Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 2
Mataku tak jua terlelap. Pikiranku penuh sesak tentang cara bagaimana lagi agar bisa bertahan hidup setelah ini. Tak mungkin jika terus mengandalkan pemberian mertua saja sementara kami hanya berpangku tangan.
Kutatap tubuh suamiku yang tengah terlelap. Seandainya kamu tak sakit begini, Mas, mungkin aku tak perlu bersusah payah memikirkan cara untuk kita bisa bertahan hidup. Kamu akan tetap giat bekerja seperti biasa sedang aku menunggumu bersama anak-anak di rumah dengan sajian lengkap di atas meja makan.
"Cepat sembuh, Mas," ucapku mengusap lembut wajahnya dengan jemariku. Jika dulu kami selalu menghabiskan malam dengan bertukar pikiran sebelum terlelap, maka sudah enam bulan ini kuhabiskan malam hanya dengan menatap wajahmu.
"Kita akan berjuang sama-sama, Mas," ucapku kemudian yang menimbulkan pergerakan dari bulu matanya.
Tanpa aba-aba mata itu terbuka. Ia menatapku dalam yang sedang beruraian air mata. Tatapannya tajam ke arah wajahku, dan menunjukkan bahwa ia sangat merasa bersalah atas keadaannya kini.
Aku yang menyadari arti tatapan mata itu segera tersenyum.
"Aku baik-baik saja, Mas. Cepatlah sembuh agar kita bisa jalan-jalan seperti dulu lagi," pintaku dengan suara parau. Menutupi isakan dengan lengkungan bibir yang kupaksakan.
Mata itu mengerjap beberapa kali, kufahami bahwa itu adalah respon ketika ia kuajak berbicara. Sejurus kemudian bibirnya seperti hendak digerakkan, namun tetap tak bisa bergerak, kaku.
"Jangan dipaksakan Mas, santai aja agar otot Mas Bima tidak kaku," ucapku sambil tetap mengusap wajahnya. Wajah tampannya kini berubah menjadi lebih tirus. Namun tetap tak mengurangi kesan tampan dari wajahnya. Warna tubuh yang dulu kecoklatan, kini berubah menjadi lebih putih dan bersih. Bagaimana tidak, ia hanya menghabiskan tiap harinya di dalam ruangan. Berbeda dengan dulu yang masih bekerja sebagai pegawai pabrik.
"Sudah, Mas Bima tidur saja," ucapku dengan tangan yang melingkar di atas perutnya. Merasai hangat tubuh yang dulu menjadi candu bagiku. Sekarang hanya mampu memberi kehangatan saja tanpa mampu membalas pelukanku.
Mata itu mengerjap kembali sebagai isyarat bahwa ia setuju dengan ucapanku, lalu kembali tertutup. Kupaksa juga mataku untuk terlelap agar esok bisa berpikir dengan jernih mengenai cara kami bertahan hidup selanjutnya.
Pagi telah kembali datang. Segala rutinitas kembali memaksa diri untuk bangkit dari peraduan ternyaman. Setelah salat subuh aku sudah berkutat dengan kepulan asap dari atas kompor yang mungkin sebentar lagi gasnya akan habis. Dan aku tak tahu harus kemana mencari pinjaman sementara aku belum mendapatkan pekerjaan.
Sebutir telur yang kusulap menjadi beberapa bagian siap disantap oleh kedua putriku, sebagai pengganjal perut sebelum ia berangkat menimba ilmu. Nasi yang kubuat seperti bubur tak menjadi alasan mereka menolak makanan yang kusajikan.
"Bu, kakak berangkat dulu, ya?" pamit Danisa setelah menyelesaikan sarapannya.
"Iya, tunggu sebentar Kak, ibu ambilkan uang saku dulu," ucapku menghentikan langkahnya.
Aku segera berbalik menuju kamar tidur untuk mengambil beberapa lembar uang untuk bekal Danisa. Namun aku tercekat saat mendapati uang dalam dompetku hanya tersisa sepuluh ribu saja. Segera kuambil uang itu lalu kutunjukkan pada Danisa.
