Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 49
Adaptasi
"Saya balik dulu ya, Bu?" pamitku pada Ibu mertua. Wajah Ibu masih lemas, beliau hanya bisa pasrah saat aku pamit undur diri dari hadapannya.
"Iya, hati-hati ya?" jawabnya lemah.
Mas Seno kemudian masuk bergabung bersama Ibu di kamar. Ia kemudian berdiri di sebelah ranjang tempat Ibu berbaring. Mas Seno yang sekarang tampak lebih tegas dari pada Mas Seno yang dulu. Dia yang dulu tampak tunduk pada kemauan istrinya. Sedangkan dia yang sekarang lebih terlihat tegas dan keras. Mungkin ini karena ujian dalam hidupnya yang telah membuatnya terpuruk dalam lembah hutang hingga kini ia mampu bangkit dan berbenah diri.
Bagus begitu. Karena hanya dia satu-satunya harapan Ibu mertua sebagai tumpuan hidup. Meskipun Ibu sudah memiliki uang pensiunan tetapi harta saja tak cukup untuk menemani hari tuanya. Ibu masih bu
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 50Bunuh DiriPoV Damar Ar Rasyid"Pak, ada masalah di kantor."Sebuah pesan kubaca dari orang kepercayaanku di kantor. Dia Randi. Dia adalah teman baik sekaligus orang kepercayaanku di perusahaan yang Papa pasrahkan padaku."Tunggu, aku akan datang."Send.Setelah membalas pesan dari Randi aku mengajak Dewi balik dari rumah sakit tempat orang tua Mas Bima di rawat.Tiba-tiba saja aku kepikiran untuk mengantar orangtua Dewi pulang ke kampung. Aku rindu suasana kampung Dewi.Dulu saat pertama kali bertemu Dewi di masjid dekat rumahnya, aku langsung terpesona oleh kecantikannya. Aku yang hanya sedang menunggu temanku untuk salat, hanya bisa terpaku melihat wajahnya yang cantik alami lewat depan mobil yang kutumpangi. Rambutnya yang ia
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 51CemburuPov Damar Ar Rasyid"Menikah?""Iya! Kamu masih harus bertanggung jawab atas semua ini! Awas saja jika sampai terjadi hal-hal yang tidak saya inginkan!""Dia bunuh diri atas kehendaknya sendiri, bagaimana saya yang harus bertanggung jawab?""Tapi dia bunuh diri karena penolakan kamu terhadapnya!""Maaf Tante, bagi saya menikah bukan seperti membeli sebuah barang! Lagi pula saya sudah menikah!"Wajah Mama Sindy tampak terkejut mendengar penuturanku. Jelas saja karena pernikahan yang mereka bayangkan tidak terjadi pada pernikahan yang aku lakukan. Sindy pun memejamkan mata. Genangan air di sudut matanya sudah tak terbendung lagi. Meskipun begitu aku sama sekali tidak terenyuh. Mengingat sikap nekatnya yang berbahaya. "Apa maksud kamu? Kamu pikir anak saya barang?""Kalau begitu jangan memaksa saya untuk melakukan hal yang tidak saya inginkan!""Jangan bersikukuh dengan kehendakmu yang bisa membahayakan nyawa orang lain!""Jangan hanya berpiha
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 52Ada Apa Dengan Sindy? Tiba-tiba Mas Damar menggenggam jemariku erat. Jari-jariku berada dalam sela-sela jemari tangannya yang kekar. Wajah itu tampak santai, tak sedikitpun menunjukkan rasa kesal atau apapun. Namun jemarinya kian erat menggenggam jemariku. "Tinggal di mana sekarang, Wi?" tanya Mas Firman lagi. Ia masih terus mengamati wajahku hingga membuatku risih. Pantas jika Mas Damar menunjukkan emosinya dengan menggenggam jariku. Seolah-olah ia sedang menunjukkan pada Mas Firman bahwa aku adalah miliknya. "Tinggal di Surabaya, Mas. Oh iya kenalkan ini Mas Damar, suamiku." Aku menunjuk arah Mas Damar dengan wajahku. Kemudian Mas Damar mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sejenak ia melepas jemarinya yang menggenggam tanganku. "Damar.""Firman.""Siapa, Dek?" tanya Mas Damar. Akhirnya dia yang sejak tadi hanya diam kini mulai bersuara. "Saya dulu pengagum rahasia Dewi, tapi Dewi lebih milih orang dari luar kota timbang yang di daerahnya s
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 53Ucapan Bela Sungkawa"Mas ngga kesana?" tanyaku setelah ia kembali duduk di pinggiran ranjang. Aku turut duduk di sebelahnya sambil memandangi wajahnya. Kupegang bahunya lembut, lalu kuusap. "Ada apa, Mas? Cerita sama aku.""Diantara kami sudah tidak ada apa-apa. Biarlah dia pergi dengan tenang.""Sudah tidak ada apa-apa bukan berarti hubungan antara dua keluarga putus begitu saja kan, Mas? Menjaga hubungan baik lebih baik dari pada menambah satu musuh," ujarku. Aku mencoba mengingatkan Mas Damar untuk terus menjaga hubungan baik, meskipun itu dengan mantan."Apa yang harus dijaga jika mamanya memintaku untuk bertanggung jawab atas apa yang bukan urusanku?""Bertanggung jawab? Maksudnya?""Kemarin Sindy ke kantor. Dia meminta satu kesempatan untuk kembali memperbaiki hubungan kami. Ya kubilang aja kalau aku sudah menikah. Jujur kan. Dianya malah ambil pisau dalam tasnya trus dipake buat motong nadinya. Bukan salahku jika dia akhirnya berbuat seper
