Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 54Perhatian Seorang MenantuMas Damar membanting pintu mobil dengan keras setelah ia masuk ke dalamnya. Aku terperanjat melihat tingkah kasar itu. Ia lantas membanting tangannya di atas setir dengan frustasi. Aku hanya mampu mehatapnya dengan hati diselimuti rasa takut. "Bagaimana bisa aku diusir dengan cara seperti itu?!" dengkusnya kesal. Ia memijit keningnya dengan tangan kanannya. "Maklum lah, Mas. Namanya juga orang lagi emosi. Baru kehilangan anak di usia yang sudah dewasa. Tentu tak mudah bagi seorang Ibu menerima takdir yang menyakitkan ini," jawabku. Aku sedang mencoba memposisikan diri sebagai Mama Sindy. Bagaimana jika aku berada di posisi itu, belum tentu bisa menjadi lebih baik dari Mama Sindy tadi. "Ancamannya itu perlu diwaspadai, Dek!""Orang kalau lagi marah apapun bisa diucapkan, Mas. Belum tentu terjadi juga. Jadi kita jangan asal percaya begitu saja!" pintaku padanya. Tak akan ada habisnya jika terus mempercayai ucapan orang ya
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 55Tetangga Baru"Mass iihh!" pekikku saat melihat tingkah Mas Damar. "Biarin! Aku sudah ngga tahan pengen makan kamu!" desisnya dengan seringai menggoda. Ia kembali menyusuri wajahku dengan bibirnya. Sepertinya pengalaman tadi tak dibuat pelajaran olehnya. Ya sudah biarlah. Tak ada yang bisa dengan baik mengendalikan nafsu memang. Apalagi nafsu sepasang pengantin baru. Belum selesai Mas Damar dengan aktivitasnya, dering ponsel mengganggu apa yang Mas Damar lakukan. Kembali ia kesal karena banyak sekali hal yang mengganggu kami siang ini. Jelas saja kan siang hari masih banyak orang yang beraktifitas, tapi hal itu tidak berlaku bagi orang yang baru menikah. Ck! Segera Mas Damar meraih ponsel dari dalam saku celananya. Tertera nama "MY WIFE" dalam benda layar datar yang dipegangnya. Sengaja ponselku kutinggal di rumah Bapak agar memudahkan anak-anak untuk menghubungiku saat mereka rindu. Karena baru ini anak-anak jauh dariku. "Sabar ya Sayang," ujar
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 56Jangan Berburuk Sangka"Aku antar Mama ya? Kayaknya aku nginep ditempat Mama aja. Kamu hati-hati di rumah sendiri. Besok pagi sebelum ke kantor aku mampir ke sini," pamitnya setelah aku dan kedua anakku turun dari mobil. Mas Damar pun turut turun mengantarku hingga aku sudah berada di ambang pintu ruang tamu. Hari yang kian larut juga kondisi badan Mas Damar yang sepertinya letih membuatku harus rela membiarkannya menginap di rumah Mama agar bisa segera istirahat. "Iya, tak apa. Besok pagi kusiapkan bekal untuk Mas ke kantor," sahutku. Aku kembali belajar memahami keadaan suami. Menyelami tiap karakter yang dulu belum pernah kulakukan karena hubungan kami masih belum halal. Sedekat apapun saat pacaran, rasanya akan berbeda jika keduanya sudah menikah. Akan ada kejutan-kejutan kecil dari sikap dan sifat pasangan yang baru kelihatan setelah hidup bersama. "Baik, Mas pamit ya?" Tangannya terulur ke arahku. Segera kusambut tangan itu untuk kucium khi
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 57Tuduhan Yang Tak Terbukti"Nggak ada salahnya hati-hati, toh kalau ada apa-apa juga kamu ngga bisa kerjain sendiri," ucapnya lembut. "Iya tapi jangan berburuk sangka lebih dulu sebelum tahu bagaimana sikap dan sifat seseorang," sanggahku. Aku tak ingin asal menuduh orang lain berbuat buruk sementara kita baru berkenalan. "Kamu memang polos," selanya. Mas Damar mendekat padaku lalu mengusap ujung rambutku asal. "Ck! Mas ihh!" kesalku. Namun yang bersangkutan malah tertawa puas. "Mbak sudah? Ditunggu Ayah, ini!" panggil ku pada Danisa saat Mas Damar berkali-kali melihat jam di pergelangan tangannya. Ia takut telat karena harus mengantar Danisa lebih dulu ke sekolahnya. Sementara ia sudah memiliki janji dangan seseorang di kantornya. "Nggak apa-apa, tunggu sebentar," sahutnya. Tak lama kemudian Danisa keluar dengan membawa tas sekolahnya. Ia lalu mengulurkan tangan padaku untuk bersalaman. Setelah mencium punggung tanganku Danisa berjalan lebih d