"Kak, Ibu hanya ada uang sepuluh ribu saja, tunggu sebentar ya biar Ibu tukarkan di warung?"
"Nggak usah, Bu. Danisa nggak bawa uang saku nggak apa-apa, biar buat pegangan ibu saja."
"Sungguh Kakak nggak apa-apa tak bawa uang saku?" tanyaku tak percaya.
"Tak apa, Bu. Danisa sudah kenyang, tak perlu jajan di sekolah," jawabnya seraya meraih tanganku untuk diciumnya.
Setelah berpamitan padaku, Danisa masuk ke kamar ayahnya. Ia juga meraih tangan lemas ayahnya untuk diciumnya.
"Yah Danisa berangkat dulu, ya? Assalamu'alaikum."
Tanpa melihat reaksi ayahnya, Danisa balik keluar pintu untuk berangkat ke sekolah, sedang aku hanya terpaku melihat sikapnya yang tak pernah berubah semenjak ayahnya terbaring. Ia selalu memperlakukan ayahnya layaknya sang ayah masih sehat, selalu berpamitan ketika akan berangkat ke sekolah. Ah anakku, terharu aku dibuatnya.
Sementata Kirani masih asik dengan buku gambar dan pensil warnanya. Sebaiknya kutinggal memandikan ayahnya lebih dulu.
Segera kuambil air hangat yang sudah kudidihkan sejak tadi, lalu kutuang dalam ember kecil dengan waslap didalamnya.
Kuhampiri Mas Bima dalam kamar kami, perlahan kubuka bajunya dengan hati-hati. Sebenarnya tubuh Mas Bima terlalu berat untukku jungkir sendiri, namun aku tak berhenti berusaha dan terbukti walau harus mengeluarkan semua tenaga yang kumiliki, aku mampu melepas bajunya setiap hari.
"Mandi dulu, ya Mas."
Dengan pelan kuseka tubuhnya agar segar dan bersih. Lalu kubaluri dengan handuk agar tubuhnya kering sempurna. Aku yakin dengan memberikan perawatan seperti ini, keadaannya akan semakin membaik. Setelah kami berusaha cukup keras untuk membawanya berobat kesana kemari, kini saatnya kami berdoa agar kesembuhan segera datang menghampiri.
"Mbak Darmi, saya cuma punya uang sepuluh ribu saja, apa boleh minta beras sama mie goreng, juga tepung? Nanti kurangnya saya bayar saat sudah ada uangnya." Kubuang rasa maluku agar asap dapurku tetap mengepul. Bayangan keceriaan dua gadis kecilku terbayang dipelupuk mata manakala ego lebih tinggi dari kebutuhan.
"Kapan kamu punya uangnya? Kalo ngga kerja gitu?" jawab Mbak Darmi sinis.
Aku hanya mampu menunduk, sebab apa yang ia bilang memang benar adanya. Hendak menjanjikan waktu namun aku sendiri tak tahu pasti kapan rejeki itu datang menghampiri.
"Saya akan cari kerjaan Mbak," jawabku akhirnya.
"Mau kerja dimana Mbak Dewi?" tanya Arum yang sedari tadi duduk bersama Mbak Darmi, tetangga depan rumahnya.
"Belum tahu, Rum. Mungkin nanti setelah Danisa pulang sekolah aku baru cari kerjaan."
"Memangnya mertuamu nggak ngasih jatah lagi?" tanya Mbak Darmi penuh selidik. Sudah seperti presenter gosip saja, mau tau segala urusan orang lain.
Tak ada niatan untukku menjawab pertanyaan Mbak Darmi. Biarlah hal itu menjadi urusan pribadi kami saja, toh aku sendiri tak tahu kapan ibu mertua akan memberi kami uang lagi. Aku juga tak mungkin datang untuk meminta.
"Mbak Dewi bener mau kerja?" tanya Arum lagi.
"Iya, Mbak."
"Mau ikut kerja sama saya?"