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 54Perhatian Seorang MenantuMas Damar membanting pintu mobil dengan keras setelah ia masuk ke dalamnya. Aku terperanjat melihat tingkah kasar itu. Ia lantas membanting tangannya di atas setir dengan frustasi. Aku hanya mampu mehatapnya dengan hati diselimuti rasa takut. "Bagaimana bisa aku diusir dengan cara seperti itu?!" dengkusnya kesal. Ia memijit keningnya dengan tangan kanannya. "Maklum lah, Mas. Namanya juga orang lagi emosi. Baru kehilangan anak di usia yang sudah dewasa. Tentu tak mudah bagi seorang Ibu menerima takdir yang menyakitkan ini," jawabku. Aku sedang mencoba memposisikan diri sebagai Mama Sindy. Bagaimana jika aku berada di posisi itu, belum tentu bisa menjadi lebih baik dari Mama Sindy tadi. "Ancamannya itu perlu diwaspadai, Dek!""Orang kalau lagi marah apapun bisa diucapkan, Mas. Belum tentu terjadi juga. Jadi kita jangan asal percaya begitu saja!" pintaku padanya. Tak akan ada habisnya jika terus mempercayai ucapan orang ya
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 55Tetangga Baru"Mass iihh!" pekikku saat melihat tingkah Mas Damar. "Biarin! Aku sudah ngga tahan pengen makan kamu!" desisnya dengan seringai menggoda. Ia kembali menyusuri wajahku dengan bibirnya. Sepertinya pengalaman tadi tak dibuat pelajaran olehnya. Ya sudah biarlah. Tak ada yang bisa dengan baik mengendalikan nafsu memang. Apalagi nafsu sepasang pengantin baru. Belum selesai Mas Damar dengan aktivitasnya, dering ponsel mengganggu apa yang Mas Damar lakukan. Kembali ia kesal karena banyak sekali hal yang mengganggu kami siang ini. Jelas saja kan siang hari masih banyak orang yang beraktifitas, tapi hal itu tidak berlaku bagi orang yang baru menikah. Ck! Segera Mas Damar meraih ponsel dari dalam saku celananya. Tertera nama "MY WIFE" dalam benda layar datar yang dipegangnya. Sengaja ponselku kutinggal di rumah Bapak agar memudahkan anak-anak untuk menghubungiku saat mereka rindu. Karena baru ini anak-anak jauh dariku. "Sabar ya Sayang," ujar
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 56Jangan Berburuk Sangka"Aku antar Mama ya? Kayaknya aku nginep ditempat Mama aja. Kamu hati-hati di rumah sendiri. Besok pagi sebelum ke kantor aku mampir ke sini," pamitnya setelah aku dan kedua anakku turun dari mobil. Mas Damar pun turut turun mengantarku hingga aku sudah berada di ambang pintu ruang tamu. Hari yang kian larut juga kondisi badan Mas Damar yang sepertinya letih membuatku harus rela membiarkannya menginap di rumah Mama agar bisa segera istirahat. "Iya, tak apa. Besok pagi kusiapkan bekal untuk Mas ke kantor," sahutku. Aku kembali belajar memahami keadaan suami. Menyelami tiap karakter yang dulu belum pernah kulakukan karena hubungan kami masih belum halal. Sedekat apapun saat pacaran, rasanya akan berbeda jika keduanya sudah menikah. Akan ada kejutan-kejutan kecil dari sikap dan sifat pasangan yang baru kelihatan setelah hidup bersama. "Baik, Mas pamit ya?" Tangannya terulur ke arahku. Segera kusambut tangan itu untuk kucium khi
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 57Tuduhan Yang Tak Terbukti"Nggak ada salahnya hati-hati, toh kalau ada apa-apa juga kamu ngga bisa kerjain sendiri," ucapnya lembut. "Iya tapi jangan berburuk sangka lebih dulu sebelum tahu bagaimana sikap dan sifat seseorang," sanggahku. Aku tak ingin asal menuduh orang lain berbuat buruk sementara kita baru berkenalan. "Kamu memang polos," selanya. Mas Damar mendekat padaku lalu mengusap ujung rambutku asal. "Ck! Mas ihh!" kesalku. Namun yang bersangkutan malah tertawa puas. "Mbak sudah? Ditunggu Ayah, ini!" panggil ku pada Danisa saat Mas Damar berkali-kali melihat jam di pergelangan tangannya. Ia takut telat karena harus mengantar Danisa lebih dulu ke sekolahnya. Sementara ia sudah memiliki janji dangan seseorang di kantornya. "Nggak apa-apa, tunggu sebentar," sahutnya. Tak lama kemudian Danisa keluar dengan membawa tas sekolahnya. Ia lalu mengulurkan tangan padaku untuk bersalaman. Setelah mencium punggung tanganku Danisa berjalan lebih d