Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 57Tuduhan Yang Tak Terbukti"Nggak ada salahnya hati-hati, toh kalau ada apa-apa juga kamu ngga bisa kerjain sendiri," ucapnya lembut. "Iya tapi jangan berburuk sangka lebih dulu sebelum tahu bagaimana sikap dan sifat seseorang," sanggahku. Aku tak ingin asal menuduh orang lain berbuat buruk sementara kita baru berkenalan. "Kamu memang polos," selanya. Mas Damar mendekat padaku lalu mengusap ujung rambutku asal. "Ck! Mas ihh!" kesalku. Namun yang bersangkutan malah tertawa puas. "Mbak sudah? Ditunggu Ayah, ini!" panggil ku pada Danisa saat Mas Damar berkali-kali melihat jam di pergelangan tangannya. Ia takut telat karena harus mengantar Danisa lebih dulu ke sekolahnya. Sementara ia sudah memiliki janji dangan seseorang di kantornya. "Nggak apa-apa, tunggu sebentar," sahutnya. Tak lama kemudian Danisa keluar dengan membawa tas sekolahnya. Ia lalu mengulurkan tangan padaku untuk bersalaman. Setelah mencium punggung tanganku Danisa berjalan lebih d
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 58Kemana Mereka Membawaku? Kuselesaikan dengan segera semua pekerjaan yang masih tersisa. Lalu setelahnya aku hendak berkunjung ke rumah Mbak Fitri. Tak enak bila tak datang karena dia sudah baik denganku meskipun baru tinggal di sini. Sebelum ke tempat Mbak Fitri kusempatkan untuk ke warung Mbak Darmi lebih dulu. Tak enak bila hanya datang tanpa buah tangan sebagai oleh-oleh. "Mbak beli gulanya lima kilo?" ucapku setelah sampai di depan warung Mbak Darmi. "Kok banyak, Mbak? Buat apa?" tanya Mbak Darmi. Beliau menatapku dengan serius, menunggu jawaban dariku yang sepertinya penting. "Itu ada tetangga baru mau syukuran. Tadi aku diminta untuk bantu-bantu, ngga enak kalau datang tanpa bawa apa-apa," jelasku. "Walah sebelah rumahmu itu ya?""Iya," jawabku. Dengan cekatan Mbak Darmi memasukkan gula sesuai pesananku dalam kantong plastik. Kemudian kutukar dengan sejumlah uang sesuai dengan harga gula tersebut. "Makasih ya, Mbak dewi?" ucap Mbak Dar
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 59Karena DendamPov DamarJam di dinding kamar sudah menunjukkan angka lima pagi. Percintaan semalam membuatku tidur telalu nyenyak. Hampir saja istriku putus asa untuk membangunkanku. Beruntungnya ia adalah istri yang sabar sehingga rela membangunkanku dengan segala macam cara agar aku segera membuka mata. Belaian lembut tangannya lama-lama membuatku tersadar dari tidur lelapku. Segera kugerakkan kelopak mataku saat tangannya bermain di pipiku. Kutangkap tangannya yang lentik saat ia sibuk menggodaku agar mataku terbuka. Suaranya memekik kaget saat dengan cepat tangannya berada dalam genggamanku dan segera kuraih tubuh yang segar itu untuk segera kupeluk. "Mas ihh! Dibangunin malah rese'!" teriaknya. Aku pun tersenyum puas bisa menggoda wajah cantik yang menjadi candu bagiku. Selalu ada cinta yang terpancar dari matanya untukku yang membuatku selalu ingin berada di dekatnya. Tak sia-sia aku menyendiri hingga Allah kembali mempertemukan kami untuk
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 60Kecelakaan? "Lepaskan aku!" hardikku keras. Aku terus berusaha untuk berontak dari pegangan tangan Mbak Fitri. Ia berusaha memasang tali pada kedua tanganku di belakang punggungku. Sementara suaminya masih terus mengemudi mobil yang kami tumpangi. Suasana yang gelap membuat mataku susah untuk mengamati sekitar. Aku yang tak paham daerah Surabaya makin tak paham dengan lokasiku saat ini. Sebenarnya mereka ini mau apa? Mengapa sampai memperlakukanku sedemikian kejamnya. "Diam kamu!" hardik Mbak Fitri. Ia yang kutahu ramah pada siapapun kini berani membentakku. Sungguh aku telah salah menilai selama ini. Kukira sikapnya memang benar-benar baik, namun ternyata itu hanya modus. "Mau kalian bawa kemana aku ini?" pekikku kesal. Aku yang tak bisa melepaskan tanganku dari jerat tali yang Mbak Fitri pasang semakin kesal karena aku makin tak paham arah kemana mereka membawaku. Hingga kekuatan tubuhku kian melemah saking kerasnya aku berontak. Aku hanya bi
