Home / Pernikahan / Miskin Gara-gara Nikah Lagi / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Miskin Gara-gara Nikah Lagi: Chapter 51 - Chapter 60

199 Chapters

Sebuah Undangan

"Rumah banyak yang berubah ya?" Aku diam saja. Mendorong kursi rodanya. Hari ini Mas Angga boleh dibawa pulang, setelah seminggu perawatan di rumah sakit. Berhubung aku tidak mampu membawanya ke lantai atas, jadi aku membawanya ke kamar di lantai bawah. "Lo, kamar kita kan di atas, Beib?" aku mengela napas. Membantunya berdiri dan memapahnya ke ranjang."Mas bisa jalan sendiri?""Hehe. Ya gak sih. Tapi kan kamu bisa memapahku. Istri yang baik pasti tidak akan merasa keberatan, Din. Justru berpahala lo, berbakti sama suami itu namanya."Satu sudut bibirku tertarik tipis. "Sayangnya, aku bukan istri yang baik," tukasku. Membenarkan letak baringnya. Dia memang masih lemas. Tapi dia sendiri yang memaksa untuk pulang dan di rawat di rumah."Kok kamu kayak gitu?""Kamu sendiri lo yang bilang. Makanya, sekarang aku turutin deh sesuai yang kamu katakan." "Aku? Kapan?""Tidak usah dipikirkan, Mas. Nanti juga ingat sendiri." Kulihat mas Angga masih
Read more

Sebuah Janji

Pulang kerja langsung disambut dengan mas Angga yang ngambek. Dia tidak mau makan kalau tidak aku suapi. Mau tak mau, meski tubuhku letih, kusempatkan menyaupinya dulu. Memang berbeda, jika perasaan itu masih ada ataupun mati rasa. Hambar."Aku merindukanmu, tidak bisakah kamu memelukku?"Aku menoleh selintas. Jengah. "Maaf, Mas. Tapi sekarang tidak sama.""Maksudnya apa sih? Dari kemarin kamu selalu aja bilang kayak gitu. Kamu selingkuh?" rautnya tak suka. Aku tersenyum tipis. Menyodorkan sesendok ke arahnya."Mas kenal Riri?"Dia menepis tanganku. Menolak disuapi lagi. Tapi tatapannya heran ke arahku."Bagaimana kamu kenal dengan Riri?""Justru itu. Mas selingkuh dengan Riri. Mas ingat? Aku ini mandul, katamu dan ibu. Kita menikah lama tapi belum juga punya anak. Dan saat itu, mas datang dengan membawa anak kecil. Anak itu anakmu, kamu bilang seperti itu. Lalu, kamu lebih memilih anak itu, juga wanita bernama Riri. Kamu ninggalin aku, mas."
Read more

Bisikan Jahat

Suasana pesta yang meriah dan elegan. Seperti yang sudah aku duga. Memang tidak di ballroom hotel seperti yang biasa dilakukan oleh pengusaha lainnya, pak Andre mengadakannya di rumah beliau. Rumah yang besar dan megah. Banyak pengusaha besar yang juga datang. Setelah sempat menyapa beliau yang dengan sumringah membalas sapaanku. Berbasa basi sebentar, kemudian aku menyingkir. Paling tidak suka dengan keramaian seperti ini.Netraku mengedar ke sekitar. Beberapa wajah cukup akrab dalam pandanganku. Mereka adalah pejabat penting di instansi pemerintahan, dan juga di perusahaan. Mungkin hanya aku yang terlihat canggung disini. Seperti anak itik kehilangan induknya. Kusesap segelas lemon tea sebagai pengalih rasa jenuh. Ingin rasanya segera pulang dan bergumul dengan kasur dan selimut. Sayangnya, acara bahkan belum dimulai."Sendirian saja."Aku menoleh, mendapati senyum lebar pria yang tak asing. Mataku membola lebar. Lagi-lagi dia, manusia aneh yang suka muncul t
Read more