"Kerja apa, Rum?"
"Enak kerjanya, ngga bikin capek tapi uang cepat mengalir asal kamu mau saja membantu mereka," jawab Arum ambigu.
"Melayani? Maksudnya?" Keningku berkerut, sulit mencerna apa yang dikatakan oleh Arum.
"Halah kamu itu kayak nggak tahu saja, Arum ini kerjanya di tempat karaoke, nemeni om-om yang lagi jablay itu." Mbak Darmi mencebik sambil menatapku. Mungkin ia faham bahwa aku tak mungkin menerima tawaran Arum.
"Kalau nggak mau ya sudah, nggak apa-apa. Tapi kalau mau Mbak Dewi bisa datang ke rumah nanti malam."
"Makasih Rum, tapi saya nggak bisa kerja yang begituan."
"Halah Mbak Dewi, kalau lagi kepepet kebutuhan yo nggak apa-apa, daripada anaknya nggak makan!" Arum pun turut mencebik menatapku.
"Wi! Dewi!!"
Ada seseorang yang memanggilku. Segera kuikuti arah suara itu berasal. Seorang laki-laki tergesa-gesa berlari menuju tempatku berdiri.
"Ada apa Mas Halim?" tanyaku penasaran. Seperti ada sesuatu yang penting hingga ia lari sambil berteriak.
"Anakmu Wi!"
Bersambung 🥀🥀🥀
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 3Kirani masih tak sadarkan diri di ranjang UGD rumah sakit. Kepalanya terbalut perban yang terdapat noda merah di keningnya akibat mengalami benturan. Lengan kanannya memar juga kulit di kaki kanannya mengelupas karena gesekan dengan aspal. Ia terserempet mobil saat sedang mencariku, dan sialnya si penabrak malah melarikan diri."Wi kamu bisa urus administrasinya lebih dulu, aku harus pulang dan maaf aku cuma bisa antar sampai sini saja," pamit Mas Halim. Ia adalah tetangga sebelah rumah yang baiknya sudah seperti saudara sendiri.Tanpa menjawab aku hanya mampu menunduk, bingung dengan musibah yang tengah Allah beri ini."Wi kamu kenapa?" tanya Mas Halim penuh selidik.Aku bingung mau menjawab bagaimana. Hendak meminta bantuan pun tenggorokanku tercekat, tak mampu berucap. Hendak membiarkan ia p
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 4"Hati-hati, Mbak kalau jalan," ucap seorang bapak paruh baya yang sudah meneriakiku saat aku telah kembali berada di pinggiran jalan raya.Seseorang hampir menabrak tubuhku manakala aku terlalu fokus dengan apa yang ada di pikiranku tanpa memperhatikan jalanan sekitar. Beruntung bapak tadi berteriak sehingga membuat kesadaranku kembali penuh.Seorang ibu penjaga warung menghampiriku dengan segelas air putih ditangannya saat aku tengah duduk untuk menunggu ritme jantungku kembali normal."Diminum dulu, Mbak, pasti kaget tadi." Senyum yang terkembang dari bibirnya membuatku turut tersenyum."Terima kasih, Bu," jawabku sopan sambil meraih gelas di tangannya. Seketika kuteguk hingga tandas seluruh isi dalam gelas itu. Sungguh berjalan sejauh ini membuat tenggorokanku terasa kering, ditambah dengan
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 5"Mas yuk makan dulu," ajakku sambil mengganjal punggungnya dengan dua bantal, agar posisinya setengah duduk.Di meja dekat ranjangnya sudah tersedia segelas air putih juga terdapat beberapa obat-obatan yang harus dikonsumsi Mas Bima. Sprei yang selalu kuganti tiap bulan tak menjadikan kamar ini terlihat lusuh dan bau. Aku selalu memperhatikan kebersihan juga kerapiannya. Karena hari-hari Mas Bima ia habiskan di dalam kamar, maka aku tak mau membuatnya tersiksa dengan kamar yang bau dan kotor.Saat perjalanan pulang tadi kubelikan Mas Bima sebungkus nasi yang kubagi menjadi dua bagian. Sebagian untuk Mas Bima, sebagian lagi untuk Danisa. Biarlah aku hanya makan sisa dari Mas Bima saja, toh sudah sering aku menahan lapar dengan banyak minum air putih untuk menekan pengeluaran harian.Saat aku selesai menyuapi Mas Bima, terdengar suara langkah kaki dari ruang tamu. Segera kuletakk
