hanya diam. Membia

Latest chapter

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Keluarga Bahagia

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 70Keluarga Bahagia"Maafkan Mama yang sudah emosi tanpa mengetahui alasan yang jelas," ujar Mama saat beliau baru saja datang ke tempat tinggal Ibu di kampung. Ia langsung saja memelukku begitu turun dari mobil. Ada gurat sesal yang tersirat dari wajahnya yang mulai menua. Binar kesedihan terpancar dari sinar matanya yang meredup. Mama kembali meraih tubuhku untuk direngkuhnya begitu sampai di dalam rumah. Aku terharu dengan sikap Mama. Beliau yang kusangka enggan untuk datang, nyatanya kini benar-benar ada di hadapanku dan meminta untukku agar kembali mendampingi putranya di kota. "Maafkan Mama, Nak. Mama salah. Mama terlalu percaya omongan teman yang kusangka baik ternyata punya niat jahat denganmu." Air mata Mama menganak sungai. Perlahan aku meminta Mama untuk duduk di kursi ruang tamu. Ia yang terlampau sedih butuh sandaran untuk menopang bobot tubuhnya karena tiba-tiba saja aku lemas. Mas Damar dan Papa hanya memandang kami sambil tersenyum.

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Bahagia Itu Akhrinya Kembali

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 69Bahagia Itu Akhirnya KembaliMenangis adalah jalan satu-satunya untuk meluapkan rasa yang begitu menyesakkan dada. Tak ada lagi yang mampu melegakan hati kecuali dengan menghabiskan sisa air mata hingga ia tak lagi mau menetes. Sesaknya dada seperti udara tak lagi bersahabat denganku. Seakan ia tak mau masuk ke dalam rongga hidungku untuk sejenak saja memberikan kesegaran dalam diriku. Pada akhirnya aku tahu bahwa rasa itu sudah masuk memenuhi dinding hati yang membuatku kian berat untuk melepasnya. Aku rindu. Ibu datang menghampiri saat aku tengah duduk termenung di ruang tamu malam ini. Beliau bisa merasakan keadaan anaknya tanpa banyak bertanya padaku. Benar saja. Orangtua sudah makan asam garam kehidupan. Tanpa banyak bertanya pun, dari ekspresi wajah yang terpancar dari wajahku beliau sudah paham perasaanku saat ini. "Menangislah hingga kamu tak lagi ingin menangis." Ibu mengusap bahuku pelan. "Maafkan Dewi, Bu. Ini berat," ujarku lirih. Ta

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Cinta Tak Harus Memiliki

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 68Cinta Tak Harus MemilikiMas, maaf jika aku pergi tanpa pamit. Maaf jika aku harus pergi secepat ini. Aku hanya tak ingin menjadi duri dalam keluargamu yang harmonis. Aku hanyalah wanita dari desa yang tak pantas menjadi pendamping seorang pengusaha seperti dirimu. Benar apa yang diucap Mama, jika aku adalah perempuan murahan karena aku telah membuatmu melepas Sindy begitu saja demi menikah denganku. Apapun masa lalu kita, tak seharusnya merubah masa depan yang akan kau rajut bersama dia yang sepadan. Maaf jika selama ini aku salah. Aku terlalu grusa-grusuh dalam mengambil keputusan. Maaf jika aku harus menyembunyikan masa laluku darimu juga Mama karena aku tak punya cukup nyali untuk menerima konsekuensinya. Dan sekarang terbukti, apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aku memang tak pantas untukmu. Aku tak pantas jadi bagian dari keluarga besarmu. Lebih baik aku pergi, menjauh dari dirimu meskipun aku tahu ini sulit bagiku. Berusahalah untuk

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Hancur

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 67Hancur. Kebahagiaan yang sudah di depan mata tiba-tiba saja menepi dari pandangan. Rasanya aku ragu untuk bisa mereguk bahagia itu kembali jika sikap mertua tak baik padaku. Sejak dulu, memiliki mertua yang baik adalah idaman bagiku, namun siapa sangka sikapnya yang semula baik tiba-tiba berubah menjadi mengerikan seperti ini. Mana berani aku berharap banyak. Bisa bertahan menikah dengan putranya tanpa mendengar sindirannya saja sudah untung. Namun tetap saja ada yang mengganjal jika masalah ini tak segera diselesaikan. Aku tahu sikap Mama berubah karena sesuatu yang ditunjukkan oleh Mama Sindy padanya kemarin saat resepsi. Namun ucapannya yang menyakitkan bak bekas paku yang sekalipun telah dicabut, bekasnya tak akan bisa hilang. Berlubang. "Dek, jangan diambil hati ucapan Mama." Mas Damar menyusulku yang tengah terduduk lemas di teras rumah. Tiang penyangga atap ini kini menjadi sandaran punggungku untuk menikmati luka yang kembali menganga. I