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 58Kemana Mereka Membawaku? Kuselesaikan dengan segera semua pekerjaan yang masih tersisa. Lalu setelahnya aku hendak berkunjung ke rumah Mbak Fitri. Tak enak bila tak datang karena dia sudah baik denganku meskipun baru tinggal di sini. Sebelum ke tempat Mbak Fitri kusempatkan untuk ke warung Mbak Darmi lebih dulu. Tak enak bila hanya datang tanpa buah tangan sebagai oleh-oleh. "Mbak beli gulanya lima kilo?" ucapku setelah sampai di depan warung Mbak Darmi. "Kok banyak, Mbak? Buat apa?" tanya Mbak Darmi. Beliau menatapku dengan serius, menunggu jawaban dariku yang sepertinya penting. "Itu ada tetangga baru mau syukuran. Tadi aku diminta untuk bantu-bantu, ngga enak kalau datang tanpa bawa apa-apa," jelasku. "Walah sebelah rumahmu itu ya?""Iya," jawabku. Dengan cekatan Mbak Darmi memasukkan gula sesuai pesananku dalam kantong plastik. Kemudian kutukar dengan sejumlah uang sesuai dengan harga gula tersebut. "Makasih ya, Mbak dewi?" ucap Mbak Dar
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 59Karena DendamPov DamarJam di dinding kamar sudah menunjukkan angka lima pagi. Percintaan semalam membuatku tidur telalu nyenyak. Hampir saja istriku putus asa untuk membangunkanku. Beruntungnya ia adalah istri yang sabar sehingga rela membangunkanku dengan segala macam cara agar aku segera membuka mata. Belaian lembut tangannya lama-lama membuatku tersadar dari tidur lelapku. Segera kugerakkan kelopak mataku saat tangannya bermain di pipiku. Kutangkap tangannya yang lentik saat ia sibuk menggodaku agar mataku terbuka. Suaranya memekik kaget saat dengan cepat tangannya berada dalam genggamanku dan segera kuraih tubuh yang segar itu untuk segera kupeluk. "Mas ihh! Dibangunin malah rese'!" teriaknya. Aku pun tersenyum puas bisa menggoda wajah cantik yang menjadi candu bagiku. Selalu ada cinta yang terpancar dari matanya untukku yang membuatku selalu ingin berada di dekatnya. Tak sia-sia aku menyendiri hingga Allah kembali mempertemukan kami untuk
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 60Kecelakaan? "Lepaskan aku!" hardikku keras. Aku terus berusaha untuk berontak dari pegangan tangan Mbak Fitri. Ia berusaha memasang tali pada kedua tanganku di belakang punggungku. Sementara suaminya masih terus mengemudi mobil yang kami tumpangi. Suasana yang gelap membuat mataku susah untuk mengamati sekitar. Aku yang tak paham daerah Surabaya makin tak paham dengan lokasiku saat ini. Sebenarnya mereka ini mau apa? Mengapa sampai memperlakukanku sedemikian kejamnya. "Diam kamu!" hardik Mbak Fitri. Ia yang kutahu ramah pada siapapun kini berani membentakku. Sungguh aku telah salah menilai selama ini. Kukira sikapnya memang benar-benar baik, namun ternyata itu hanya modus. "Mau kalian bawa kemana aku ini?" pekikku kesal. Aku yang tak bisa melepaskan tanganku dari jerat tali yang Mbak Fitri pasang semakin kesal karena aku makin tak paham arah kemana mereka membawaku. Hingga kekuatan tubuhku kian melemah saking kerasnya aku berontak. Aku hanya bi
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 61Sedikit CederaRemang-remang mataku melihat ke sekeliling ruangan, tampak putih semuanya. Ada satu tiang yang berdiri di sampingku dengan botol infus menggantung di bawahnya. Perlahan kubuka mataku dan menyapu pemandangan di sekelilingku. Tampaknya aku sudah berada di rumah sakit dengan jarum infus menancap di punggung tanganku. Aku berusaha untuk bangun, namun rasanya tubuhku remuk, susah untuk digerakkan. Apa yang terjadi padaku hingga aku bisa dibawa ke rumah sakit? Satu tanganku memijat keningku yang terasa pening. Sakit sekali rasanya. Kepalaku berat untuk diangkat. Terpaksa kubiarkan saja tubuhku terbaring di atas ranjang ini. "Mbak sudah sadar?" tanya seseorang yang baru saja membuka pintu ruangan ini dan ia menghampiriku. Seorang lelaki muda berkulit bersih dan terlihat tampan. Ia datang dan berdiri di sisi ranjangku. "Kamu siapa?" tanyaku lirih. "Saya yang hampir saja menabrak tubuh Mbak. Beruntung saya waspada jadi saat tubuh Mbak jatu