Room Delapan"Duh wajahnya kok lesu begitu, Mbak? Nanti tamunya eneg lihat wajah Mbak!" decak Arum kesal melihat wajahku yang kusut karena terlalu banyak mengeluarkan air mata."Maaf Rum, biar saya cuci muka dulu," sahutku lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ah gini amat ya mau kerja, wajah harus dijaga agar tamu tak jengah lihat wajah kusut ini. Segera kuraih air dalam gayung lalu kusiramkan ke wajah kusutku.Setelah mencuci muka, sebelum Arum menghias wajahku dengan bedaknya, kusempatkan diri untuk berpamitan pada Mas Bima lebih dulu.Mas Bima sedang terpejam di atas ranjangnya. Kuusap lembut pipinya hingga mata itu terbuka sempurna."Mas, aku pergi dulu ya? Nanti akan ada Mas Halim yang datang untuk melihat keadaan Mas. Mas jangan khawatir, insya Allah aku bisa jaga diri. Doakan aku agar peke
Tuan BramRagu aku melangkah ke dalam ruangan yang minim penerangan ini. Namun Arum menggandeng tanganku memaksaku masuk hingga kami berada tepat dihadapan lelaki paruh baya ini.Ah lelaki hidung belang. Sudah tua masih saja main-main di tempat seperti ini, batinku."Ini Tuan, barang baru." Tangan Arum menunjuk daguku."Hemm ... oke. Cantik. Kamu boleh pergi," ucapnya sambil menelisik wajahku.Arum hanya tersenyum mendengar jawaban lelaki di depannya. Kemudian ia berganti menatap wajahku."Sudah ya, Mbak. Saya pergi dulu. Jangan lupa layani Tuan Bram dengan sebaik-baiknya. Jangan buat ia kecewa." Setelah berucap demikian, tanpa ragu Arum menjawil dagu lelaki dihadapannya kemudian berlalu dari hadapan kami dengan jalan yang dibuat seolah-olah ia sedang berjalan sebagai model."Duduk," perintahnya. 
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan"Syaratnya apa Tuan?" tanyaku penuh harap. Tak apalah memenuhi syaratnya yang lain asal tubuhku tak sampai dijamahnya."Saya mau lihat sendiri bagaimana kondisi anak kamu. Saya tak mau asal memberi uang, kebanyakan wanita sepertimu hanya memberikan bualan cerita demi meraih simpati yang mau menolong," ucapnya dingin. Wajahnya tampak tegas ditambah dengan rahang kokoh itu terkatup rapat setelah selesai mengucapkan permintaannya.Aku maklum, karena hal ini biasa terjadi. Jangankan menolong orang, meminta sumbangan pun kadang disalahgunakan."Boleh, Tuan. Saya tidak berbohong. Demi Allah. Silahkan ikut saya ke rumah sakit untuk melihat bagaimana keadaan anak saya. Sudah seharian saya meninggalkannya bersama kakak dan neneknya. Hanya demi mencari rupiah untuk membayar tagihan rumah sakit." Aku pun membalas ucapan tegasnya dengan ucapan ya
Amplop Coklat"Jangan pergi Ibu," ucap Rani dengan isakannya yang tak henti."Sebentar, Nak. Ibu harus mengantar atasan ibu keluar sebentar," ucapku memohon sambil kuusap lembut rambutnya agar ia luluh. Kutatap lebih dalam wajah Rani yang sayu. Matanya mengerjap mendapati aku yang terus memohon dengan bahasa mata."Maaf Tuan. Anak saya rewel," ucapku saat Rani tak kunjung mau lepas dariku."Iya tak apa, saya mengerti." Matanya nanar melihat Rani dengan erat memeluk tubuhku."Sebentar saja ya, Nak?" ucapku memohon."Baiklah." Seiring dengan ucapannya, Rani melepas tangannya dari tubuhku. Kemudian ia beralih duduk di atas ranjangnya sendiri."Mari Tuan," ajakku setelah aku turun dari ranjang Rani dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh lelaki gagah nan berkharism
