"Em, pantas saja mbak masak. Hehe, ternyata ada mas Haidar toh."Aku melotot. Niswah masih saja membahasnya."Memang biasanya gak masak?" suara Haidar lembut menanyai Niswah. Dan jangan lupakan senyum manisnya itu. Eh? Aku menggigit bibirku, ayolah Nis... Jangan buka aib."Enggak. Kita biasanya sarapan di kantor. Lagian kata mbak Dinda, percuma kalau masak gak ada yang ma---""A... Ayamnya masih Nis. Nih, makan aja.""Makasih, mbak. Niswah udah kenyang padahal. Tapi, gak papa. Biar mas Haidar aja yang ngabisin. Nih."Aku melotot, bisa-bisanya ayamnya beralih tempat."Kan kalau begini, mbak Dinda jadi ayem. Makanannya ada yang ngabisin. Hehe."Aku meringis pelan, menekan sendok dengan gigiku. Astaga... Niswah."Harusnya kamu yang makan. Biar gak kerempeng kayak tengkorak.""Eitss, jangan salah. Mbak Dinda ini spesial masak karena ada mas Haidar lo. Jadi hargai dong."Runtuh sudah harga diriku. Rasanya seperti tak ada muka. Apalagi saat selintas pandang, Haidar menatapku. Ya Tuhan, rasa
Baca selengkapnya