Penyemangatku

"Lo bodoh, hah! Mau mati!"Kuabaikan ocehan Zul. Dia berhasil mengejarku yang naik mobil dengan kecepatan tinggi. Memaksaku menepikan mobil. Dia langsung menghampiri dan memakiku. "Lo kenapa sih? Tiba-tiba ngilang. Untung aja gue masih bisa nemuin lo sebelum jadi mayat." aku melengos, mengabaikan omelannya."Ngomong, ada masalah apa? Jangan bertingkah gila. Atau jangan-jangan lo stress gara-gara gagal cerai?" kalau saja suasana hatiku membaik, mungkin sudah kutampar mulutnya itu. Sayangnya, aku tidak sedang mode bercanda. Menatapnya balik dengan wajah datar. Dia polisi, masih bisakan aku menaruh kepercayaan padanya?"Sejak kapan Lo kenal bang Aldi?""Ha? Ngapain nanya? Jelas gue teman lama lah. Karena itu abang Lo nitipin ke kita." aku mengangguk singkat. Kita yang dimaksud adalah dia dan Haidar. Tersenyum kecut begitu menyadari, bisa saja selama ini Haidar adalah sosok munafik yang dimaksud Riri."Kalau begitu, katakan apa yang Lo ketahui tentang masalalu b
Read more

kecolongan

"Gak sarapan dulu?"Aku bangun kesiangan. Gara-gara mata baru bisa terpejam jelang subuh. "Saya terlambat," tukasku melangkah cepat. Namun sebuah tangan menahanku. Mas Angga."Aku sudah terlambat, Mas. Bisakah kamu lepas?""Sarapan dulu. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawatku?"Aku mengela napas. Menatapnya beberapa saat."Aku sarapan di kantor.""Dinda, aku mohon. Kamu boleh marah denganku. Ya meskipun aku tidak tahu dimana kesalahanku. Tapi, tolong jangan abaikan kesehatanmu. Itu lebih penting."Dahiku berkerut. Sejak kapan dia jadi sebijak ini?"Kamu gak kesambet kan, Mas?" "Kamu pikir? Sudahlah. Makan dulu. Atau, bawa bekal saja."Terpaksa kududukkan pantatku di kursi. Bergabung untuk sarapan. Meski sebenarnya rasanya hambar. Tidak berselera. Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang. Aku sudah sangat kesiangan. Tapi aku sempatkan untuk mampir ke apotik. Kepalaku benar-benar pening. Aku butuh obat tidur. Setidak
Read more

Informasi Zul

Fisik yang sudah lemah, makin terasa remuk. Sakit kepala semakin sering menyerang. Berat. Seakan beban berpuluh ton menghimpit dadaku. Sepulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Mengendarai mobil tanpa tujuan. Membiarkannya melaju dengan kecepatan sedang. Memilih area yang sepi dari kawasan yang ramai. Hingga tanpa sadar, aku sampai di kawasan persawahan. Netraku teralih ke arah barat. Dimana sang mentari bersiap kembali ke peraduannya. Ku tepikan mobilku di pinggir jalan. Membuka jendela mobil. Membiarkan angin sore menerpa wajahku. Kuhirup panjang udara segar itu. Bau tanah yang perlahan merilekskan pikiran. Disini, dengan saksi matahari yang meredup, kutumpahkan tangis yang tertahan. Berteriak sekencang-kencangkan. Beruntung, sore ini tak ada yang lewat. Atau mungkin mereka akan mengiraku gila karena frustasi.Potongan demi potongan kejadian berseliweran. Dimulai dari hari naas itu. Hari dimana kebahagiaanku terputus. Juga hari dimana aku memutuskan menja
Read more

Prasangka Buruk

"Apa Lo bakal menjarain bang Aldi, kalau benar itu dia?""Entahlah. Tergantung. Jika Riri menuntutnya, apa boleh buat? Kamu tahu sendiri, tindakan itu termasuk kriminal.""Ya, aku paham. Lakukan apa yang seharusnya dilakukan.""Sory, keadaan jadi berbalik begini."Aku menggeleng."Never mind. Sudah seharusnya. Katakan benar jika itu benar, dan katakan salah, jika memang salah. Jangan atas dasar persahabatan atau kekeluargaan, Lo menyisihkan keadilan."Zul mengangguk."I know." singkatnya.Atmosfir berubah tidak menyenangkan. Ah, tidak. Memang dari awal sudah tidak menyenangkan. "By the way, ada yang berubah?""Hmm." dehemku singkat."Apanya? Perasaan biasa saja." Zul malah tertawa."Karena siapa? Haidar?""Dih, aneh. Lagian, apa harus perubahan itu terjadi karena orang lain?""Siapa tahu."Aku mendesah kesal. Tidak semua perubahan harus di dasarkan pada orang lain kan?"Kalian menjauh sejak itu," tatapnya selidik.
Read more