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Ucapan Mama

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 66PoV. Damar: Ucapan Mama"Sebaiknya kamu ajak istrimu ke kamar, biar istirahat. Ucapan Mamamu jangan diambil hati," ujar Papa. Kulihat Dewi tengah menunduk dengan tangan yang beberapa kali mengusap sudut matanya. Ia pasti terluka karena ucapan Mama. "Yuk ke kamar?" ajakku yang langsung disambut anggukan olehnya. Dewi lantas bangkit dari tempat duduknya dan kugandeng menuju kamar untuk istirahat. Tubuhnya sudah lelah setelah seharian menjalani resepsi pernikahan kemarin, hari ini hatinya telah terluka karena ucapan Mama. Aku kasihan pada Dewi. Meskipun sebenarnya aku juga syok mendengar kabar yang baru saja kudengar namun aku masih bisa memaklumi. Tidak emosi seperti Mama. "Maafkan aku, Mas. Aku tak pernah jujur padamu sejak dulu." Dewi terisak di bibir ranjang. Ia menunduk sambil menelungkupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang basah. Istri yang baru saja sah secara negara menjadi istriku itu kini tampak merasa bersalah. Aku pun tak t

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Salah Paham

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 65Salah PahamPov Damar"Jangan hiraukan sikap Mama, biar aku yang bicara setelah di rumah besok. Malam ini milik kita, aku tak mau ucapan Mama tadi merusak malam pengantin kita." Aku berucap pada istriku saat ia menikmati sepiring sate ayam. Ia makan dengan enggan, sepertinya ucapan Mama begitu menusuk hatinya. Aku harus berbuat sesuatu besok. Tak bisa dibiarkan. Acara resepsi sudah selesai digelar. Kini semua orang tahu bahwa aku telah beristri. Dia yang kunantikan kini nyata menjadi istriku. Sungguh, aku tak pernah menyangka. Kukira, ia hanya akan menjadi angan dalam ingatanku. Kukira dia hanya akan menjadi wanita penghias masa laluku yang sangat kudambakan kehadirannya. Sungguh takdir Allah membuatku tak bisa berkata apa-apa. Wanita cantik yang selalu kusebut dalam doaku kini telah sah menjadi pendamping hidupku. Meskipun aku tahu, kehadirannya tak sendiri. Ada dua anak yatim darinya yang harus kusayangi sepenuh hati. Cinta kami satu paket. Ak

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Pesta Pernikahan

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 64Pesta PernikahanHatiku kian berdebar menanti acara ini. Dua kali ijab qabul tak menjamin calon pengantin tak merasa resah. Aku pun demikian. Tak terbayang bagaimana indahnya dekorasi pelaminanku yang dalam proses pemasangan. Ah hidupku, sungguh mengesankan. Setelah sepuluh tahun aku berjuang membangun bahtera rumah tangga dengan lelaki yang tak kucintai, kini saat aku telah menerima takdir itu Allah ambil semuanya dan diganti dengan keinginan yang telah lama kupendam.Sungguh Allah Maha Baik karena telah memberi sesuatu yang kuinginkan setelah perjuanganku menerima kehendakNya. Rasa pahit yang dulu terpaksa kutelan perlahan menjadi nikmat dan mulai pudar berganti dengan rasa manis yang memabukkan. Kini akupun merasakan apa yang Mas Bima rasakan. Adakalanya masa lalu tetap menjadi rahasia antara aku dengannya. Akan tetap menjadi rahasia kami bagaimana awal mula pertemuan kami di sebuah tempat karaoke. Tuan Bram. Ya kini ia menjadi Papa mertuaku.

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Cinta Pertamaku

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 63Cinta Pertamaku"Ada apa, Bang?" tanya Mas Damar pada seseorang saat mobil kian dekat dengan keramaian. "Pak De Karman meninggal, Pak."Tubuhku lemas seketika mendengar nama yang disebut oleh lelaki itu. Tiba-tiba saja air mataku mengalir deras tanpa jeda. Getar hebat dalam jantungku tak lagi bisa kukendalikan. Aku limbung. Aku pilu mendengar kabar duka yang baru saja kudengar. Cinta pertamaku telah Allah ambil tanpa aku disisinya. Harusnya aku ada saat hembusan napas terakhirnya. Harusnya aku ada untuk membacakan doa sebelum nyawa itu lepas dari raga. Harusnya aku yang memeluknya saat ruhnya terlepas dari raga yang selama ini telah melindungiku dari segala mara bahaya hingga aku dewasa. Lelaki pertama yang memelukku kini telah pergi. Tak lagi bisa kugambarkan bagaimana rasanya. Aku seperti seonggok kain yang tak berguna. Aku merasa menjadi anak yang paling sial karena tak bisa membersamai Bapak berjuang melawan maut. Kupaksa kakiku untuk berjal

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Pulang

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 62Mendapati suami yang perhatian adalah sebuah kebahagiaan buatku. Namun terkadang perhatian yang ia berikan membuatku terikat. Susah untuk bebas. Mau ini ngga boleh, mau itu ngga boleh, saking perhatiannya. Ia mau segala sesuatu yang terbaik untukku. Cukup menyenangkan diperlakukan seperti itu, namun terkadang ada rasa kesal menelusupi hati. Aku jadi seperti memiliki satpam yang siap siaga menjagaku dari segala sesuatu yang kubutuhkan juga dari segala mara bahaya. Seringkali perhatiannya membuatku tersenyum senang. Senang diperlakukan bak ratu dalam istana. Setelah menginap semalam di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan aku untuk pulang. Meskipun kakiku masih harus memakai perban namun itu tak jadi masalah. "Akhirnya aku boleh pulang, Mas," ujarku senang. Binar kebahagiaan tersirat dari bibirku yang sejak tadi tak lepas dari senyuman. Pun dengan Mas Damar. "Alhamdulillah. Setelah ini kamu cukup di rumah saja! Ngga boleh kemana-mana." Mata co

DMCA.com Protection Status