Bimbang"Bu dipanggil Mbak Arum itu dibelakang," ucap Danisa. Ia sesekali menoleh ke belakang, melihat betapa Arum berusaha memanggilku. Sengaja aku tak mau menoleh, aku tak ingin Arum membahas masalah apapun di depan Danisa, terlebih soal pekerjaan."Sudah biarkan saja. Kalau butuh sama ibu biar Mbak Arum datang ke rumah." Ku percepat langkah sambil terus menggandeng tangan Danisa hingga kami sampai di depan rumah."Cepat siap-siap ke sekolah, Nak. Biar nggak kesiangan," ucapku setelah membuka pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Mungkin Mas Halim baru saja melihat kondisi Mas Bima sehingga pintu rumah tak dikunci.Tanpa menjawab lagi, Danisa segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke sekolah. Sementara aku pergi ke dapur untuk meletakkan nasi yang sudah kami beli setelah turun dari angkutan umum. Lalu menjarang air lebih dulu untuk men
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 70Keluarga Bahagia"Maafkan Mama yang sudah emosi tanpa mengetahui alasan yang jelas," ujar Mama saat beliau baru saja datang ke tempat tinggal Ibu di kampung. Ia langsung saja memelukku begitu turun dari mobil. Ada gurat sesal yang tersirat dari wajahnya yang mulai menua. Binar kesedihan terpancar dari sinar matanya yang meredup. Mama kembali meraih tubuhku untuk direngkuhnya begitu sampai di dalam rumah. Aku terharu dengan sikap Mama. Beliau yang kusangka enggan untuk datang, nyatanya kini benar-benar ada di hadapanku dan meminta untukku agar kembali mendampingi putranya di kota. "Maafkan Mama, Nak. Mama salah. Mama terlalu percaya omongan teman yang kusangka baik ternyata punya niat jahat denganmu." Air mata Mama menganak sungai. Perlahan aku meminta Mama untuk duduk di kursi ruang tamu. Ia yang terlampau sedih butuh sandaran untuk menopang bobot tubuhnya karena tiba-tiba saja aku lemas. Mas Damar dan Papa hanya memandang kami sambil tersenyum.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 69Bahagia Itu Akhirnya KembaliMenangis adalah jalan satu-satunya untuk meluapkan rasa yang begitu menyesakkan dada. Tak ada lagi yang mampu melegakan hati kecuali dengan menghabiskan sisa air mata hingga ia tak lagi mau menetes. Sesaknya dada seperti udara tak lagi bersahabat denganku. Seakan ia tak mau masuk ke dalam rongga hidungku untuk sejenak saja memberikan kesegaran dalam diriku. Pada akhirnya aku tahu bahwa rasa itu sudah masuk memenuhi dinding hati yang membuatku kian berat untuk melepasnya. Aku rindu. Ibu datang menghampiri saat aku tengah duduk termenung di ruang tamu malam ini. Beliau bisa merasakan keadaan anaknya tanpa banyak bertanya padaku. Benar saja. Orangtua sudah makan asam garam kehidupan. Tanpa banyak bertanya pun, dari ekspresi wajah yang terpancar dari wajahku beliau sudah paham perasaanku saat ini. "Menangislah hingga kamu tak lagi ingin menangis." Ibu mengusap bahuku pelan. "Maafkan Dewi, Bu. Ini berat," ujarku lirih. Ta