Tentang Haidar

Kalau boleh memilih, aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mengurus rumah, anak dan suami. Menyambutnya begitu pulang dari kerja. Menyiapkan air hangat, lalu makan bersama dengan anak-anak. Itu adalah impianku sejak dulu. Itulah kenapa aku mundur dari status direktur dan digantikan oleh mas Angga. Namun rupanya, saat itu impianku belum tercapai sempurna. Ditambah bahteraku yang oleng berkali-kali karena ulah ibu mertua yang turut serta memegang kendali.Rasanya seperti karma. Perusahaan di tanganku malah jatuh melayang bebas. Menangis tersedu di dalam mobil yang masih terparkir rapi di parkiran. Kucurahkan kesakitan yang terpendam. Baru saja kemarin aku menemukan lampu hijau, pagi ini dihempas dengan kenyataan yang lebih sulit. Tapi dari sekian itu, yang membuat dadaku sakit adalah saat melihat raut kecewa Haidar. Apa aku salah? Apa aku terlalu gegabah karena mencurigainya dengan alasan yang tak masuk akal. Yang sebenarnya aku saja masih merasa abu-abu.
Read more

Bertemu Lagi

Kepalaku reflek tertoleh. Terkejut mendapati senyum manis yang terpampang. Berlari menghampiriku dan langsung memelukku."Ih, kangen tahu. Mbak Dinda ngapain sih gak balas chatku?"Aki tersenyum canggung. Niswah. Dia masih sama. Tapi entah kalau dia tahu aku sudah memaki kakak tersayangnya. Mungkin dia akan membenciku."Em, sory, Nis. Mbak agak sibuk akhir-akhir ini.""Ah, iya. Emm, itu ya mbak. Gak sesuai rencana. Niswah turut berduka. Tapi mbak yang sabar deh. Pasti ada hikmahnya kok," senyum lebar berikut lesung pipit menambah manis gadis itu. Senyum yang menular."Iya, gak papa. Takdir kan gak ada yang tahu. Kamu, sama siapa?""Nis!"Netraku langsung berpaling. Jantungku seakan berhenti berdetak. Wajah itu muncul dengan troli di tangannya. Terlihat sama terkejutnya, tapi tidak berlangsung lama. Dia cepat menguasai dirinya. Berbeda denganku yang benar-benar mati kutu."Eh, mas. Ini loh Niswah sama mbak Dinda. Hehe. Kebetulan banget ya ket
Read more

Pesta Kecil

Della dan Zul datang tak berapa lama. Meski ada kecanggungan, tapi tak mengurangi keseruan acara masak memasak. Apalagi ada Niswah yang pandai mencairkan suasana. Ada sesuatu beda yang kutangkap, terutama dari arah pandang Zul yang kini berbeda. Bibirku mengulum senyum tipis. Aku rasa, dia berubah haluan. Dasar pria, cepat juga merubah hati.Pukul tujuh tiga puluh, teman-teman Niswah datang. Acara di mulai dengan tiup lilin dan potong kue. Barulah bakar-bakar dan makan. Sengaja acara diadakan di luar ruangan. Bukan karena rumah mereka yang sempit, melainkan supaya lebih leluasa. "Makanlah," ucapku meletakkan daging sapi ke piring pria itu. "Makasih," sahutnya."Sama-sama." Bukannya beranjak, aku sengaja duduk di sebelahnya, tentu dengan memberi jarak. Menatapnya lamat-lamat sembari mengumpulkan keberanian."Soal... Soal tadi siang, aku minta maaf," ucapku."Untuk?""Ya karena sudah bicara yang tidak- tidak. Sory. Aku kebawa emosi. Juga, p
Read more
PREV
1
...
45678
...
20
DMCA.com Protection Status