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 61Sedikit CederaRemang-remang mataku melihat ke sekeliling ruangan, tampak putih semuanya. Ada satu tiang yang berdiri di sampingku dengan botol infus menggantung di bawahnya. Perlahan kubuka mataku dan menyapu pemandangan di sekelilingku. Tampaknya aku sudah berada di rumah sakit dengan jarum infus menancap di punggung tanganku. Aku berusaha untuk bangun, namun rasanya tubuhku remuk, susah untuk digerakkan. Apa yang terjadi padaku hingga aku bisa dibawa ke rumah sakit? Satu tanganku memijat keningku yang terasa pening. Sakit sekali rasanya. Kepalaku berat untuk diangkat. Terpaksa kubiarkan saja tubuhku terbaring di atas ranjang ini. "Mbak sudah sadar?" tanya seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan ini dan ia menghampiriku. Seorang lelaki muda berkulit bersih dan terlihat tampan. Ia datang dan berdiri di sisi ranjangku. "Kamu siapa?" tanyaku lirih. "Saya yang hampir saja menabrak tubuh Mbak. Beruntung saya waspada jadi saat tubuh Mbak jatu
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 62Mendapati suami yang perhatian adalah sebuah kebahagiaan buatku. Namun terkadang perhatian yang ia berikan membuatku terikat. Susah untuk bebas. Mau ini ngga boleh, mau itu ngga boleh, saking perhatiannya. Ia mau segala sesuatu yang terbaik untukku. Cukup menyenangkan diperlakukan seperti itu, namun terkadang ada rasa kesal menelusupi hati. Aku jadi seperti memiliki satpam yang siap siaga menjagaku dari segala sesuatu yang kubutuhkan juga dari segala mara bahaya. Seringkali perhatiannya membuatku tersenyum senang. Senang diperlakukan bak ratu dalam istana. Setelah menginap semalam di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan aku untuk pulang. Meskipun kakiku masih harus memakai perban namun itu tak jadi masalah. "Akhirnya aku boleh pulang, Mas," ujarku senang. Binar kebahagiaan tersirat dari bibirku yang sejak tadi tak lepas dari senyuman. Pun dengan Mas Damar. "Alhamdulillah. Setelah ini kamu cukup di rumah saja! Ngga boleh kemana-mana." Mata co
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 63Cinta Pertamaku"Ada apa, Bang?" tanya Mas Damar pada seseorang saat mobil kian dekat dengan keramaian. "Pak De Karman meninggal, Pak."Tubuhku lemas seketika mendengar nama yang disebut oleh lelaki itu. Tiba-tiba saja air mataku mengalir deras tanpa jeda. Getar hebat dalam jantungku tak lagi bisa kukendalikan. Aku limbung. Aku pilu mendengar kabar duka yang baru saja kudengar. Cinta pertamaku telah Allah ambil tanpa aku disisinya. Harusnya aku ada saat hembusan napas terakhirnya. Harusnya aku ada untuk membacakan doa sebelum nyawa itu lepas dari raga. Harusnya aku yang memeluknya saat ruhnya terlepas dari raga yang selama ini telah melindungiku dari segala mara bahaya hingga aku dewasa. Lelaki pertama yang memelukku kini telah pergi. Tak lagi bisa kugambarkan bagaimana rasanya. Aku seperti seonggok kain yang tak berguna. Aku merasa menjadi anak yang paling sial karena tak bisa membersamai Bapak berjuang melawan maut. Kupaksa kakiku untuk berjal
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 64Pesta PernikahanHatiku kian berdebar menanti acara ini. Dua kali ijab qabul tak menjamin calon pengantin tak merasa resah. Aku pun demikian. Tak terbayang bagaimana indahnya dekorasi pelaminanku yang dalam proses pemasangan. Ah hidupku, sungguh mengesankan. Setelah sepuluh tahun aku berjuang membangun bahtera rumah tangga dengan lelaki yang tak kucintai, kini saat aku telah menerima takdir itu Allah ambil semuanya dan diganti dengan keinginan yang telah lama kupendam.Sungguh Allah Maha Baik karena telah memberi sesuatu yang kuinginkan setelah perjuanganku menerima kehendakNya. Rasa pahit yang dulu terpaksa kutelan perlahan menjadi nikmat dan mulai pudar berganti dengan rasa manis yang memabukkan. Kini akupun merasakan apa yang Mas Bima rasakan. Adakalanya masa lalu tetap menjadi rahasia antara aku dengannya. Akan tetap menjadi rahasia kami bagaimana awal mula pertemuan kami di sebuah tempat karaoke. Tuan Bram. Ya kini ia menjadi Papa mertuaku.