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 68Cinta Tak Harus MemilikiMas, maaf jika aku pergi tanpa pamit. Maaf jika aku harus pergi secepat ini. Aku hanya tak ingin menjadi duri dalam keluargamu yang harmonis. Aku hanyalah wanita dari desa yang tak pantas menjadi pendamping seorang pengusaha seperti dirimu. Benar apa yang diucap Mama, jika aku adalah perempuan murahan karena aku telah membuatmu melepas Sindy begitu saja demi menikah denganku. Apapun masa lalu kita, tak seharusnya merubah masa depan yang akan kau rajut bersama dia yang sepadan. Maaf jika selama ini aku salah. Aku terlalu grusa-grusuh dalam mengambil keputusan. Maaf jika aku harus menyembunyikan masa laluku darimu juga Mama karena aku tak punya cukup nyali untuk menerima konsekuensinya. Dan sekarang terbukti, apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aku memang tak pantas untukmu. Aku tak pantas jadi bagian dari keluarga besarmu. Lebih baik aku pergi, menjauh dari dirimu meskipun aku tahu ini sulit bagiku. Berusahalah untuk
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 67Hancur. Kebahagiaan yang sudah di depan mata tiba-tiba saja menepi dari pandangan. Rasanya aku ragu untuk bisa mereguk bahagia itu kembali jika sikap mertua tak baik padaku. Sejak dulu, memiliki mertua yang baik adalah idaman bagiku, namun siapa sangka sikapnya yang semula baik tiba-tiba berubah menjadi mengerikan seperti ini. Mana berani aku berharap banyak. Bisa bertahan menikah dengan putranya tanpa mendengar sindirannya saja sudah untung. Namun tetap saja ada yang mengganjal jika masalah ini tak segera diselesaikan. Aku tahu sikap Mama berubah karena sesuatu yang ditunjukkan oleh Mama Sindy padanya kemarin saat resepsi. Namun ucapannya yang menyakitkan bak bekas paku yang sekalipun telah dicabut, bekasnya tak akan bisa hilang. Berlubang. "Dek, jangan diambil hati ucapan Mama." Mas Damar menyusulku yang tengah terduduk lemas di teras rumah. Tiang penyangga atap ini kini menjadi sandaran punggungku untuk menikmati luka yang kembali menganga. I
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 66PoV. Damar: Ucapan Mama"Sebaiknya kamu ajak istrimu ke kamar, biar istirahat. Ucapan Mamamu jangan diambil hati," ujar Papa. Kulihat Dewi tengah menunduk dengan tangan yang beberapa kali mengusap sudut matanya. Ia pasti terluka karena ucapan Mama. "Yuk ke kamar?" ajakku yang langsung disambut anggukan olehnya. Dewi lantas bangkit dari tempat duduknya dan kugandeng menuju kamar untuk istirahat. Tubuhnya sudah lelah setelah seharian menjalani resepsi pernikahan kemarin, hari ini hatinya telah terluka karena ucapan Mama. Aku kasihan pada Dewi. Meskipun sebenarnya aku juga syok mendengar kabar yang baru saja kudengar namun aku masih bisa memaklumi. Tidak emosi seperti Mama. "Maafkan aku, Mas. Aku tak pernah jujur padamu sejak dulu." Dewi terisak di bibir ranjang. Ia menunduk sambil menelungkupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang basah. Istri yang baru saja sah secara negara menjadi istriku itu kini tampak merasa bersalah. Aku pun tak t
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 65Salah PahamPov Damar"Jangan hiraukan sikap Mama, biar aku yang bicara setelah di rumah besok. Malam ini milik kita, aku tak mau ucapan Mama tadi merusak malam pengantin kita." Aku berucap pada istriku saat ia menikmati sepiring sate ayam. Ia makan dengan enggan, sepertinya ucapan Mama begitu menusuk hatinya. Aku harus berbuat sesuatu besok. Tak bisa dibiarkan. Acara resepsi sudah selesai digelar. Kini semua orang tahu bahwa aku telah beristri. Dia yang kunantikan kini nyata menjadi istriku. Sungguh, aku tak pernah menyangka. Kukira, ia hanya akan menjadi angan dalam ingatanku. Kukira dia hanya akan menjadi wanita penghias masa laluku yang sangat kudambakan kehadirannya. Sungguh takdir Allah membuatku tak bisa berkata apa-apa. Wanita cantik yang selalu kusebut dalam doaku kini telah sah menjadi pendamping hidupku. Meskipun aku tahu, kehadirannya tak sendiri. Ada dua anak yatim darinya yang harus kusayangi sepenuh hati. Cinta kami satu paket. Ak
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 64Pesta PernikahanHatiku kian berdebar menanti acara ini. Dua kali ijab qabul tak menjamin calon pengantin tak merasa resah. Aku pun demikian. Tak terbayang bagaimana indahnya dekorasi pelaminanku yang dalam proses pemasangan. Ah hidupku, sungguh mengesankan. Setelah sepuluh tahun aku berjuang membangun bahtera rumah tangga dengan lelaki yang tak kucintai, kini saat aku telah menerima takdir itu Allah ambil semuanya dan diganti dengan keinginan yang telah lama kupendam.Sungguh Allah Maha Baik karena telah memberi sesuatu yang kuinginkan setelah perjuanganku menerima kehendakNya. Rasa pahit yang dulu terpaksa kutelan perlahan menjadi nikmat dan mulai pudar berganti dengan rasa manis yang memabukkan. Kini akupun merasakan apa yang Mas Bima rasakan. Adakalanya masa lalu tetap menjadi rahasia antara aku dengannya. Akan tetap menjadi rahasia kami bagaimana awal mula pertemuan kami di sebuah tempat karaoke. Tuan Bram. Ya kini ia menjadi Papa mertuaku.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 63Cinta Pertamaku"Ada apa, Bang?" tanya Mas Damar pada seseorang saat mobil kian dekat dengan keramaian. "Pak De Karman meninggal, Pak."Tubuhku lemas seketika mendengar nama yang disebut oleh lelaki itu. Tiba-tiba saja air mataku mengalir deras tanpa jeda. Getar hebat dalam jantungku tak lagi bisa kukendalikan. Aku limbung. Aku pilu mendengar kabar duka yang baru saja kudengar. Cinta pertamaku telah Allah ambil tanpa aku disisinya. Harusnya aku ada saat hembusan napas terakhirnya. Harusnya aku ada untuk membacakan doa sebelum nyawa itu lepas dari raga. Harusnya aku yang memeluknya saat ruhnya terlepas dari raga yang selama ini telah melindungiku dari segala mara bahaya hingga aku dewasa. Lelaki pertama yang memelukku kini telah pergi. Tak lagi bisa kugambarkan bagaimana rasanya. Aku seperti seonggok kain yang tak berguna. Aku merasa menjadi anak yang paling sial karena tak bisa membersamai Bapak berjuang melawan maut. Kupaksa kakiku untuk berjal
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 62Mendapati suami yang perhatian adalah sebuah kebahagiaan buatku. Namun terkadang perhatian yang ia berikan membuatku terikat. Susah untuk bebas. Mau ini ngga boleh, mau itu ngga boleh, saking perhatiannya. Ia mau segala sesuatu yang terbaik untukku. Cukup menyenangkan diperlakukan seperti itu, namun terkadang ada rasa kesal menelusupi hati. Aku jadi seperti memiliki satpam yang siap siaga menjagaku dari segala sesuatu yang kubutuhkan juga dari segala mara bahaya. Seringkali perhatiannya membuatku tersenyum senang. Senang diperlakukan bak ratu dalam istana. Setelah menginap semalam di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan aku untuk pulang. Meskipun kakiku masih harus memakai perban namun itu tak jadi masalah. "Akhirnya aku boleh pulang, Mas," ujarku senang. Binar kebahagiaan tersirat dari bibirku yang sejak tadi tak lepas dari senyuman. Pun dengan Mas Damar. "Alhamdulillah. Setelah ini kamu cukup di rumah saja! Ngga boleh kemana-mana." Mata co